Intisari-Online.com -Kami punya 1.000 tentara di dalam Resimen Infantri Singapura I dan II sejak pisah dari Malaysia.
Tapi saya tak yakin dengan kemampuannya. Saya meminta bantuan P.M. India Lal Bahadur Shastri untuk mengirim penasihat militer, namun tak dikabulkan.
Demikian pula permintaan kepada Presiden Nasser dari Mesir. Pada Oktober 1968 ada ancaman setelah dua anggota pasukan komando Indonesia dijatuhi hukuman mati gara-gara meledakkan bom di Hongkong & Shanghai Bank di Orchard Road dan menewaskan tiga warga Singapura dalam masa konfrontasi dengan Malaysia.
Tapi kami ingin menegakkan hukum.
(Baca juga: Lee Kuan Yew: Singapura Memilih Merdeka, karena Malaysia Hanya Ingin Dikuasai Suku Melayu) Kami menoleh kembali kepada Mordecai Kidron, duta besar Israel di Bangkok yang sejak 1962 - 1963 membujuk saya membuka konsulat di Singapura.
Ia setuju memberi bantuan kemiliteran, meski desakannya untuk membuka konsulat tidak saya kabulkan dengan argumen ketergantungan saya pada Malaysia dan kekhawatiran akan umat Muslim di Malaysia dan Singapura. November 1965, sekelompok kecil tentara di bawah Kolonel Jak Ellazari datang, dan pada Desember datang lagi enam orang.
Agar tak mencolok, kami samarkan aktivitas dan menyebut mereka "orang Meksiko". Mereka bekerja cepat dan efektif.
(Baca juga: Lee Kuan Yew Keturunan Semarang?)
Berbalikan dengan cara Inggris yang membentuk resimen I dan II secara bertahap, perlu waktu 15 - 20 tahun bagi seorang prajurit untuk mencapai jabatan komandan batalion berpangkat letnan kolonel.
Berbeda pula dengan cara Presiden Kennedy yang mengirimkan 3.000 - 6.000 "penasihat" untuk membantu Presiden Ngo Dinh Diem pada awal pembentukan angkatan bersenjata Vietnam. Israel hanya mengirimkan 18 orang. Pelatihan pun berhasil. Masalah keamanan teratasi. Tapi untuk apa? Kami harus hidup.
Kami harus mendorong para investor untuk menanamkan uangnya di Singapura. Militer bukan bekal yang cukup untuksurvive.
(Intisari Desember 2000)