Intisari-Online.com – Seorang pria yang memiliki 3 anak gadis, dan ia merupakan orangtua tunggal untuk anak-anaknya.
Suatu pagi ia meminta putri tertuanya, Sonia, untuk membuat sarapan sebelum pergi ke sekolah.
Tidak menyadari bahwa anaknya sudah sangat terlambat dan takut akan peringatan dari sekolahnya, pria itu tertegun oleh reaksi anaknya. Sonia menangis.
Sekali lagi, pria itu salah menafsirkan ledakan tangis anaknya, ia menyuruh anaknya mengeringkan air matanya dan kembali bekerja.
Terlihat sekali anaknya enggan mematuhinya, tapi amarahnya jelas terdengar saat ia membanting piring di tempat cucian piring.
(Baca juga: Menerima Permintaan Maaf dari Orang Paling Dibenci saat Lebaran Kemarin, Sanggupkah Kita Memaafkannya?)
Anak gadis itu kembali kepada ayahnya dan menatap muram ke luar jendela.
Biasanya, saat mengantar ke sekolah anak-anaknya, pria itu selalu mengajarkan puisi atau membacakan kisah agamis. Namun pagi itu, bahkan radio di mobil pun dimatikan.
Pria itu mendiamkan putrinya, dan setelah putrinya tiba di sekolah, ia pun melanjutkan perjalanan ke kantornya.
Ia mencoba untuk bekerja tapi ia tidak bisa berkonsentrasi.
Ia masih ingat wajah putrinya yang ketakutan, bersimbah air mata, dan ragu-ragu saat ia keluar dari mobil untuk menghadapi guru dan teman sekolahnya karena terlambat masuk.
(Baca juga: Inilah yang Terjadi Jika Anda Terlalu Sering Minta Maaf)
Pria itu mulai menyadari bahwa ia sudah salah. Sepanjang hari ia menyesali tindakannya.
Ia memutuskan untuk menyampaikan maafnya kepada putrinya dan tidak mau menunggu hingga tiba saatnya makan malam untuk meminta maaf.
Akhirnya ia pergi ke sekolah anaknya dan meminta izin untuk membawanya makan siang. Yang tentu saja sangat mengejutkan putrinya.
Tanpa peduli, ia menggamit lengan anaknya, dan sambil berjalan ia mengatakan kepada putrinya, “Sonia, saya minta maaf. Saya sangat menyesal. Tidak seharusnya saya memintamu membantu di rumah, apalagi engkau sudah terlambat tiba di sekolah. Dan saya membiarkanmu pergi tanpa ciuman sayang. Saya salah. Maafkan saya.”
Sonia memeluk erat ayahnya, dan berkata, “Oh, Ayah. Tentu saja aku memaafkanmu. Aku juga mencintaimu.”
Kekuatan kata-kata restoratif “Maafkan Saya”, bisa memulihkan hubungan antara kita dan orang-orang yang kita cintai, serta antara kita dan Sang Pencipta. (*)