Advertorial

Berkebun Angin, Memanen Listrik dan Menjadikannya Sumber Energi Alternatif di Masa Depan

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Di masa depan, angin menjadi sumber energi alternatif yang paling dicari. Bahkan AS sudah mencanangkan 20 persen kebutuhan listriknya dari kebun angin.
Di masa depan, angin menjadi sumber energi alternatif yang paling dicari. Bahkan AS sudah mencanangkan 20 persen kebutuhan listriknya dari kebun angin.

Intisari-Online.com – Pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo meresmikan pembangkit listrik tenaga angin di Pantai Samas Bantul, Yogyakarta. Disebutkan, ini bakal menjadi kebun angin (wind farm) terbesar yang ada di Indonesia dengan kapasitas mencapai 50 megawatt.

Simak tulisan Arnaldi Nasrum, Berkebun Angin, Memanen Listrik, seperti yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2015 berikut ini.

Ke depan, angin menjadi sumber energi alternatif yang paling dicari. Amerika Serikat bahkan sudah mencanangkan 20 persen kebutuhan listriknya akan disuplai dari kebun angin pada 2030.

Potensi angin tak diragukan lagi. Studi yang dilakukan Katherine Marvel, dkk di Lawrence Livermore National Laboratory di University of California, AS, yang dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change tahun 2012 mengungkapkan, setidaknya 400 terawatt atau sekitar 400 triliun watt energi dapat diperoleh dari angin.

Baca Juga : Yuk Tiru Cara Warga Miskin Banglades Ini yang Membuat AC dari Botol Tanpa Menggunakan Listrik tapi Terbukti Efektif Atasi Udara Panas

Bahkan, jika melalui proses ekstraksi pada angin yang berada di seluruh lapisan atmosfer, energi yang diperoleh dapat mencapai lebih dari 1.800 terawatt.

Jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan jumlah total penggunaan energi seluruh penduduk Bumi yang hanya sekitar 18 terawatt.

Jika penelitian tadi seperti tak masuk akal, penelitian yang dilakukan Mark Jacobson dan Christina Archer ini mungkin lebih rasional.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada tahun yang sama itu mengungkapkan, empat juta kincir angin yang berkapasitas lima megawatt yang beroperasi di seluruh dunia mampu menghasilkan 7,5 terawatt energi tanpa menimbulkan efek negatif yang signifikan terhadap cuaca.

Baca Juga : Belum Ada Listrik, Teknologi Kuno Berusia 2400 Tahun Ini Mampu Mendinginkan Es di Gurun

Melihat besarnya potensi itu wajar jika muncul berbagai teknologi energi sumber angin. Salah satunya adalah turbin angin yang kemudian belakangan dikenal dengan istilah kebun angin. Ini adalah teknologi yang mengonversi angin menjadi listrik.

Cara kerjanya sederhana. Jika kipas angin menggunakan listrik untuk menghasilkan angin, turbin angin sebaliknya.

Ia memanfaatkan angin untuk menciptakan listrik. Semakin tinggi kecepatan anginnya maka potensi listrik yang dihasilkan juga akan semakin besar.

Butuh perlakuan khusus

Baca Juga : Tagihan PLN Fenita Arie Melonjak Hingga Rp18 Juta, Begini Cara Ampuh Menghemat Listrik di Rumah

Mohamad Dahsyat, pemerhati turbin angin dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengungkapkan, kebun angin memang memiliki prospek yang baik. Namun perlu dipahami, ini tergantung dari sumber angin rata rata tahunan.

Untuk kecepatan angin rata-rata tahunan di atas 4,5m/detik dapat diterapkan. Pantai Samas memiliki kecepatan angin sekitar 5m/detik.

Sedangkan untuk kecepatan angin rata-rata di bawah 4,5 m/ detik, pemanfaatannya untuk keperluan antara lain pompa air untuk perkebunan, peternakan, dan pertanian.

Kecepatan angin yang rendah ini juga berguna untuk melengkapi dan mengurangi ketergantungan sumber energi lainnya, sehingga kebutuhan pasokan daya terpenuhi.

Baca Juga : Wanita Ini Temukan Cara Memangkas Tagihan Listriknya Hingga Rp600 Ribu per Bulan!

Untuk tujuan ini beberapa upaya dilakukan misalnya saja dibuat sistem pembangkit gabungan antara energi angin dan energi matahari serta tenaga diesel jika masih dianggap kurang.

“Ini dikenal sebagai sistem hybride,” ungkap Dahsyat.

Sejauh pengamatan Dahsyat, teknologi kebun angin ini dapat menjadi alternatif untuk menggantikan sumber energi seperti minyak bumi dan gas alam yang diyakini cadangannya sudah semakin berkurang.

Upaya yang penting saat ini adalah melaksanakan survei pengukuran angin dan dilengkapi dengan melakukan kajian untuk keperluan identifikasi daerah-daerah potensial dan informasi karaktetistik angin di seluruh wilayah nusantara.

