Advertorial
Intisari-Online.com – Sekitar 10.000 pasang sepatu dan alas kaki lainnya dari lima benua menghuni Museum Sepatu Bata, museum sepatu terbesar dan terlengkap di dunia.
Demi melengkapi koleksi museumnya di Kanada itu, Sonja Bata, istri pengusaha sepatu Bata, rela merambah belahan dunia mana saja untuk berburu sepatu.
Dari pasar di Tibet yang berdebu hingga Kutub Utara yang beku.
Tahun 1992, ia ke tempat terpencil dan beku di Arktika.
Kabarnya, di kawasan itu ada seorang perempuan tua yang bisa membuat kamiks, sepatu lars dari kulit anjing laut, secara tradisional.
Baca Juga: Jangan Sembarangan Lagi, Ternyata Begini Cara Benar Mencuci Sepatu Kanvas!
"Konon ia memakai urat untuk menjahit sepatu, bukan benang pembersih gigi seperti umum dipakai sekarang," kisah Sonja Bata.
Pembuatnya memang seorang nenek yang sudah keriput.
Menurut anak perempuannya, "Kulit anjing laut keras. Jadi, ongkos membuatnya sama dengan satu set gigi palsu baru!"
Gedungnya dos sepatu terbuka
Itu cuma satu pengalaman Sonja Bata mengoleksi alas kaki.
Kini koleksi sejak lebih dari 50 tahun silam dipamerkan di museum dengan namanya sendiri, Museum Sepatu Bata, di Toronto, Kanada.
Museum yang dibuka Mei 1995 itu ingin menunjukkan, sepatu bukan sekadar alas kaki, tetapi jendela sejarah manusia.
Koleksi yang tertua berumur 5.000-an tahun. Ada juga sepatu tenunan bekal jenazah di makam kerajaan di Thebes kuno, sepatu besi padanan baju zirah abad XV dari Jerman, sepatu lars Ratu Victoria dari Inggris, dan sepatu lars kulit bebek eider milik orang Inuit di Kutub Utara.
Cara mendapatkannya? "Saya 'kan menikah dengan pengusaha sepatu, Thomas Bata," iawab Sonja enteng.
Sejak beberapa generasi keluarga Bata membuat sepatu di Desa Zlin, Cekoslowakia.
Mereka menjadi kaya raya saat membuka pabrik sepatu dan membangun industri itu di negerinya. Akhirnya mereka memasok sepatu ke seantero dunia.
Saat berkunjung ke pabrik keluarga di seluruh dunia, Sonja tertarik pada alas kaki tradisonal dan mengadaptasinya untuk produksi massal.
La sadar, gaya Barat mendesak gaya lokal, yang bisa melenyapkan teknologi dan warisan budaya itu.
Koleksinya tidak muat lagi di bagian arsip markas Bata di Toronto. Maka dibangunlah museum sekaligus sebagai sumbangan budaya bagi Toronto.
Bangunan bertingkat lima rancangan arsitek Kanada berbiaya AS $ 12 juta itu berbentuk unik, seperti dos sepatu yang terbuka tutupnya.
Baca Juga: Bermasalah Dengan Bau Kaki? Ini Trik Cara Menghilangkan, Mudah Kok!
Sepatu antiselip manusia es
Namun, tak semua sepatu dari berbagai masa mudah dilacak, misalnya sepatu zaman prasejarah.
Akhir Zaman Batu meninggalkan serpih alat batu yang tajam, diduga untuk mengolah kulit bahan pembuat pakaian dan sepatu.
Sayangnya, tak ada peninggalan penutup kaki dari zaman 500.000 tahun lampau itu.
Sepatu masa 15.000 tahun silam bisa dilihat pada lukisan-lukisan gua di Pegunungan Pyrenea.
Tahun 1991 di Pegunungan Alpen, Italia, ditemukan mayat utuh berusia 5.300 tahun berkat tertutup es dan kekeringan.
"Manusia Es" itu berpakaian dan bersepatu kulit yang dilapisi jala berisi rumput untuk menahan dingin. Jala serupa dipasang di bagian telapak agar tak tergelincir.
