Advertorial
Intisari-Online.com - Sebuah hutan yang tadinya rusak, berubah menjadi hutan yang hijau dengan pohon jeruk dan anggur.
Percaya atau tidak, hal ini karena kerjasama ahli ekologi dengan pabrik pembuat jus jeruk dan anggur.
Cerita itu berawal pada 20 tahun lalu. Pada 1997 lalu, sepasang ahli ekologi berjuang untuk konservasi ekosistem tropikal di Kosta Rika. Mereka adalah Daniel Janzen dan Winnie Hallwachs.
(Baca juga:Penting! Mulai dari Jeruk Lemon Hingga Pepaya, Inilah 7 Makanan Pencegah Wasir)
Pasangan suami isteri itu meyakinkan sebuah produsen jus jeruk untuk menyumbangkan sedikit tanahnya menjadi bagian dari sebuah taman nasional.
Imbalannya, produsen tersebut berhak untuk membuang tumpukan sampah kulit dan biji jeruk ke lahan yang rusak di taman yang sama.
Pada saat itu tidak ada seorang pun yang punya petunjuk apa akibatnya melakukan hal tersebut. Namun ternyata, hasilnya membuat tercengang semua orang.
Daniel Janzen dan Winnie Hallwachs bekerja di taman nasional Área de Conservación Guanacaste di Kosta Rica.
Mereka datang dengan sebuah rencana untuk menyelamatkan lahan hutan bersama Del Oro, sebuah perusahaan jus jeruk terbesar di sana.
Sebagai imbalannya, perusahaan itu boleh membuang sampah dalam bentuk kulit dan biji jeruk mereka. Sampah itu harus diletakkan di lahan seluas 3 hektar di taman nasional yang rusak, tanpa biaya.
Biasanya, perusahan jus jeruk itu menyisahkan berton-ton sampah kulit jeruk. Sampah itu dibakar atau membayar orang lain untuk membuangnya di tempat pembuangan sampah.
Nah, tawaran dari Daniel Janzen dan Winnie Hallwachs sangat menarik Del Oro. Perusahaan itu pun membuang sekitar 12.000 metrik ton sampah jeruk di Área de Conservación Guanacaste.
(Baca juga:Orang Ini, Sendirian Selama 30 Tahun Menghijaukan Gurun Gersang di Afrika Barat
Namun, setelah setahun perjanjian kerjasama itu ditandatangani, TicoFruit mengajukan gugatan ke pengadilan. TicoFruit adalah perusahaan jus jeruk juga yang menjadi saingan berat Del Oro.
TicoFruit beralasan apa yang dilakukan Del Oro mengotori sebuah taman nasional. Keputusan pengadilan memenangkan TicoFruit dan perjanjian antara Del Oro dan Área de Conservación Guanacaste pun terhenti.
Untuk 15 tahun berikutnya, tidak ada yang memonitor lahan seluas 3 hektar yang telah menjadi tempat sampah buah itu. Sampai pada 2013 lalu, digelar diskusi ilmiah bersama Timothy Treuer, seorang ilmuwan di Departemen Ekologi dan Biologi Evolusioner di Princenton University.
Daniel Janzen bercerita tentang kisah biji jeruk dan bagaimana lahan itu telah dikunjungi oleh peneliti lain. Tetapi, lahan itu tidak dievaluasi sepantasnya lebih dari 1,5 dekade.
Tergugah dengan ide Daniel, Timothy Treuer memutuskan untuk mendatangi lahan yang ditutupi oleh sampah jeruk selama 15 tahun lalu. Timothy dan timnya menjadi kaget saat melihatnya.
“Lahan itu benar-benar tertutup dengan pepohonan jeruk dan anggur. Bahkan saya tidak dapat melihat tanda berupa papan bertuliskan warna kuning terang setinggi 2,1 meter sebagai penanda tempat itu. Padahal jaraknya hanya beberapa meter dari jalanan,” cerita Timothy Treuer.
Timothy Treuer menambahkan, bahwa mereka perlu untuk datang memastikan berapa luas tepatnya sekaligus untuk mendukung tes mata. Yang terlihat pada tempat ini dan kenyataan visualnya, betapa menarik perhatian akan perbedaan antara area yang subur dan yang tidak.
(Baca juga:12 Gambar Ini Menunjukkan Bahwa Dunia Ini Masih Punya Harapan dalam Kasih dan Kemanusiaan)
“Situs itu lebih impresif, secara pribadi aku tidak dapat membayangkannya,” tambah Jonathan Choi, salah satu senior yang mempelajari ekologi dan biologi evolusioner di Princeton University, ketika ia bergabung dalam tim peneliti Timothy Treuer.
Menurutnya, saat ia berjalan di atas batu dan rumput mati di dekat lahan, ia naik menerobos semak belukar. Kemudian ia memotong jalan kecil melalui dinding pohon anggur di situs biji jeruk itu sendiri.
Memang pemandangan yang berbeda antara 3 hektar situs sampah kulit jeruk dan lahan rusak yang mengelilinginya. Hal itu belumlah cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sampah buah yang berperan menghidupkan kembali kehidupan tanaman di sana.
Karena itu Timothy Treuer dan timnya menghabiskan berbulan-bulan mengumpulkan sample, menganalisanya, dan membandingkannya. Mereka pun menemukan perbedaan yang dramatis antara area yang tertutup dengan sampah kulit jeruk dengan yang tidak.
Area yang tertutup dengan sampah kulit jeruk ternyata merupakan tanah yang subur dan lebih banyak organism tumbuhan yang hidup. Di lahan itu juga, kesuburan spesies tanamannya lebih besar, dan kanopi penutup hutan yang lebih luas.
“Ini adalah hanya satu contoh yang pernah saya dengar di mana Anda dapat menghilangkan karbon negatif. Ini bukan sekadar win-win solution antara perusahaan dan taman setempat, tetapi adalah kemenangan buat semua orang,” tambah Timothy Treuer.
Efek dari kulit jeruk pada tanah mungkin tidak mengejutkan bagi orang yang terbiasa dengan kompos. Namun, ini kejutan yang keras bahwa pengadilan sebelumnya menyebutnya sebagi contoh ‘pengotoran’ taman nasional dan menghentikan proyek itu.
Dilansir dari ZME Science, kini penelitian Timothy Treuer mendapat banyak perhatian di seluruh dunia. Jenis ‘pengotoran’ ini dipertimbangkan secara serius sebagai sebuah cara mengembalikan hutan tropis menjadi hidup kembali.
(Baca juga:Batu Zamrud Raksasa Ditemukan di Brasil, Nilainya Sama dengan Anggaran Asian Games 2018)
“Banyak masalah lingkungan disebabkan oleh perusahaan-perusahaan, yang jujur saja, memproduksi benda-benda yang dibutuhkan atau diinginkan orang. Namun, banyak masalah mengerikan ini dapat dikurangi bila sektor swasta dan komunitas lingkungan bekerja bersama-sama,” kata David Wilcox, penulis penelitian Princeton.
Ia yakin kita bisa menemukan banyak kesempatan untuk menggunakan ‘sisa-sisa’ dari industri pembuat makanan untuk mengembalikan hutan tropikal. Dan daur ulang adalah cara yang terbaik.