Tahu Bungkeng, ‘Tersembunyi’ Sekaligus Terkenal Sejak Zaman Kolonial

Ade Sulaeman

Penulis

Tahu Bungkeng dari Sumedang
Tahu Bungkeng dari Sumedang

Intisari-Online.com – Bisa jadi ini sebuah prestasi: jualan goreng tahu terus-menerus tanpa putus selama hampir 80 tahun!

Adakah kiat dagang dan resep khusus hingga tahu Bungkeng di Sumedang tetap bertahan dan terus dicari orang buat oleh-oleh?

Di Sumedang – dan umumnya kota lain di Jawa Barat, tahu goreng dan goreng tahu bisa berbeda artinya. Dalam bahasa Sunda, goreng berarti jelek, butut, rusak.

Nah, kalau yang dijual tahu goreng, ditanggung bakal tak ada yang mau beli. Lain soal kalau yang didagangkan goreng tahu, apalagi kalau itu tahu sumedang yang kopong kepes-kepes.

Dimakan panas-panas pakai cengek pun rasanya sudah aduhai.

(Baca juga: Misterius, Solikhyanto Masih Belum Paham Kenapa Mobilnya Tiba-tiba Tersesat di Hutan Sumedang)

Enaknya lagi, kini pelancong yang mampir ke Sumedang tak cuma bisa menyantap goreng tahu bersama cabai rawit yang masih renyah.

Sambil duduk santai di depot bisa juga menikmati tahu sumedang bersama lontong yang dicocolkan ke sambal terasi. Deuh, raos pisan, euy. Nikmat sekali.

Dari kedelai baru

Sebut saja Jl. Tegalkalong! Bangsanya tukang parkir, tukang becak, sais delman, dan buruh toko di pusat Kota Sumedang dijamin sudah tahu di mana adanya.

Biarpun sekarang namanya sudah berubah menjadi Jl. Sebelas April, orang tetap lebih mengenal nama lamanya itu. Di sanalah letak "toko" goreng tahu Bungkeng.

(Baca juga: Inilah 18 Profesi Dunia Kuliner Yang Menggiurkan)

Tersembunyi di balik taman umum dan hiruk-pikuk pasar, tapi tak kelewat jauh dari jalan protokol Jl. Mayor Abdurachman.

Hanya saja, menemukannya memang agak sulit. Soalnya, depot tahu ini tak pasang papan nama. "Kita mah sengaja nggak pasang merek," sambut Ong Yoe Kim (55), pemiliknya, yang lebih akrab dipanggil Ukim.

"Mangkanya, suka ada langganan nyang kukurilingan (kesasar - Red.), cari-cari. Tanya sana-. sini di mana ya tempatnya nyang namanya tahu Bungkeng?" tambah istrinya.

Namanya saja rezeki, pasang papan nama ataupun tidak, agaknya tetap bukan kendala. Paling tidak, ini sudah dibuktikan keluarga Bungkeng.

Mereka turun-temurun secara estafet berdagang goreng tahu sumedang dan sukses bertahan sepanjang empat generasi!

Dalam surat izin usaha, yang diwarisinya dari kakeknya, tertulis "perusahaan" tahu Bungkeng berdiri pada 1928 dan terus melaju sampai sekarang!

"Kalau perusahaan lain mah banyak yang buka-tutup buka-tutup berkali-kali. Kalau bisnis lagi sepi, tutup. Nanti kalau ramai lagi, buka. Tapi kita nggak. Mau ramai mau sepi, tetap ajah jualan goreng tahu," aku Ukim.

Benarkah ini melulu lantaran hoki? "Ya pasti nggak, dong," elak Ukim. Kunci utamanya, menurutnya, karena mereka teguh menjaga mutu.

"Bahan bakunya mesti bagus kwalitet-nya. Kalau kedelai dan minyak gorengnya alus (bagus - Red.) pasti hasilnya juga enak."

Konsekuen dengan prinsipnya, Ukim berkeras mengumpulkan sendiri bahan baku tahu bikinannya.

Setiap saat panen raya tiba, ia pasti berburu kedelai segar dari desa ke desa. Biasanya ia keluar-masuk ke seluruh pelosok Sumedang.

Nanti sesampai di rumah, kedelai itu ia jemur lagi sampai kadar air tertentu, agar bisa disimpan. “Kalau orang lain mah, asal beli kedelai ajah di pasar. Nggak melihat mutunya.”

Apakah cara ini tidak membuat biaya produksinya membengkak? “Itu jelas. Tapi kami memang sudah dipesan orang tua, yang mewarisi usaha ini dari kakek, supaya jaga mutu," papar Ukim.

Untungnya, selain membuka depot tahu sumedang, ia pun berdagang hasil bumi, seperti gula pasir, kedelai, kacang tanah, minyak goreng.

Hingga perburuan kedelai itu dilakukannya sekalian dengan berburu hasil bumi lainnya.

Membeli kedelai langsung di pasar, seperti yang banyak dilakukan perajin tahu di Sumedang, sebenamya lebih mudah dan lebih menguntungkan.

Sayangnya, kedelai impor lewat Bulog yang beredar di pasaran, menurut Ukim, kerap kali sudah kedaluarsa.

"Bisa jadi di negara asalnya sana sudah stok nasional, sehingga sampai di sini sudah bau apek," ungkapnya.

"Ini berpengaruh sekali pada mutu tahu. Tahunya juga akan bau apek. Rasanya pun agak lain."

Mau tak mau, usahanya menjaga mutu ini ada juga pengaruhnya pada harga. Paling tidak, konsumen harus membayar agak mahal untuk sebiji goreng tahu Bungkeng.

"Makanya pedagang lain banyak nyang berani banting harga, dimurahin Rp 20,- - Rp 25,-," ucapnya, "Kalau kami mah, boro-boro mau banting harga, dengan harga nyang sekarang ajah untungnya sudah pas-pasan."

Resep warisan bukan rahasia

Ayah tujuh anak, yang sebagian sudah sarjana dan ikut mengelola usaha goreng tahu sumedang, ini mengaku rata-rata menghabiskan 5 ton kedelai sebulan.

Pada hari-hari biasa Ukim umumnya bisa menjual 5.000 biji tahu. Hari Minggu atau hari libur lainnya bisa dua kali lipatnya atau malah lebih.

Tapi, kalau ingin membeli banyak mesti memesan dulu sedikitnya sehari sebelumnya. "Pemah ada juga nyang pesan 8.000 biji. Sampai semobil penuh!" ucap istri Ukim mengingat.

Kalau tidak, depot Ukim yang cuma buka dari pukul 06.00 - 18.00 WIB ini tak sanggup melayani.

Pas Lebaran peminatnya malah lebih banyak lagi. Bisa sampai empat atau lima kali lipat hari biasa. "Kita sampai nggak tahan bikinnya. Terpaksa tambah tenaga borongan untuk bikin tahu," akunya.

"Kalau Lebaran 'gitu pembelinya datang dari mana-mana. Bandung, lakarta, Banten. Nyang dari Sumatra juga ada."

Menurut Ukim, banyak juga orang beken yang bertandang ke depotnya. Mulai dari pejabat sampai artis dan pelawak.

Hetty Koes Endang dan Kabayan termasuk yang pernah mampir memborong goreng tahu Bungkeng.

Sekalipun goreng tahu bikinannya sudah cukup dikenal, Ukim tak pelit membuka resepnya. Setelah direndam sampai mengembang, kedelai digiling sampai halus dan menjadi bubur.

Ke dalam bubur kedelai ini ditambahkan air, banyaknya tiga kali jumlah kedelai. Selanjutnya, bubur kedelai direbus sampai mendidih betul, lalu diangkat dan disaring.

Cairan sari kedelai yang lolos dari saringan dibubuhi biang cuka tahu dan didiamkan beberapa saat sampai menggumpal. Gumpalan sari kedelai kemudian ditampung dalam kotak-kotak beralas kain dan dipres selama 5 - 7 menit, sampai airnya agak kesat.

Nah, jadilah tahu mentah yang siap dipotong-potong, untuk selanjutnya digoreng. Biang cuka tahu, menurut Ukim, cukup dibuat sendiri.

"Dibikin dari air limbah tahu yang didiamkan 1 - 2 malam, sehingga jadi asam," ungkapnya.

Pada saat penggumpalan, biang cuka tahu dituangkan ke sari kedelai, lantas airnya ditampung sebagian untuk disimpan sebagai biang cuka tahu yang bisa dipakai keesokan harinya. Begitu seterusnya.

Jadi, kalau dirunut-runut bibit biang cuka tahu yang dipakai Ukim sekarang sesungguhnya berasal dari pertama kali "perusahaan" tahu Bungkeng ini dibuka pada 1928!

Bisa jadi, perbedaan bahan penggumpal inilah yang membuat rasa dan tekstur tahu sumedang berbeda dengan tahu di daerah lain. Tahu sumedang terasa lebih gurih dan lembut di lidah.

Soalnya, menurut Ukim, "Tahu di tempat lain digumpalkan pakai batu tahu (CaSO4 -Red.). Malah ada yang pakai garam atau cuka dapur."

Kalau Anda penasaran, saat melintas di Kota Sumedang - dari arah Bandung menuju Cirebon atau sebaliknya - tak ada salahnya mampir ke depot goreng tahu Bungkeng di Tegalkalong.

Kalau tidak, bisa juga di depot baru Bungkeng di jalan protokol Jl. Mayor Abdurachman. (Wied Harry Apriadji/G. Sujayanto)

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1994)

Artikel Terkait