Intisari-Online.com - Operasi SAR menggunakan helikopter tidak hanya ditentukan oleh kemampuan teknis heli yang sesuai dengan spesikasi demi keberhasilan melaksanakan misi paling sulit.
Tetapi juga ditentukan oleh ketrampilan dan naluri para pilotnya.
Jika ada musibah besar seperti jatuhnya pesawat penumpang atau bencana alam lainnya, Basarnas biasanya segera membentuk tim penyelamat yang didukung oleh sejumlah helikopter baik yang dimiliki oleh TNI-Polri, Palang Merah Indonesia, heli milik penerbangan swasta, dan Basarnas sendiri.
Penggunaan helikopter untuk operasi SAR itu umumnya demi menjangkau lokasi musibah yang memiliki medan sulit, mengangkut korban yang hidup atau meninggal, menerjunkan tim penolong, mengirimkan logistik, dan lainnya.
Misalnya saja dalam musibah yang menimpa pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak, Bogor bulan Mei 2012, Basarnas segera mengerahkan sejumlah helikopter penolong.
(Baca juga: Basarnas Temukan Kokpit AirAsia QZ8501, Satu Pilot Sudah Dievakuasi)
Semua helikopter dari TNI-Polri dan Basarnas yang bertugas dalam operasi evakuasi korban jatuhnya pesawat penumpang Sukhoi itu berbasis di Lanud Atang Senjaya (ATS), Bogor, Jawa Barat.
Dalam hal ini semua operasinal dan lalu lintas semua penerbangan heli diatur oleh ATC Lanud ATS yang saat itu juga berfungsi sebagai posko logistik untuk operasional SAR.
Jenis helikopter yang biasa dioperasikan oleh Basarnas baik dalam latihan maupun operasi SAR yang sesungguhnya dengan dukungan helikopter TNI-Polri dan PMI antara lain Super Puma Nas-332, Mi-17, Bolcow-105, Heli SAR HR-130, Bell-412, dan lainnya.
Semua helikopter yang dikerahkan dalam operasi SAR tetap dioperasikan dengan mengutamakan keselamatan terbang para pilot dan awaknya, serta tim penyelamat yang diangkut heli.
Pasalnya, dalam prinsip operasinal SAR adalah jangan sampai tim penolong berusaha menentang kodrat alam sehingga malah menjadi korban susulan yang harus diselamatkan oleh tim lain seperti yang dialami heli Basarnas yang jatuh di Temanggung, Minggu sore (2/7/2017).
(Baca juga: Kisah Pencarian Pesawat AirAsia QZ8501 di Mata Tim Basarnas)
Artinya jika cuaca sedang memburuk atau helikopter sedang mengalami masalah teknis, upaya penyelamatan korban menggunakan heli akan ditangguhkan.
Apalagi masing-masing heli mempunyai karakter sendiri-sendiri sehingga kemampuannya untuk diterjunkan dalam operasi SAR yang umumnya memiliki medan ekstrem berbeda-beda.
Misalnya, dalam operasi SAR untuk menangani korban Sukhoi Super Jet 100 di Gunung Salak , sesuai peran dan fungsinya, heli Super Puma TNI AU dan Bolcow-105 Basarnas, serta heli Mi-17 TNI AD, berperan sebagai dropping logistik bagi personel tim SAR menuju lokasi kecelakaan (crash site).
Sementara Bell-412 milik Polri, Colibri TNI AU, heli BK-117 Kawasaki Rusia, Bolcow-105 PMI, berperan membawa kantong jenasah dari posko di desa Cijeruk menuju Lanud Halim Perdanakesuma, Jakarta.
Pada operasi SAR untuk mengevakuasi korban di Gunung Salak, peran heli Super Puma memang sangat menonjol.
Dengan lincah Super Puma datang dan pergi membawa jasad korban lalu mendarat mulus di heli pad darurat yang telah dibangun di desa Cijeruk, Bogor.
Sementara heli Mi-17 yang bertugas men-dropping logistik dari udara dengan ukuran fuselage yang lebih besar dari Super Puma dan memiliki enam baling-baling hanya bisa mendarat di Lanud ATS dan sempat terbang kembali ke pangkalan (RTB) karena menghadapi cuaca buruk.
Jika Mi-17 memaksa diri mendarat di heli pad darurat, genting rumah penduduk bisa beterbangan dan penduduk sekitar yang datang berduyun untuk menonton bisa terluka kena sambaran angin dan debu mengingat begitu kuatnya terpaan keenam bilah baling-balingnya.
Para pilot heli yang biasa terbang di tempat-tempat ektrem untuk misi SAR memang dituntut untuk memiliki kemampuan ekstra tidak hanya dalam soal menerbangkan pesawat tapi juga kemampuan membaca alam seperti cuaca dan faktor-faktor terkait.
Secara teknis para pilot heli juga harus memahami heli jenis apa yang bisa dioperasikan di tempat-tempat ektsrem itu karena sewaktu-waktu harus bisa mengantisipasi kondisi darurat.
Dalam operasi penyelamatan korban di Gunung Salak yang puncak tertingginya lebih dari 7.000 kaki, kondisi darurat itu dipastikan akan menyergap mengingat kabut di puncak gunung bisa tiba-tiba datang meyergap dalam hitungan menit.
Maka setelah dilakukan koordinasi oleh Kabasarnas, penerbangan untuk mencapai crash site hanya bisa dilaksanakan ketika cuaca sedang cerah dan menggunakan heli yang secara teknis serta spesifikasi mampu melaksanakan misi itu, yakni Super Puma.
Dalam misi darurat itu terlihat betapa kemampuan dan naluri pilot sangat menentukan keberhasilan tugasnya.
Selain memiliki naluri tempur yang tajam sehingga bisa melancarkan tugasnya, para pilot heli juga akan lebih mumpuni jika bisa menerbangkan heli dengan berbagai tipe.
Para pilot heli TNI AU yang juga kerap bertugas sebagai pilot Basarnas untuk stand by SAR di sejumlah Posko SAR ternyata juga mahir menerbangkan heli Bo-105 yang biasa dioperasikan oleh Polri dan Basarnas sendiri.
Ketrampilan itu diperoleh secara mandiri ketika mereka sedang ditugaskan di markas Basarnas yang umumnya memiliki heli jenis Bolcow.
Berdasarkan pengalaman para pilot heli menunjukkan bahwa ketrampilan para pilot heli untuk melakukan misi SAR, selain didukung oleh pelatihan yang memadai juga ditentukan oleh kemampuan heli itu sendiri.
Tapi heli SAR yang makin canggih jelas akan menentukan keberhasilan setiap misi-misi sulit tersebut.
Heli SAR masa depan yang ideal untuk memenuhi tugas-tugas darurat itu adalah yang secara teknis bisa berfungsi secara multi peran sehingga bisa dioperasikan dalam segala medan dan cuaca.
Misalnya, heli SAR jenis Sikorsky S-92, AW 101, EC-225 Super Puma, S-760 SAR, dan lainnya.
Jika ditengok dari sisi sejarahnya kiprah Heli TNI-Polri yang pernah digunakan untuk operasi SAR memang cukup banyak, seperti heli Sikorsky S-58T Twin Pack yang pernah menjadi heli transport dan SAR di era Perang Vietnam.
Dalam jajaran TNI AU, Twin Pack bahkan bukan hanya memiliki sejarah yang legendaris dalam misi tempur tapi juga misi SAR.