Intisari-Online.com -Pada tahun 1987 Budi Santoso Hadi Poernomo, guru besar PPS Betako Merpati Putih, memperkenalkan "ilmu getaran" ini kepada tunanetra. Mula-mula ia mengajarkannya kepada beberapa tukang pijat tunanetra. Sebelumnya, usai berlatih, setiap orang mendapat ganti rugi ongkos pijat selama satu jam karena waktu yang terbuang. Namun, 2 – 3 bulan kemudian setelah merasakan manfaatnya, mereka tetap berlatih meski tanpa dibayar.
Dari situlah kemudian terselenggara latihan untuk para tunanetra dari 12 kota di wilayah Jawa dan Bali secara gratis. Ia berusaha mengumpulkan dana untuk penyelenggaraan itu mengingat sebagian besar tunanetra berasal dari kalangan ekonomi lemah. Saat ini kegiatan itu dihentikan untuk sementara waktu karena ketiadaan dana. Yang terselenggara adalah program swasembada yang dinanlai The Mission Impossible. Program ini bertujuan-melatih tunanetra agar dapat seperti orang normal.
Program untuk tunanetra itu mencakup tiga tahap pelajaran. Tahap pertama orientasi mobilitas, kedua belajar mendeteksi benda, dan tahap terakhir mendeteksi huruf serta warna. Masing-masing tahap selesai dalam waktu enam bulan. Maka, setelah belajar selama 18 bulan peserta dapat menghindari rintangan yang ada di jalan, membedakan antara benda diam dan benda bergerak mengenali kecepatan dan jarak, serta menyatakan ukuran benda tanpa melakukan sentuhan. Selain itu, peserta juga mampu membaca dan menulis tanpa huruf braille. Bahkan juga membaca teks di layar komputer, koran, dan lainnya.
Seorang tunanetra anggota Merpati Putih pernah bikin seorang sopir taksi terheran-heran karena mampu menunjukkan arah perjalanan. Dari Pulogadung anggota yang tunanetra itu bermaksud pergi ke Wisma Pertamina di Kemang, Jakarta Selatan, dengan naik taksi. Ketika mendekati daerah tujuan, si penumpang berkata, "Jalan ini terus, lalu rumah joglo di depan itu maju sedikit."
Dalam Merpati Putih yang telah mendapat hak paten pada April 1998, membedakan warna dari jarak jauh dengan mata, tertutup konon bisa dilakukan. Setiap warna, kata Budi, memiliki panjang gelombang yang berbeda. Benar bila dikatakan bahwa perbedaan ditentukan oleh panas, namun panas akan mengejawantah menjadi getaran. Beda panas berarti pula beda panjang gelombang. Dengan hanya mengandalkan panas, pembedaan hanya bisa dilakukan dari dekat. Untuk melihat dari jauh, yang ditangkap adalah panjang gelombangnya.
“Selain itu perlu kepekaan tinggi karena perbedaan panjang gelombang sinar putih, hijau, dan biru sangat kecil, hanya sepersekian puluh Angstrom atau sepersekian miliar meter. Padahal sampai sekarang pun belum ada alat buatan manusia yang mampu melakukan pekerjaan itu," jelas Budi. Bayangkan saja, di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan 120 km/jam, seorang tunanetra anggota Merpati Putih lain mampu menjawab dengan tepat warna apa yang ada di kiri-kanannya.
"Tidak heran pula, jika anak saya yang buta warna setelah berlatih ilmu ini bisa diterima kuliah di jurusan arsitektur," ujar Budi memberi contoh bagaimana kemampuan itu tak cuma mampu membuat mereka lebih mandiri; namun diharapkan juga bermanfaat meningkatkan harkat hidup mereka.
la mencontohkan lagi, di Bali sudah ada tunanetra yang jadi pemahat. Bahkan uniknya lagi, ada yang berprofesi sebagai tukang foto. Saat memotret, menurut Budi, ia tidak mengintip dari jendela bidik. Kamera bisa ia pegang pada posisi yang ia suka namun sasarannya selalu tepat. Anehnya lagi, si juru foto yang tunanetra itu bisa mengatur susunan objek foto, apakah harus maju sedikit, lebih merapat, atau posisi lainnya.
Bagi Budi pengalaman menunjukkan, melatih tunanetra lebih mudah dibandingkan orang biasa. "Tentu karena mereka (tunanetra) sudah terbiasa mengandalkan inderanya di luar penglihatan, apakah telinga, tangan, atau penciuman.
Tak heran bila anggota Merpati Putih yang bukan penyandang tunanetra, sesuai kurikulum baru akan menguasai "ilmu getaran" dalam waktu tiga tahun, sedangkan yang tunanetra langsung diajari ilmunya. "Merpati Putih memberi latihan sesuai kebutuhan. Artinya, yang tunanetra sangat membutuhkan ilmu getaran agar dapat bergerak normal. Bagi yang normal ilmu getaran hanya penunjang agar bereaksi lebih cepat dalam bela diri," papar Budi.
Kemampuan itu konon bersifat abadi. Bagi yang tunanetra, menurut Budi, kemampuan yang dimiliki akan terjaga karena dipakai setiap saat. Buat orang biasa, kalaupun tidak rajin berlatih, kemampuannya tidak akan hilang meski mungkin kualitasnya menurun atau tidak. Selancar dibandingkan dengan yang rajin berlatih.
Artikel ini pernah ditulis di Intisari Mei 1999 dengan judul “Melihat Tanpa Mata”