Advertorial
Intisari-Online.com – Rasanya sebagian besar penduduk Planet Bumi sudah akrab dengan minuman ringan Coca-Cola.
Sebagian besar dari kita hanya tahu Coca-Cola adalah merek minuman ringan bersoda. Saking kondangnya, Coca-Cola sudah dianggap sebagai satu kata.
Kita nyaris lupa bahwa kata ini berasal dari dua tanaman yang digunakan di dalam ramuan awalnya, yaitu coca (daun koka) dan cola (biji kola).
Coca-Cola yang biasa kita nikmati sekarang ini sudah jauh berbeda dengan Coca-Cola saat pertama kali diperkenalkan di akhir abad ke-19.
"Sebagaimana yang tertera dalam kemasan, kandungan minuman Coca-Cola adalah air berkarbonasi, gula, dan konsentrat kola, termasuk karamel," kata Arif Mujahidin, Media Relations Manager PT Coca-Cola Indonesia.
(Baca juga: Warren Buffet, Salah Satu Orang Terkaya di Dunia yang Meminum Coca-Cola Tiap Hari)
Namun, saat pertama kali diramu, Coca-Cola bukanlah minuman karamel bersoda sebagaimana yang kita nikmati sekarang.
Ramuan Coca-Cola dibuat pertama kali pada tahun 1886 oleh John Stith Pemberton, seorang ahli farmakologi Amerika Serikat.
Wee Yeow Chin, penulis buku Plants that Heal, Thrill, and Kill menyebut ramuan Pemberton ini sebagai "tonik otak dan minuman intelektual".
Sebutan ini belakangan menjadi tagline iklan Coca-Cola.
Di ramuan awal ini, Coca-Cola dibuat dari daun koka, biji kola, dan anggur (wine). Koka (Erythroxylon coca), seperti yang kita tahu, adalah tanaman penghasil kokain.
(Baca juga: Ah Segarnya, Pria Ini Membuat Kolam Renang yang Diisi 1.500 Botol Coca-Cola dan Mentos)
Pemberton saat itu mengklaim ramuan bahan-bahan ini bisa memperbaiki fungsi pencernaan, pernapasan, dan sistem saraf.
Disajikan dalam bentuk minuman tonik dan anggur, ramuan ini dipercaya bisa mencerdaskan peminumnya.
Jules Verne (perintis cerita sains fiksi terkemuka) konon selalu minum tonik ini untuk mendukung proses kreatif saat menulis novel-novelnya.
Namun, belakangan diketahui bahwa daun koka memiliki efek adiktif yang negatif. Jika parah, efek kecanduan koka ini bisa seperti efek negatif bahan narkotik semacam morfin.
Sejak itu timbul penolakan terhadap minuman intelektual ini. Menanggapi protes tersebut, Pemberton kemudian menghilangkan kandungan koka di dalam ramuannya tanpa mengubah rasanya.
(Baca juga: Ditentang, Coca-Cola Ganti Bahan Baku)
Kebetulan, dalam hal rasa, yang lebih berperan adalah kandungan kola, bukan koka.
Ketika penjualan minuman beralkohol mulai dibatasi, Pemberton menghilangkan unsur anggur di dalam versi baru Coca-Cola.
Dengan ramuan baru itu, Pemberton ingin mengubah citra minuman buatannya dari anggur beralkohol menjadi minuman ringan tanpa alkohol yang bisa dijual bebas.
Selain mengganti anggur dengan sirup gula, Pemberton juga mengganti biji kola dengan karamel konsentrat.
Sekalipun isinya sudah tidak mengandung koka, nama Coca-Cola tetap dipertahankan. Harap maklum, nama Coca-Cola saat itu sudah menjadi merek dagang yang sangat terkenal.
Banyak yang tak tahu
Di Indonesia, kola bukanlah jenis tanaman yang populer. Kalaupun ada yang menanam, biasanya tak lebih hanya sebagai tanaman peneduh.
Di perkebunan kakao atau kopi, kola biasanya menjadi tanaman pelindung. Buahnya pun dijual, tapi bukan untuk dikonsumsi, melainkan sebagai pewarna tekstil, terutama untuk warna cokelat.
Kalaupun ada yang mengolah buahnya untuk minuman, itu masih dalam skala kecil dan coba-coba.
Tamanan kola pertama kali masuk ke Indonesia sebagai koleksi Kebun Raya Bogor, kemungkinan zaman Raffles. Dari sini kemudian menyebar ke beberapa tempat.
Saat ini di Indonesia tanaman kola bisa dijumpai di beberapa tempat, salah satunya di Taman Wisata Mekarsari. Menurut A.F. Margianasari, peneliti Mekarsari, tanaman ini sudah menjadi koleksi awal sejak Mekarsari dibangun.
Yang unik, saat para pengunjung Mekarsari mengetahui bahwa tanaman ini bernama kola, kebanyakan dari mereka malah heran.
Selama ini mereka menyangka kola (cola) hanya nama minuman ringan yang tak ada hubungannya dengan nama tanaman.
Selain karena asal-usulnya yang berkaitan dengan Coca-Cola, tanaman kola juga menarik karena tampilannya yang semarak dengan bunga.
Tanaman ini termasuk keluarga Sterculiaceae, marga Cola. Dalam satu marga ini, terdapat sekitar 120-an jenis kola.
