Intisari-Online.com – Belum lama ini beredar kabar putri selebriti Tanah Air Oki Setiana Dewi dan suami Ory Vitrio terkena penyakit campak.
Melalui akun Instagram, kabar sakit kedua putri kecil yang bernama Maryam Nusaibah Abdullah dan Khadeejah Faatimah Abdullah itu ia sampaikan.
Beberapa saat setelah berita itu muncul, tersiar kabar kalau ternyata Oki dan suaminya memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi untuk kedua putrinya karena menduga kalau vaksin campak itu mengandung babi.
Hal tersebut diketahui dari unggahan dokter Piprim Basarah Yanuarso yang merupakan seorang Dokter Spesialis Anak.
Dokter Piprim sendiri sudah pernah menyarankan Oki untuk memberikan imunisasi sewaktu anak pertamanya Masyam lahir tahun 2014 silam.
Anak Oki Setiana Dewi Terkena Campak: Mungkinkah Anak Tetap Sakit Meski Sudah Divaksinasi?
Namun hingga saat ini belum diketahui secara pasti apakah memang benar Oki dan suaminya memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi untuk kedua putrinya.
Imunisasi memang tidak bisa dipaksakan. Ada banyak alasan mengapa orangtua tidak mau melakukan imunisasi terhadap bayinya.
Sempat kita membaca berita soal penolakan imunisasi MMR. Penolakan itu dikaitkan dengan autisme yang akan menyerang bayi yang diimunisasi MMR. Namun pangkal persoalan ternyata adalah hasil penelitian yang kurang valid karena hanya meneliti 13 bayi.
{Vaksin MMR(Mumps Measles Rubella) adalah campuran tiga jenis virus yang dilemahkan, yang disuntikkan untukimunisasimelawan campak (measles), gondongan (mumps), dan rubella (german measles).
Vaksin MMRumumnya diberikan kepada anak usia 1 tahun dengan booster diberikan sebelum memasuki usia sekolah (4-5 tahun).}
Namun, data yang dihimpun oleh infographicsarchive.com berikut ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa imunisasi ternyata memiliki dampak yang positif.
(Baca juga: Anak Oki Setiana Dewi Terkena Campak: Jangan Salah! Anak Campak Boleh Mandi)
Menurut data Pusat Pencegahan dan Pengontrolan Penyakit (CDC), AS, vaksinasi terhadap bayi ternyata berhasil menyelamatkan 33 ribu bayi, mencegah 14.000.000 infeksi, dan menyelamatkan AS$10 miliar (sekitar Rp130 triliun).
Menelisik lebih jauh lagi, di AS sebelum adanya vaksin campak terjadi kematian anak sejumlah 450. Ketika imunisasi diberlakukan, data pada 2004 menunjukkan penurunan kasus kematian anak menjadi 181.
Begitu juga untuk kasus hepatitis B. Sebelum adanya vaksin ada 450 ribu kasus per tahun, setelah munculnya vaksin, menurut data 2001 kasus hepatitis B turun menjadi 80 ribu.
Sementara untuk polio: sebelum vaksin ada 350 ribu kasus (data 1988), setelah vaksin turun drastis menjadi hanya 1.604 kasus per tahun (data 2009).
Kasus menolak imunisasi tidak saja terjadi di Indonesia. Jepang pernah mengalami hal itu. Pada tahun 1974, imunisasi untuk mencegak batuk pertusis (batuk 100 hari) mencapai angka 80 persen. Dua tahun kemudian angka itu tinggal 10 persen saja.
Hasilnya? Ada 13 ribu kasus batuk pertusis menyerang anak-anak dengan korban meninggal sejumlah 41.
Hal yang sama terjadi di California, AS. Pada tahun 2010 kasus batuk pertusis ini melonjak di angka 900-1.500 kasus dengan jumlah korban 5 bayi meninggal. Penyebabnya adalah penolakan vaksin.