Intisari-Online.com – Beberapa hari ini ada kabar kalau anak Oki Setiana Dewi dan suaminya terkena campak.
Lalu tersiar kabar bahwa hal itu dikarenakan keduanya tidak memberikan imunisasi kepada kedua putrinya karena menduga kalau vaksin campak itu mengadung babi.
Jika pun itu benar, sikap Oki dan suami yang menentang penggunakan vaksin bukanlah kejadian pertama yang terjadi. Penolakan terhadap vaksin, alias gerakan anti-vaksin,bahkan sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu.
(Baca juga:5 Fakta Vaksin Ini akan Memberi Tahu Kita bahwa Vaksin Tak Sekadar Memberi Kekabalan pada Tubuh Manusia)
Dilansir dari Historyofvaccines.org, para ilmuwan kesehatan dan medis telah menggambarkan vaksinasi sebagai salah satu dari sepuluh pencapaian kesehatan masyarakat di abad 20.
Namun penolakan terhadap vaksinasi telah ada selama keberadaan vaksinasi itu sendiri hadir.
Cacar dan Liga Anti-vaksinasi di Inggris
Vaksin cacar meluas pada awal 1800-an, mengikuti eksperimen Edward Jenner, di mana ia menunjukkan bahwa dia dapat melindungi anak dari cacar jika terinfeksi.
Gagasan Jenner tersebut mendapat kritik langsung dari masyarakat. Alasannya bervariasi. Seperti keberatan terhadap sanitasi, agama, ilmiah, dan politisi.
Bagi beberapa orangtua, vaksin cacar itu sendiri menimbulkan ketakutan. Seperti memasukkan getah bening dari orang yang divaksinasi sekitar seminggu sebelumnya.
Beberapa lainnya keberatan karena percaya bahwa vaksin itu “tidak kristiani” karena berasal dari seekor binatang.
Bagi anti-vaksinasi lainnya, mereka tidak percaya terhadap obat-obatan dan gagasan Jenner tentang penyebaran penyakit.
Setelah itu, pemerintah membuat Undang-undang Vaksinasi 1853 dengan memerintahkan vaksinasi wajib untuk bayi berusia 3 bulan dan Undang-undang tahun 1867 memperpanjang pesyaratan usia sampai 14 tahun.
UU tersebut langsung mendapat perlawan dari warga yang menuntut hak untuk mengendalikan tubuh mereka dan anak-anak mereka sendiri.
Liga Anti-vaksinasi pun dibentuk sebagai tanggapan terhadap UU wajib tersebut. Kota Leicester merupakan kota khusus aktivitas anti-vaksin dan lokasi demonstrasi anti-vaksin.
Liga Anti-vaksinasi di Amerika Serikat
Tahun 1902, wabah cacar membesar di Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan kampanye vaksin dan aktivitas anti-vaksin terkait.
Dewan kesehatan kota Cambridge, Massachusetts, mengamanatkan semua penduduk kota untuk divaksinasi terhadap cacar.
(Baca juga:Dituduh Anti-Vaksin, Inilah Jawaban Oki Setiana Dewi)
Namun penduduk kota menolak vaksinasi dengan alasan bahwa UU tersebut melanggar haknya untuk merawat tubuh sendiri.
Bahkan pertarungan melawan UU vaksin wajib ini sampai maju ke Mahkamah Agung Amerika Serikat.
Kontaminasi vaksin Difteri, Tetanus, dan Pertusis (DTP)
Pada pertengahan 1970-an, ada sebuah kontroversi internasional mengenai keamanan imunisasi DPT meluas di Eropa, Asia, Australia, dan Amerika Utara.
Di Inggris Raya, ada tanggapan atas laporan yang menuduh ada 36 anak-anak menderita kondisi neurologis setelah imunisasi DTP.
Hasilnya ada penurutnan tingkat vaksinasi di beberapa negara.
Kontroversi vaksin Campak, Gondok, dan Rubella (MMR)
Dua puluh lima tahun setelah kontroversi DTP, terjadi lagi aktivitas anti-vaksinasi di Inggris. Kali ini mengenai vaksin MMR.
Tahun 1998, dokter asal Inggris, Andreew Wakefield meminta penyelidikan lebih lanjut tentang kemungkinan hubungan antara penyakit usus, autisme, dan vaksin MMR. Ia menduga, vaksin tersebut tidak diuji dengan benar sebelum digunakan.
(Baca juga:Benarkah Kita Semua Harus Terkena Cacar Air Sekali dalam Hidup Kita?)
Lagi dan lagi hal ini memicu ketakutan dan kebingunan publik atas keamanan vaksin.
Namun beberapa tahun berjalan tidak ditemukan satupun penelitian yang menjelaskan ada kaitan antara vaksin dan autisme.