Langganan terbina, dan kualitas rasa pecelnya makin dikenal. Ia pun mencari tempat yang lebih luas, sebuah kios terbuka dengan sambungan listrik dan air bersih. Sampai sekarang.
Yang jadi andalan adalah pecel gaya Madiun. Kalau variasi sayuran rebus – kangkung, kacang panjang, bunga pisang, bunga turi, kecipir, dan petai cina tergantung selera dan ketersediaan bahan – serupa dengan pecel lain, ciri utama pecel Madiun adalah taburan serundeng.
Ini berupa parutan kelapa yang digoreng, kadang disertai potongan daging, lantas ditaburkan ke atas adonan nasi pecel. Maka rasa gurih pun tercipta.
Di hari biasa Bu Siti menghabiskan 20 kg beras untuk bahan nasi. Di hari libur, porsi itu naik jadi 35 kg beras. Sedangkan kacang tanah untuk dijadikan bumbu, per minggunya habis 50 kg.
Itu tidak untuk dicampurkan dalam pecel jualan utamanya semua, tapi juga dijual terpisah dalam kemasan plastik. Terdiri atas dua tingkatan rasa, sedang dan pedas, harga setiap kg Rp50.000,-
Dengan tujuh orang yang membantu kerja hariannya, Bu Siti kini mengganti gerobak dorong dengan mobil pikap baru yang dikemudikannya sendiri. “Sampai ke Madiun pun saya rutin ngambil beras di rumah orangtua saya, nyopir sendiri,” katanya.
(Baca juga: Mengunjungi Kampung Warna-warni di Malang)
Lha, Bapak tidak membantu?
“O, suami saya seorang guru. Ia sangat cinta dengan pekerjaannya, mengajar olahraga. Jadi biarlah dia bekerja dan saya jualan,” sambung Bu Siti, tetap dengan tawa yang mengembang. (SL)
Nasi Pecel Madiun Bu Siti:
(Seperti pernah dimuat di Buku Wisata Jajan Malang Raya– Intisari)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR