Advertorial

Inilah Sosok Penyelamat Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih

Agus Surono

Editor

Perjalanan bendera pusaka dalam revolusi Indonesia ternyata heroik juga. Dipisah untuk mengelabui Belanda, dan dijahit kembali untuk diserahkan ke Bung Karno di tempat pengasingannya di Bangka.
Perjalanan bendera pusaka dalam revolusi Indonesia ternyata heroik juga. Dipisah untuk mengelabui Belanda, dan dijahit kembali untuk diserahkan ke Bung Karno di tempat pengasingannya di Bangka.

Intisari-Online.com – Setelah berkibar pada saat detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945, bendera merah putih yang dijahit oleh Fatmawati pun berkibar siang dan malam. Bendera yang kemudian menjadi bendera pusaka ini merupakan salah satu “prasasti” kemerdekaan RI.

Namun, pada 4 Januari 1946, Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia melakukan aksi teror yang membuat presiden dan wakil presiden Republik Indonesia meningalkan Jakarta menuju ke Yogyakarta menggunakan kereta api.

Bendera merah putih itu pun dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno. Selanjutnya, ibukota dipindahkan ke Yogyakarta.

Belanda kemudian melancarkan agresinya yang kedua pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Di saat-saat genting ketika Istana Presiden Gedung Agung, Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Presiden Sukarno memanggil salah satu ajudannya berpangkat Mayor yang bernama Sayyidil Habib Muhammad Husein Muthahar (H. Mutahar) untuk menyelamatkan bendera pusaka.

Saat itu, Sukarno berucap kepada H. Muthahar, “Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apa pun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu.

(Baca juga:Ternyata Bendera Pusaka RI Dari Tenda Warung Soto, Ini Cerita Kompletnya)

“Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek.

“Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.”

Agar bendera itu tidak mudah dikenali, maka H. Muthahar pun membagi bendera pusaka menjadi dua bagian dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera itu. Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, kedua carik kain merah dan putih itu berhasil dipisahkan.

Kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Dengan begitu, Muthahar berharap Belanda hanya mengenali kedua bagian bendera pusaka itu sebagai kain biasa, sehingga tidak melakukan penyitaan.

Tak lama kemudian Presiden Sukarno ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat (kota kecil di pinggir Danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka.Sedangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta langsung dibawa ke Bangka.

H. Muthahar dan beberapa staf kepresidenan akhirnya tertangkap juga dan diangkut dengan pesawat Dakota. Mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, H. Muthahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta.

(Baca juga:Cerita Raja Amfoang yang Ingin Serahkan Kembali Bendera Pusaka kepada Presiden Jokowi)

Di Jakarta ia menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang sebelumnya tidak ikut mengungsi ke Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, dia indekost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama).

Sekitar pertengahan bulan Juni 1948, H. Muthahar menerima pemberitahuan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta. Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa ada surat dari Presiden Sukarno yang ditujukan kepadanya.

Isi surat itu adalah sebuah perintah agar ia segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya kepada Sudjono, agar dapat dibawa ke Bangka.

Mengapa Sudjono yang harus menyerahkannya?

Ternyata dalam pengasingan itu Bung Karno hanya boleh dikunjungi oleh anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Na­tions Committee for Indonesia). Sudjono adalah salah satu anggota delegasi itu, sedangkan H. Muthahar bukan.

(Baca juga:Meski Ada Tiang Besi, Suhud Mengibarkan Bendera Proklamasi Pertama Di Tiang Bambu. Ini Alasannya!)

Begitu tahu kapan Sudjono akan berangkat ke Bangka, H. Muthahar pun menjahit kembali kedua carik kain merah dan putih tadi. Meski sudah dilakukan dengan hati-hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya

Dengan dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan, selanjutnya bendera pusaka diberikan H. Muthahar kepada Soedjono untuk diserahkan sendiri kepada Presiden Soekarno.

Kejadian itu memberikan inspirasi bagi H. Muthahar yang juga komponis itu, untuk melahirkan lagi “Hari Merdeka”. Lagu-lagu lain yang terkenal dari sosok ini adalah "Syukur" dan "Hymne Pramuka".

Artikel Terkait