Di gua-gua prasejarah di Missouri, AS, ditemukan sandal antiselip dari jalinan serat tumbuhan berusia ± 8.300 tahun.
Lambang status sosial
Sepatu kadung judi simbol status dan kepercayaan yang dianut. Misalnya di Mesir kuno, Yunani kuno, dan Romawi, sepatu hanya dipakai oleh orang kaya dan penguasa.
Di masyarakat Yoruba, Nigeria, status ningrat ditandai oleh jumlah manik-manik dan gambar dilarsnya.
Di zaman Victoria, Inggris, kaum wanita memakai rok yang menyapu lantai untuk menutupi kaki, yang sudah tersembunyi di balik lars setinggi mata kaki.
Di bagian "Sepatu dan Agama", ada sandal gading milik penganut agama lain di India. Sandal itu dirancang seminimal mungkin menyentuh tanah agar pemakai tidak menginjak serangga.
Sepatu tinggi bukan hanya mode zaman kini. Sepatu bersol tebal milik bintang rock David Bowie dan Madonna mirip dengan sepatu dari peradaban 7.000 tahun silam di teater Yunani.
Saat itu dramawan Aeschylus menampilkan para aktornya dengan sepatu bersol tebal dari gabus agar tampak lebih jangkung dari orang biasa.
Konon sepatu berhak tinggi dimulai di kalangan elite Eropa yang di akhir masa Renaissance senang tampil megah.
Dengan sepatu itu mereka merasa status sosialnya juga naik, selain terlindungi dari kotoran di jalan.
Sepatu untuk pria dan wanita itu adalah perkembangan dari sol tinggi di Timur berabad-abad sebelumnya dan masuk Eropa lewat perdagangan antara Turki - Venesia.
Lucunya, orang-orang kaya Venesia membuatnya jauh lebih tinggi. Setinggi 60 cm! Saat berjalan sampai harus dipapah dua pelayan.
Rakyat kecil pun meniru, kelas elite yang tidak mau disamai pun meninggalkan mode itu. Pemakai terakhir ialah para pelacur Venesia yang jor-joran ingin tampil lebih.
Itu lain dengan sepatu Jepang yang bersol seperti bagian bawah rumah panggung. Sepatu setinggi semeter itu sangat membantu saat memanen jeruk.
Selain tinggi, sepatu pernah bersosok panjang. Di abad XIV, muncul demam sepatu berujung sangat panjang dan lancip, mirip badut.
Raja Inggris Edward III (1312 - 1377) membatasi panjang sepatu untuk rakyat hanya sampai 15 cm, kelas menengah 30 cm, dan ningrat sampai 75 cm.
Agar tak tersandung, ujung sepatu dikaitkan ke betis dengan rantai. Mode itu bertahan sampai dua abad.
Soal ukuran sepatu, jangan lupa peran Raja Inggris Edward I (1239 - 1307) yang menentukan ukuran tahun 1305. Caranya, tiga deret biji jelai adalah satu inci.
Karena panjang kaki Edward II (1284 - 1327) sama dengan deretan 36 biji jelai (12 inci), 12 inci pun disebut satu kaki.
Baca Juga: Ini 5 Tips Bersihkan Sepatu Kulit dengan Bahan Rumahan, Salah Satunya Menggunakan Kulit Pisang
Mode dulu dan sekarang
Dulu sepatu yang in hanya dimiliki orang kaya. Rakyat jelata beruntung kalau punya sepatu untuk bekerja. Tapi, Marie Antoinette, Ratu Prancis yang di-guilotine tahun 1793, konon punya satu pelayan khusus mengurus 500 sepatunya.
Di abad XIX hampir semua orang di AS bisa bersepatu karena sudah bisa dibuat dengan mesin.
Malah, Imelda Marcos "mengoleksi" sampai 3.000 pasang sepatu. Satu sepatunya yang berbahan satin ada di Museum Bata.
Sepatu lars, beberapa tahun silam pernah mode kembali, terutama lars untuk bekerja buatan Doc Martens. Sepatu kanvas bersol karet pun sudah ada tahun 1860-an di Inggris, untuk bermain kriket.
Gara-gara mode, orang pun rela menderita. Perempuan Cina zaman dulu memakai sepatu sutera bersulam sangat indah, yang ukurannya cuma 12,5 cm!
Sejak kecil kaki mereka ditekuk lalu diikat eraterat selama bertahun-tahun untuk membentuk "kaki lotus".
Meski menyulitkan saat berjalan, kaki cacat ini lambang status tinggi, dan dinilai sangat erotik. Kebiasaan itu dilarang sejak 1911 ketika Cina menjadi republik.
Sepatu pemerah buah
Banyak informasi pendidikan di Museum Bata. Di antaranya, presentasi hubungan antara sepatu dengan hortikultura.
Kelom kayu Belanda yang dasarnya datar untuk memadatkan tanah saat menanam tulip.
Di museum juga ditampilkan sepatu khusus. Misalnya pesanan Angkatan Darat AS untuk tentara di Vietnam tahun 1960-an. Solnya dibuat serupa sol sandal para Vietkong, agar jejak mereka tersamar.
Ada pula sepatu mengerikan karena dasarnya ditanami batang logam bergerigi seperti gergaji, mirip alat penyiksa.
Temyata sepatu itu untuk menginjak-injak buah berangan di Prancis di abad XIX. Air perahannya dipakai dalam industri kulit.
Sebaliknya, sepatu-sepatu terbuka warna-warni dari Bolivia tampak aman, padahal ujungnya dipasangi logam dan solnya berpaku-paku, yang bisa mematikan bila untuk berkelahi.
Aktor Robert Redford menyumbang sepasang sepatu koboi. Koboi sejati memakai lars mirip serdadu AS zaman Perang Saudara.
Haknya rendah, longgar di kaki, dengan bagian depan lebar. Itu berbeda dengan sepatu koboi dalam film, yang berhak tinggi, bagian depan lancip dan dihiasi paku-paku serta jahitan.
Sepatu koboi film diilhami milik penunggang kuda Spanyol. Ujung lancip memudahkan sepatu masuk sanggurdi, dan hak tinggi mencegah tergelincir dari sanggurdi.
Sayangnya, tidak dipamerkan sepatu dari Australia yang terbuat dari jalinan rambut manusia campur bulu emu.
Konon sepatu itu dipakai algojo bangsa Aborigin, padahal umumnya orang Aborigin seharian bertelanjang kaki.
Rupanya, sepatu itu untuk menyamarkan jejak dan melindungi anonimitasnya.
Kaus kaki Napoleon
Di bagiqn "Star Turns", dipamerkan sepatu orang terkenal. Ada sepatu milik mantan PM India, Indira Gandhi dan Marilyn Monroe.
Sepatu tertutup merah keunguan buatan tahun 1985 bekas milik Putri Diana ada di museum ini. Juga sepatu bersol tebal berhiaskan permata milik Elton John.
Sepatu itu menyulitkan dia bermain piano, tapi membuatnya lebih tinggi 12,5 cm.
Ada juga lars loreng-loreng mirip zebra bekas milik Picasso, sepatu tertutup berhak tebal berwarha pink menyala punya Madonna, dan sepatu pantofel putih biru yang lama dipakai raja rock Elvis Presley.
Sayangnya, museum ini tidak menyimpan sepatu Napoleon. Yang ada cuma kaus kakinya. Napoleon memang tidak suka memakai sepatu baru. la biasa menyuruh orang lain memakainya dulu.
Kalau sudah enak, baru ia pakai. Tapi di sini ada sepatu lars musuh besar Napoleon, Duke of Wellington. Wellington memesannya sesaat sebelum mengalahkan Napoleon di Waterloo.
"Melestarikan sepatu meluaskan pengetahuan tentang cara hidup yang hampir punah," kata Sonja yang ingin mengoleksi sepatu dari kebudayaan asli yang tidak dikenal luas.
Sekarang museumnya sudah memamerkdn paduka, sandal jepit tradisional India bersol tebal dengan pentolan dari gading atau perak. Saat di India, ia sering menukar alas kaki yang dipakai orang di jalan dengan sepatu baru dari pabriknya. (Alyse Frampton/HI)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 2000)