Advertorial
Intisari-Online.com – Bagi orang yang bisa melihat sejak kecil pohon bukan barang aneh. Namun, bagi Margarethe yang lahir buta dan baru bisa melihat pada usia 34 tahun pohon merupakan sesuatu yang menakjubkan.
Margarethe Becker-Brei (34) terkejut, ketika untuk pertamakalinya melihat tangannya sendiri dengan jari-jari halus yang menggelembung.
Kulit yang pecah-pecah dengan urat-urat biru melintang. "Oh, Tuhan, apakah semua orang seburuk ini?" tanyanya.
Peristiwa tersebut terjadi tiga hari setelah operasi. Margarethe Becker-Brei buta sejak lahir.
(Baca juga:Orang Buta Juga Punya Hak untuk Menikmati Film Kesukaannya secara Utuh)
Para dokter sudah menyerah,sampai muncul Prof. Dr.Thomas Neuharin mencoba melakukan operasi yang memakan waktu tiga jam tapi tanpa menjanjikan keberhasilan.
Ketika Margarethe sadar sehabis operasi, ia masih belum bisa melihat. Tiga hari lamanya, ia harus menunggu sampai dokter membuka perban di matanya.
Terlihat cahaya lembut di kamar, ditutupi tirai. Bagi Margarethe Becker-Brei, cahaya itu seperti cahaya matahari yang menyilaukan.
Ia sampai memejamkan mata dan membukanya sedikit demi sedikit. Ia melihat tangan dan lengan baju tidurnya, lalu samar-samar tampak sepotong kayu di dinding, sebuah salib.
Kemudian ia pergi ke jendela, melihat pohon untuk pertama kalinya, sebuah pohon kastanya dengan daunnya yang rimbun berwarna hijau lembut.
Pandangannya yang pertama adalah hijaunya-pohon yang berada di sebelahnya, burung yang bernyanyi (seperti yang dibayangkannya) serta bayangan dirinya sendiri.
"Ada sesuatu yang hitam, yang selalu mengikuti saya kalau saya bergerak. Saya ketakutan," katanya. Namun, yang paling berkesan, adalah waktu ia melihat wajah putrinya, Stephanie (7).
"Orang-orang bercerita, betapa cantiknya anak saya dengan rambut pirang gelapnya. Mulutnya penuh. Mereka juga menggambarkan bentuk hidung, pipi, telinga, mata dan dahinya. Namun demikian, saya tak pernah bisa membayangkannya. Waktu saya memandangnya untuk pertama kalinya, saya begitu terkejut. Betapa cantiknya dia. Bagi saya, dialah makhluk paling cantik yang saya lihat," katanya lagi.
Kandas dua kali
Inilah kehidupan Margarethe sebelum ia bisa melihat. la dibesarkan di Euskirchen, di daerah Rheinland, sebagai salah seorang dari empat putri seorang petani.
Pada umur 2 tahun, orang tuanya baru menyadari bahwa tangan mungilnya selalu menggapai-gapai dan baru bereaksi kalau disentuh atau mendengar suara.
Ia pun tak pernah bereaksi terhadap wajah orang. (Seandainya penyakit tersebut diketahui lebih dini, Margarethe mungkin bisa disembuhkan lewat operasi kecil.)
(Baca juga:Beginilah ketika 154 Orang yang Pernah Mati Suri Menceritakan Pengalaman 'Kematiannya')
Sayangnya, sang ayah meninggal akibat kanker. Sedangkan sang ibu menolak gadis itu. Pernah ibunya berkata, "Seandainya saya tahu kamu buta, saya tak akan mau melahirkanmu."
Sampai usia 15 tahun, Margarethe mengunjungi sekolah luar biasa. Setelah itu, ia menghabiskan waktunya tanpa kontak dengan dunia luar.
Pada usia 19 tahun, ia masih bermain balok-balok kayu. Baru pada usia 23 tahun, ia belajar huruf Braille.
Atas inisiatif dokternya, ia masuk ke pusat rehabilitasi di Duren dan mendapat pendidikan sebagai operator telepon.
Di asrama, ia berkenalan dengan seorang pria yang juga buta. Mereka akhirnya menikah pada tahun 1980.
Tahun 1983, ia hamil. Ia mempunyai dua anak perempuan, Melanie dan Stephanie. Keduanya bisa melihat.
Tahun 1986, perkawinannya retak. Suaminya tertarik dengan tetangga yang tidak buta. Setahun kemudian, Margarethe berkenalan dengan seorang pria yang juga buta.
Iadan Stephanie (Melanie tinggal dengan ayahnya) pindah ke rumah pria itu di Burghausen, dekat Passau. Namun, setengah tahun kemudian, pria itu juga meninggalkannya.
Sejak itu, Margarethe hidup dari uang bantuan sosial sebesar 931 mark (± Rp 1,2 juta) dan uang dana orang buta sebesar 939 mark/bulan. Ia hidup sendirian, tanpa saudara.
Mengapa ia mau mengikuti pria yang kedua? Mengapa ia selalu cepat percaya pada laki-laki?
"Saya memang naif. Kalau saya mendengar suara yang ramah, saya cepat percaya," katanya. Dua laki-laki yang meninggalkannya memang memiliki suara yang ramah.
(Baca juga:Cacat Fisik Tidak Menghalangi Pria Ini untuk Menjadi Pahlawan bagi Orang Lain)
Kini, hampir sepanjang hari ia menghabiskan waktu bersama putrihya, Stephanie. "Stephanie membantu saya. Ia adalah guru saya. Dia yang memperlihatkan segalanya pada saya."
Mereka berdua duduk di dapur sambiT membaca buku.
Stephanie menulis abjad di batu tulis atau mereka berjalan-jalan (tanpa tongkat). "Ini bunga anyelir merah," jelas Stephanie.
Zebra cross, rarnbu lalu-lintas sama- kata-kata yang ribuan kali pernah hanya didengar Margarethe dan yang tak penah bisa dibayangkannya.
Saat ini, Margarethe paling senang duduk di cafe, di tengah-tengah kota. la suka memperhatikan orang. la begitu kagum.
"Saya tak menyangka bahwa manusia itu satu sama lain berbeda. Ada yang besar, kecil, gendut, kurus, jelek, cantik, botak, hitam " katanya.
Namun, dengarkan komentar tambahannya. "Kalau saya sedang berjalan-jalan dan berpapasan dengan orang berwajah murung, tidak bahagia, saya suka berpikir: mereka tidak tahu betapa beruntungnya mereka. Coba, jika satu hari saja mereka jadi buta, mereka baru bisa "menyadarinya." (Ursula Bohn)
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1991)