Yang sering ditanam adalah Cola nitida dan Cola acuminata. Kedua jenis kola inilah yang paling populer sebagai bahan minuman.
Buah Cola nitida hanya sebesar bola tenis dengan warna kuning. Adapun buah Cola acuminata lebih besar, bijinya pun lebih banyak.
Itu sebabnya secara komersial, Cola acuminata lebih banyak dibudidayakan. Bentuk buah kola, terutama Cola acuminata, mirip dengan buah cokelat.
Maklum, secara taksonomi mereka memang masih berkerabat. Bentuk buahnya elips dengan panjang sekitar 20 cm. Kulit buah berwarna hijau, permukaannya berkerut.
Buah kola bergerombol. Satu dompol berisi 3 - 6 buah. Butuh waktu 4 - 5 bulan setelah bunga muncul hingga menjadi buah yang siap petik.
Saat masak, buah ini merekah menampakkan ulas daging buah yang putih dan harum. Susunannya seperti daging buah durian.
Daging buah ini bisa dimakan, rasanya manis dan lembut di lidah. Tapi jangan sampai bijinya tergigit karena rasanya sangat pahit.
Biji inilah yang diolah oleh Pemberton menjadi minuman legendaris yang asal-usulnya kini sudah terlupakan.
Penghilang lapar
Hingga sekarang, tanaman yang berasal dari Afrika ini masih banyak dikonsumsi di beberapa negara. Di benua ini, kebiasaan mengunyah biji kola sudah menjadi tradisi turun-temurun.
Kebiasaan ini dilakukan untuk mengurangi rasa perih di perut karena lapar. Sekaligus untuk mengembalikan vitalitas yang turun.
Efek ini bisa dirasakan selama enam jam setelah mengunyah biji kola. Karena khasiat ini, biji kola dijual di mana-mana, di toko hingga asongan pinggir jalan.
Seiring dengan makin berkembangnya teknologi minuman kemasan, biji kola tak hanya dikunyah langsung melainkan juga diolah menjadi minuman kemasan.
Di sana kola digunakan sebagai salah satu bahan ramuan herbal yang berkhasiat menenangkan.
Minuman ini biasa dikonsumsi pasien yang baru sembuh dari sakit. Di sana, kola juga digunakan sebagai minuman semacam kopi.
Minuman ini punya efek stimulan yang lebih tinggi dari kopi lantaran kadar kafein di biji kola lebih tinggi daripada kafein biji kopi.
Selain bisa membuat mata mengantuk menjadi terjaga, minuman ini juga bisa menimbulkan perasaan bahagia (euforia).
Cara penyajiannya pun mirip dengan kopi. Biji kola dikeringkan lebih dulu lalu digiling seperti biji kopi.
Proses ini banyak dilakukan oleh masyarakat Afrika Barat untuk membuat minuman skala industri rumahan.
Di sana, minuman kola kemasan banyak dijual bebas di toko dan menjadi menjadi salah satu minuman favorit. Mirip minuman teh kemasan di Indonesia.
Selain itu kola juga biasa dijadikan sebagai hadiah kehormatan bagi tamu. Biji kola dikemas sebagai bingkisan cantik yang bisa dijadikan cendera mata dalam upacara-upacara resmi.
Di beberapa tempat di Amerika Latin, biji kola dipakai dalam upacara pernikahan yang diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mertua.
Sementara di masyarakat Indian, kola biasa dipakai di dalam upacara religius.
Harus rutin dipangkas
Kola bisa ditanam baik dari biji maupun cangkokan. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.
Bibit dari cangkok lebih cepat berbuah tapi tidak punya akar tunggang yang menghunjam lurus ke dalam tanah.
Tidak adanya akar tunggang ini menyebabkan tanaman kola cangkokan kurang kokoh.
Sebatang pohon kola bisa mencapai tinggi 15-20 m dengan banyak cabang. Jika ditanam di pekarangan rumah, kola membutuhkan ruang yang cukup luas karena pohon ini bisa tumbuh besar dan tinggi.
Cabang-cabangnya harus dipangkas secara rutin supaya pohonnya tidak terlalu banyak memakan ruang.
Setelah berumur 4-6 tahun, kola mulai berbunga. Tanaman ini bisa tumbuh di ketinggian 0-400 mdpl. Cocok ditanam sebagai peneduh di daerah beriklim panas.
Dalam setahun, bunga kola semarak dalam dua musim, yaitu Mei-Juli dan November-Januari. Bentuk bunganya cantik sehingga cocok menjadi tanaman hias sekaligus peneduh.
Dituduh sebagai biang kanker
Karena kandungan kafeinnya, biji kola biasa dimanfaatkan sebagai minuman seperti kopi.
Namun, sebagian ilmuwan tidak menganjurkan konsumsi biji kola secara terus-menerus karena kandungan N-nitroso di dalamnya. Senyawa ini diyakini bisa meningkatkan risiko kanker.
Para ilmuwan menunjuk Nigeria sebagai contoh. Penduduk di negeri ini punya kebiasaan mengunyah biji kola. Di sini, angka kejadian kanker mulut dan lambung cukup tinggi.
Diduga, tingginya angka kejadian kanker ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat negara ini mengunyah biji kola. (Titik Kartitiani)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2010)