Intisari-Online.com - Setelah Perang Dunia II berlalu, pasukan kavaleri dan kekuatan udara tetap menjadi andalan untuk melancarkan serangan kilat (blitzkrieg). Hal ini dikarenakan kemampuannya yang sangat mobil dan sekaligus memiliki daya gempur serta pertahanan yang hebat.
Bahkan dalam perang terkini seperti Perang Teluk, Perang Irak dan Perang Afganistan, serangan blitzkrieg sudah menjadi tolok ukur keberhasilan suatu operasi militer.
Ini karena kemampuannya untuk menghancurkan musuh dalam waktu singkat. Selain itu, juga menghemat biaya juga mampu mencegah jatuhnya korban jiwa dalam jumlah yang lebih besar.
Pasca-PD II taktik serangan kilat banyak mewarnai berbagai pertempuran yang terus berkecamuk seperti yang dipraktikkan militer Korea Utara sewaktu menggempur Korea Selatan.
Dalam waktu singkat wilayah Korsel berhasil dikuasai dan mendesak pasukan Korea Selatan dan AS ke wilayah Pusan.
Serangan kilat ini mampu mencerminkan taktik tempur yang efektif untuk mengalahkan pasukan musuh bersenjata lengkap dan memiliki pasukan besar tapi dalam kondisi sedang tidak siap (lengah).
Dalam Perang Vietnam, taktik ini juga dipraktikkan oleh pasukan Vietnam Utara sehingga mengakibatkan pasukan Vietnam Selatan dan AS harus menerima kekalahan pahit.
Jatuhnya Ibukota Vietnam Selatan, Saigon, mencerminkan betapa serbuan kilat yang didukung oleh pasukan tempur bermoril tinggi telah sukses menghancurkan pasukan berkekuatan lebh besar dalam waktu singkat.
(Baca juga: Dunia akan Jauh Lebih Damai saat Timur Tengah Damai)
Dalam konflik bersenjata di kawasan Timur Tengah, taktik serbuan kilat juga terus mewarnai berbagai pertempuran yang terus saja terjadi seperti Perang Enam Hari dan Perang Yom Kippur antara pasukan Arab melawan Pasukan Israel.
Berkat taktik serangan kilat atau pre emtive strike, militer Israel sukses menggulung lawannya.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR