Intisari-Online.com - Keberadaan bangsa Yahudi mulai menimbulkan masalah ketika pada tahun 1817 orang-orang Yahudi yang datang ke Palestina (Zion) makin bertambah.
Jumlah bangsa Yahudi yang datang ke Palestina meningkat pesat setelah secara politik kaum Yahudi menggelar Kongres Zionis Dunia I yang diselenggarakan di Swiss tahun 1897 .
Inti dari hasil kongres itu adalah mengajak orang-orang Yahudi yang berada di berbagai belahan dunia untuk “pulang kampung” ke Palestina.
Gerakan untuk pulang ke negeri Zion atau Palestina itu kemudian populer disebut sebagai Zionisme.
Gerakan yang dipimpin oleh para tokoh Yahudi seperti Dr Theodore Herzl dan Dr Chaim Weizmann itu secara perlahan tapi pasti membuat jumlah bangsa Yahudi yang datang ke Palestina makin bertambah secara signifikan.
(Baca juga: Konflik Palestina-Israel Sering Dianggap Konflik Agama, Benarkah Semua Penduduk Palestina Beragama Islam?)
Pada tahun 1917 ketika masih berkecamuk Perang Dunia 1, jumlah orang Yahudi yang berada di Palestina sudah mencapi 85.000 orang.
Palestina sendiri yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Turki (Kekasisaran Ottoman), saat itu sudah menjadi wilayah di bawah kekuasaan Kerajaan Inggris .
Pada tahun itu kebetulan pasukan Inggris yang bertempur melawan pasukan Jerman, sedang mengalami kesulitan di front Eropa Barat dan sangat membutuhkan bantuan dari sekutunya, AS.
Bantuan yang diharapkan Inggris bisa berupa uang dan persenjataan serta personel pasukan.
Demi mengambil hati pemerintah AS, keberadaan bangsa Yahudi di Palestina kemudian mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Inggris.
(Baca juga: Israel Rebut Panel Surya yang Ingin Disumbangkan ke Palestina, Pemerintah Belanda)
Kerajaan Inggris menyadari, bangsa Yahudi yang tinggal di AS merupakan para penguasa ekonomi dan poitik sehingga jika Inggris bisa memanfaatkan bangsa Yahudi yang ada di Palestina, Pemerintah AS bisa dipastikan akan tergerak serta memberikan bantuan.
Tanpa berpikir panjang Inggris kemudian mengeluarkan Deklarasi Balfour untuk penentuan nasib orang Yahudi di Palestina.
Deklarasi yang terkesan dibuat secara tergesa dan cenderung lebih mengutamakan keberadaan orang Yahudi itu, tanpa disadari oleh Inggris, ternyata menjadi pemicu masalah rumit dan berakibat panjang.
Materi dari Deklarasi Balfour itu antara lain Inggris berjanji akan memberikan bantuan bagi terwujudnya negara merdeka bagi kaum Yahudi di Palestina.
Sebagai penguasa atas Palestina, saat itu Inggris secara politik memang bisa mewujudkan berdirinya negara bagi kaum Yahudi tanpa merugikan hak-hak warga Arab-Palestina.
(Baca juga: Jangan Salah, Ternyata Lebih dari Separuh Warga Israel Mendukung Kemerdekaan Palestina)
Deklarasi Balfour itu jelas merupakan angin segar bagi kaum Yahudi dan dianggap sebagai janji atau komitmen bagi terwujudnya tanah air bagi mereka.
Sedangkan, bagi warga Arab Palestina sendiri Deklarasi Balfour itu diyakini tidak akan mengganggu domisili wilayahnya meskipun imigrasi kaum Yahudi makin bertambah banyak.
Suatu keyakinan yang secara politik ternyata merugikan warga Arab Palestina di kemudian hari dan memicu bentrokan bersenjata yang tidak pernah selesai hingga saat ini.
Pasalnya orang Israel ternyata menyatakan merdeka secara paksa setelah berhasil “mengusir” penguasa Inggris di Palestina melalui provokasi dan teror.
Pada saat yang sama, Israel juga mengambil wilayah yang merupakan milik warga Palestina yang terpaksa mengungsi ke negara-negara Arab terkait Kemerdekaan Israel yang diproklamasikan secara sepihak tanpa persetujuan Inggris pada 14 Mei 1948.
Warga Arab Palestina terpaksa mengungsi karena tidak setuju dengan berdirinya negara Israel.
Tapi wilayah yang ditinggalkan ternyata “diambil” Israel hingga saat ini.
Jadinya intinya, warga Arab Palestina sebenarnya ingin memiliki wilayah yang pernah ditinggalkannya itu, namun Israel ternyata tidak mau memberikannya.