Intisari-Online.com – Konsep kekeramatan pohon ajaib ini sebenarnya sudah lama dikenal.
Namun baru sekitar tujuh tahunan belakangan ini namanya. meroket, sejak Karimunjawa digalakkan sebagai objek wisata alam.
Juga sejak kayu pohon dewadaru disulap menjadi suvenir oleh penduduk setempat. Sedikitnya ada tiga perajin di sana, kini telah menimba rupiah berkat kemasyhuran dewadaru.
Pohon ajaib ini dibentuk sedemikian rupa menjadi tongkat jalan dan tongkat komando yang laku keras di pasaran turis domestik.
Ada alasan cerdik mengapa suvenir itu berbentuk tongkat. Tidak lain untuk mengaitkan legenda asal muasal pohon dewadaru yang memang tercipta dari tongkat anak sakti yang diusir ayahnya, dari tanah Jawa.
Lo, kok berani bikin suvenir kayu dewadaru?
(Baca juga: Kisah Keajaiban Dewadaru, Pohon Sakti dari Karimunjawa Simbol Kebijakan Para Dewa)
(Baca juga: Nyai Roro Kidul, Kisah Gaib Rakyat Jelata yang Kemahsyurannya Tembus Waktu)
(Baca juga: Pak Harto, Dunia Gaib, Supranatural dan Spiritualisme Jawa)
Ya, karena bagaimanapun keramatnya si dewadaru, menurut keyakinan penduduk, ia punya kelemahan. Kesaktian kayu ini dapat dinetralisasi dengan pohon kalimosodo.
Kelemahan itu lantas dimanfaatkan perajin setempat untuk mengeruk keuntungan. Dengan cara menggabungkan kayu kalimosodo dengan kayu dewadaru.
Pokoknya, tongkat suvenir itu harus terdiri atas dua jenis kayu. Kayu dewadaru bisa menjadi bagian atas tongkat, atau sebaliknya.
Dengan cara demikian, dewadaru dapat dibawa ke luar dari Karimunjawa dengan selamat.
Gaung kesakralan pohon berkulit halus itu tersebar sampai ke mana-mana.
Kabarnya, banyak pejabat dari Kudus, Semarang, Pati, Jepara, dan sekitarnya, suka memesan cendera mata tongkat komando buatan perajin Karimunjawa.
Fungsinya, bukan sekadar barang kerajinan semata, melainkan sudah berbau mistik, untuk keselamatan dan kewibawaan.
Karena itu Laha Biki selain membuat kerajinan tongkat berkepala naga, juga menciptakan berbagai bentuk papan narna.
Kabarnya, papan nama ini dapat meningkatkan kewibawaan dan biasanya dipasang di pintu rumah atau di atas meja kerja.
"Yang penting bukan karya seninya, akan tetapi kesaktian bahannya, kayu dewadaru," ungkap perajin asal Bajau, Sulawesi ini.
Karena itu Laha Biki, juga perajin muda Sulikan (30), berani mematok harga satu tongkat panjang Rp50.000,-.
Setangkai tongkat komando Rp30.000,- dan papan nama bervariasi antara Rp10.000,- dan Rp20.000,-. (keterangan harga untuk tahun 1996, mungkin akan jauh lebih mahal pada saat ini)
Sehari berkarya, mereka sanggup menyelesaikan dua buah tongkat. Soal bahan dia cari sendiri asli dari hutan Nyamplungan.
"Bahan kayu dewadaru dari lokasi lain kurang mempunyai kekuatan gaib," ujar Laha Biki.
Pernyataan itu digarisbawahi oleh Sulikan, perajin yang pernah belajar seni ukir dua tahun di Jepara. Di sanggar kerjanya tersimpan beberapa bonggol pohon dewadaru yang konon dari Desa Nyamplungan.
Katanya, banyak juga pembeli fanatik minta dibuatkan tongkat atau papan nama berbahan asli kayu dewadaru dari Nyamplungan, tanpa embel-embel tambahan kayu kalimosodo sebagai penetralisasi kekuatan gaibnya.
Pemesan barang sakti ini, berani keluar uang banyak namun takut ambil risiko. Barang itu harus diserahkan Sulikan ke alamatnya.
"Semua pesanan sekaligus pengiriman barang, saya sanggupi asal harga cocok," kata Sulikan. Biasanya dia meminta alamat pemesan, sekalian uang muka.
Perajin muda ini mengaku memiliki jalur dengan kapal yang berani memuat kayu dewadaru murni.
Biasanya kapal nelayan itu buatan Karimunjawa. Untuk penangkal bahaya, lunas kapal ditempeli kayu dewadaru.
"Kayu dewadaru di bagian lunas kapal itu fungsinya untuk keselamatan. Itu sebabnya kapal pribumi banyak yang selamat, meskipun berlayar sampai jauh. Tak ada ceritanya kapal nelayan yang ditempeli dewadaru tenggelam," ujar Sulikan yang kini disibuki pesanan puluhan tongkat dari Semarang.
Tumbuhan langka
Pohon dewadaru yang melahirkan legenda sejarah Karimunjawa, memang mengundang rasa ingin tahu peneliti.
Misalnya Fakultas Biologi UGM pernah meneliti dewadaru, dari sisi taksonomi dan etnobotani pada tahun 1992.
Dari penelitian itu, diketahui pohon dewadaru itu memang tumbuhan langka. Juga pohon yang sulit berkembang biak ini, jumlahnya terus berkurang akibat eksploitasi yang tidak terkontrol.
Dewadaru merupakan tumbuhan endemik dan ada di, pulau lainnya. Hanya masyarakat Karimunjawa saja menamakan pohon ini dewadaru.
Penelitian ini menyatakan, ada dua jenis dewadaru di Karimunjawa, yakni yang tumbuh di Bukit Nyamplungan dan di hutan alang-alang Ujung Gelam.
Jenis pertama yang tumbuh di Nyamplungan adalah dewadaru Baccaurea sumatrana dari suku Euphorbiaceae. Jenis ini berciri antara lain, berakar tunggang dengan-batang kayu tidak bergetah, berdaun tunggal dengan warna hijau kekuningan.
Jenis kedua yang tumbuh di Ujung Gelam, disebut Fagraea elliptica dari suku Loganiaceae. Jenis tumbuhan ini tersebar di daerah beriklim panas sampai sedang.
Ciri-cirinya antara lain, berakar tunggang dengan batang bergetah, berdaun tunggal dengan warna hijau kekuningan.
"Dari segi taksonomi, dewadaru seperti halnya tumbuhan lain, tak ada keistimewaannya. Meskipun tanaman ini cukup langka, namun keberadaannya tidak cuma ada di Karimunjawa," kata Hasyim Arfani, staf PHPA Kecamatan Karimunjawa.
Buat Hasyim, munculnya mitos si dewadaru sangat menguntungkan buat pelestarian lingkungan alam Karimunjawa.
"Mitos ini cukup mampu melindungi keberadaan dewadaru. Sebab sebagian besar penduduk akan berpikir seribu kali untuk menjarah kayu ini," ujar Hasyim.
Namun celakanya, sebagian besar pemburu kayu ini justru masyarakat di luar Karimunjawa yang mengejar kekuatan mistisnya. Tanpa mempedulikan mitos dewadaru, serta kelestariannya.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1996)