Intisari-Online.com - Ramai kabar soal seorang selebritas yang ogah memberi vaksin kepada anaknya, hingga akhirnya anaknya sakit, membuat seorang pengguna media sosial Twitter, Nurinawati (@nurinawati) berbagi kisah tentang suaminya.
Suaminya sejak kecil memang tidak pernah mendapatkan vaksin dari orangtuanya. Penyebabnya, ia tidak tahu.
Namun yang pasti, semasa kecil, suaminya pernah tinggal di luar negeri.
“Pas pindah ke Indonesia, enggak kejar vaksinasi yang ketinggalan juga,” tutur Nurinawati.
Setelah dewasa, rupanya suaminya terkena campak, dua kali dalam tiga tahun. Usianya sudah 30 tahun, dan akibatnya sungguh parah.
Badan suaminya terdapat ruam merah, rata satu badan, bahkan sampai telapak kaki. Demam 40 derajat Celcius.
Kejang, mengigau, dan tidak bisa makan karena mual.
Demam yang begitu parah sampai membuat Nurinawati harus menamparnya berkali-kali. Tapi tidak bangun juga.
“That was one of the scariest days in my life.”
Selama puncak demam 2 hari, suaminya tidak ingat apapun. Hilang ingatan. Bolak-balik bertanya, “Aku di mana?”, “Siapa ya?” ke setiap orang.
Bahkan suaminya tak ingat nama istrinya. Cuma ingat wajah.
Suaminya akan memegang tangan Nurinawati, jika ada orang yang masuk ruangan. Takut karena tidak kenal. Padahal mungkin orang itu adalah mertua atau bahkan suster.
Demam itu rupanya sudah merusak saraf dan sistem imun. Sistem saraf semi otonom dari pingga ke bawah terkena. Akibatnya tidak bisa buang air kecil dan buang air besar.
Selain itu kakinya juga terus kejang tidak berhenti. Sangat mengganggu hingga membuat tidak bisa tidur. Sedang sakit dan tidak bisa tidur, tentu membuat penyembuhan menjadi lebih lama.
Dengan keluhan tidak bisa buang air kecil, Nurinawati harus mendapat kepastian tentang penyebabnya setelah melalui pemeriksaan tiga orang dokter. Meski masih bisa menggerakkan kaki, tapi suaminya demam tinggi, serta lemas.
Baru setelah dokter ketiga, ia mendapat kepastian bahwa penyakitnya adalah Conus Medullaris Syndrome.
Singkatnya, penyakit ini menyebabkan penyempitan atau tekanan yang mempengaruhi fungsi saraf di konus medullaris (terletak antara tulang belakang toraks 12 dengan lumbar 1)
Sejak diketahui penyakit itu, suami Nurinawati harus menjalani berbagai pemeriksaan. Antara lain MRI, setrum listrik untuk melihat gerak refleks, sampai mengambil sampel cairan sumsum tulang belakang.
Pemeriksaan terakhir itu yang membuat Nurinawati bergidik. Pasalnya, pemeriksaan pengambilan sampel itu dilakukan menggunakan jarum di tulang belakang.
Nurinawati yang pernah menjalani suntik bius spinnal di tulang belakang menggambarkan tindakan itu sakitnya luar biasa. Tapi suaminya malah tidak merasakannya.
“Loh, sudah disuntik? Kok, enggak sakit?” tanya suaminya. Padahal saat itu ada jarum yang menancap di tulang punggung dan cairan sumsum menetes-netes ke botol.
Untuk mengerjakan prosedur ini, dokter bahkan didampingi empat perawat. Dua perawat pria tugasnya untuk memegangi tubuh pasien agar posisinya pas. Dan agar jarumnya tidak patah karena terpencet ruas tulang belakang!
Selama perawatan, selain dokter spesialis saraf, juga ada dokter spesialis dalam, dan spesialis urologi yang menangani. Beruntung, kata Nurinawati, tiga dokter ini mau membuat agar konsumsi obatnya tidak berlebihan.
Setelah perawatan saraf selama sebulan, akhirnya kateter sudah bisa dilepas. Rasanya lega karena bebas dari stres.
Kini setelah terkena campak, sistem imun suami Nurinawati sudah tidak kuat lagi. Gampang sakit. Sedikit lelah atau stres, bisa langsung sakit.
Tiap bulan ke rumah sakit. Kalau sakit, penyembuhannya juga lama.
Nurinawati ingat betul, ketika dirawat campak, salah satu dokter pernah bertanya: “Pas kecil imunisasi? Ini penyakit anak-anak mestinya. Jarang di orang dewasa.”
Tentu saja yang sudah terjadi tidak perlu disesali. Akan tetapi menurut Nurinawati, semua bisa dicegah hanya dengan imunisasi.