Advertorial

Tak Hanya Buang Sampah atau Meludah Sembarangan, di Singapura, Tak Habiskan Makanan Juga Bisa Berujung Denda

Ade Sulaeman

Editor

Mungkin ini agak unik, sebab bukankah hak pemesan untuk memesan atau mengambil makanan sepuas dan sebanyaknya.
Mungkin ini agak unik, sebab bukankah hak pemesan untuk memesan atau mengambil makanan sepuas dan sebanyaknya.

Intisari-Online.com – Masyarakat Singapura, boleh dikata sudah terbiasa dengan denda.

Beberapa perilaku yang dianggap melanggar ketertiban umum, misalnya membuang sampah, meludah di tempat umum, bahkan merokok dan makan-minum di gerbong MTR (kereta rel metropolitan) pun dikenakan denda.

Kini ada jenis denda yang patut ditiru pengusaha restoran "makan sepuasnya"; yaitu denda uang kalau tidak menghabiskan makanan yang telah diamibil.

Mungkin ini agak unik, sebab bukankah hak pemesan untuk memesan atau mengambil makanan sepuas dan sebanyaknya.

Soal dihabiskan atau tidak, itu soal nanti, karena makanan itu toh akan dibayar.

(Baca juga: Saat Lee Kuan Yew yang Berhasil Tingkatkan Kemakmuran Singapura Kembali ke Keluarga dan Mempersiapkan Penggantinya)

Peristiwanya begini, suatu ketika kami bersantap di sebuah hotel yang menawarkan hidangan steamboat.

Tarif per orang 12,50 dolar Singapura (sekitar Rp14.000,00) dan memang cukup mahal.

Tapi .... nah ini dia ... bagi tiap ons makanan yang tersisa, apakah itu sayur asin, ikan, nasi atau apa saja, akan dikenakan denda 8 dolar per ons.

Jadi, terpaksalah kami mengambil makanan dengan hati-hati, setelah memilih dan menaksir sesuai kekuatan kantong perut kami masing-masing.

Kami pun kemudian mengambil langkah aman, yakni bolak-balik mengambil sedikit-sedikit tambahan nasi dan lauk pauk.

(Baca juga: Singapura Tak Mungkin Masuk Daftar 10 Negara dengan Tingkat Korupsi Terendah di Dunia Tanpa ‘KPK’)

Daripada kebanyakan dan sisanya terkena denda berdasarkan timbangan per ons.

Diam-diam saya pikir, ini kebiasaan yang bagus dan patut ditiru di negeri kita.

Bukankah "kebiasaan" kita yang suka seenaknya mengambil makanan, lalu menyisakan sampai mubazir itu patut kita ubah?

(Salmona L. Jahja seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1991)

Artikel Terkait