Intisari-Online.com - Rendahnya cakupan imunisasi dasar di Indonesia menyebabkan masih ada penyakit yang sebenarnya bisa dicegah masih ditemui. Jika banyak anak tidak diimunisasi, wabah penyakit bisa muncul, bahkan menimbulkan kecacatan dan menelan korban jiwa.
Walau seorang anak sudah mendapat imunisasi lengkap tapi jika anak di lingkungannya banyak yang belum divaksin, maka risiko penularan penyakit tetap besar.
"Program vaksinasi akan efektif kalau cakupannya mencapai 80 persen. Kalau cakupan imunisasi turun sampai 60 persen, maka wabah penyakit mulai bangkit," kata dr.Piprim B Yanuarso, spesialis anak dari RSCM Jakarta.
Sudah cukup banyak kasus penularan penyakit pada anak-anak akibat rendahnya cakupan imunisasi. Salah satu kasus yang cukup besar adalah di Nigeria. Pada tahun 2003, lembaga ulama di negara tersebut mengeluarkan fatwa haram untuk vaksin polio karena dianggap mengandung virus HIV dan bisa menyebabkan kemandulan. Fatwa tersebut membuat banyak orangtua menolak anaknya diimunisasi.
Sekitar setahun kemudian, terjadi wabah polio, bukan hanya di Nigeria tapi juga ke 25 negara di Afrika dan Asia dan menyebabkan 5000 anak lumpuh. "Untuk wabah penyakit memang tidak serta merta muncul, butuh waktu," kata Piprim yang menjabat sebagai Sekjen Ikatan Dokter Anak Indonesia ini.
Virus polio tersebut juga mampir ke Arab Saudi. Sebagai pusat agama Islam dan juga negara kaya yang tiap tahunnya menerima jutaan jemaah haji dari seluruh dunia dan banyak menerima tenaga kerja asing, membuat polio tersebut berpotensi menyebar ke banyak negara lain, terutama yang tidak memiliki program vaksinasi polio yang baik.
Hal itu juga terbukti dengan wabah lumpuh layu di Sukabumi tahun 2005. Sekitar 15 dari 17 kasus lumpuh layu tersebut positif disebabkan oleh virus polio yang sama dengan strain virus polio yang merebak di Arab Saudi dan Sudan. Padahal, sejak 1995 Indonesia sudah dinyatakan bebas dari polio.
Sukabumi dikenal cukup banyak mengirimkan tenaga kerja ke Arab Saudi dan merupakan satu dari daerah yang vaksinasi polionya kurang dari rata-rata nasional.
Pada 2008-2012, angka kasus difteri naik signifikan (218 kasus tahun 2008 menjadi 1.192 kasus di 2012), disertai kenaikan angka kematian (dari 14 penderita meninggal pada 2008 menjadi 76 pasien pada 2012). Pada 2008-2011, mayoritas kasus menyerang kelompok usia 1-4 tahun dan 5-9 tahun. Pada 2012, difteri umumnya dialami kelompok anak usia 5-9 tahun dan di atas 14 tahun.
Lebih dari 50 persen kasus di tahun 2012 terjadi akibat tidak mendapat imunisasi. Pada tahun sama, kasus difteri ditemukan di 19 provinsi, jumlah kasus terbanyak ada di Jawa Timur, yakni 954 kasus atau 79,5 kasus.
Selain itu, penularan campak masih terus terjadi. Sepanjang 2012, ada 160 kejadian luar biasa campak dengan 2.319 kasus dan empat pasien meninggal. Kasus penularan campak kebanyakan terjadi di Pulau Jawa (Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten). Masalah itu harus segera dituntaskan untuk mencapai target eliminasi campak pada 2018. (KOMPAS/20/5/14).
Piprim mengatakan, banyak alasan yang membuat banyak orangtua tidak mau memberikan imunisasi pada anaknya. "Isu yang paling sering diangkat oleh kelompok antivaksin adalah vaksin tidak halal. Ada juga kekhawatiran anaknya demam gara-gara divaksin," katanya.
Sebagai negara kepulauan dengan beragam kondisi geografis, pemerataan cakupan imunisasi juga menjadi tantangan tersendiri.
Pekerjaan rumah pemerintah untuk meningkatkan cakupan imunisasi memang masih besar. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa imunisasi dilakukan untuk kepentingan dua arah, yaitu mencegah penyakit bagi individu yang rentan dan membentuk kekebalan bagi masyarakat lebih luas.
(Lusia Kus Anna/kompas.com)