Baca Juga : Dituntut Bayar Tagihan Listrik Rp18 Juta Oleh PLN Setempat, Keluarga ini Salahkan Kucingnya

Dengan begitu, setidaknya setiap daerah memiliki tolok ukur apakah efektif untuk diterapkan kebun angin atau tidak. “Inilah yang sekarang pemerintah lakukan,” jelas Dahsyat.

Untuk mengembangkan teknologi kebun angin, yang terpenting adalah memahami perawatan dan keamanannya. Baling-baling, inverter, dan generator sebagai bagian dari turbin memerlukan perlakuan khsusus. Tantangannya adalah bagaimana menyediakan suku cadang yang murah dan memiliki daya tahan yang tinggi.

Kebun angin membutuhkan lahan yang luas sehingga dukungan pemerintah daerah juga penting untuk hal ini.

Lebih jauh lagi, harus ada subsidi dari pemerintah agar murah sehingga masyarakat tertarik untuk menggunakannya untuk skala mikro dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga di daerah terpencil.

Baca Juga : Usai Gempa di Palu, Muncul Fenomena Tanah Bergerak yang Sebabkan Bangunan Hingga Tiang Listrik Terseret

Sebagaimana diketahui Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.200 sehingga bisa dipahami sulitnya membangun jaringan listrik terhubung secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan pembangkit lokal guna memenuhi kebutuhan bagi masyarakat sekitarnya.

Horizontal masih banyak

Meski terkesan sederhana, teknologi kebun angin nyatanya memiliki beragam peruntukan yang didasarkan pada ukuran dan besarnya energi yang dihasilkan.

Turbin dengan kapasitas di atas 100 kilowatt termasuk dalam skala besar. Selanjutnya, turbin berkapasitas besar ini sering diklasifikasikan bersama-sama sebagai kebun angin. Penerapan kebun angin biasanya digunakan untuk kebutuhan yang masif dan sebagai pusat penghasil energi listrik.

Baca Juga : Kakak Syahrini Meninggal Tersengat Listrik: Kedua Orang Ini Justru Mengklaim 'Kebal Sengatan Listrik'

Sementara, yang berkapasitas di bawah 100 kilowatt termasuk dalam skala kecil dan penerapannya hanya untuk memasok kebutuhan skala satu rumah.

Ada dua jenis turbin angin yang umum dikenal yakni turbin angin sumbu horizontal (TASH) dan turbin angin sumbu vertikal (TASV). Turbin dengan sumbu horizontal ditempatkan dengan arah berlawanan dengan arah datangnya angin.

Hal ini disebabkan karena menara turbin menghasilkan turbulensi di bagian belakang. Ini jelas berbeda dengan TASV yang tidak perlu diarahkan sesuai dengan arah angin ataupun sebaliknya.

Meski begitu, saat ini turbin yang banyak digunakan adalah yang bersumbu horizontal. Dengan menara yang cenderung lebih tinggi, TASH mampu menghasilkan energi yang lebih besar. TASV tidak cocok untuk daerah yang memiliki kecepatan angin relatif tinggi karena ia memang dirancang untuk kecepatan angin rendah.

Baca Juga : Dampak Listrik Mati 9 Bulan, Warga Venezuela Harus Rela Makan Daging Busuk

Selain itu menaranya juga relatif pendek jika dibandingkan dengan TASH. Makanya energi yang dihasilkan tidak optimal.

Penerapan turbin angin paling umum adalah untuk pembangkit listrik tenaga angin. AS tercatat sebagai salah satu negara penghasil energi terbesar dari kebun angin.

Sebut saja Alta Wind Energy Center, salah satu kebun angin terbesar di dunia, yang terletak di California. Kebun angin ini melakukan pengembangan untuk memiliki 600 lebih turbin angin, untuk memasok energi ke 257.000 rumah di California.

Tanpa baling-baling lebih efektif

Baca Juga : Hanya Ada di Papua, Berapa Harga Motor Listrik yang Dinaiki Jokowi saat Berada di Agats?

Selama ini, kelemahan turbin angin selalu dikaitkan dengan baling-baling. Tidak hanya karena menghasilkan kebisingan tetapi juga berisiko membahayakan keselamatan burung. Selain itu, karena ukurannya besar, baling-baling membutuhkan biaya pembuatan yang besar pula. Pemasangannya pun relatif sulit.

Turbin angin tanpa baling-baling bisa jadi lebih efisien. Vortex Bladeless, sebuah perusahaan teknologi di Spanyol mengembangkan turbin angin yang menggunakan prinsip vortisitas yakni memanfaatkan efek pergerakan udara.

Vortex berbentuk tiang berongga yang ditanamkan di tanah dan terbuat dari serat kaca komposit dan karbon. Sesuai dengan namanya, teknologi ini mengandalkan proses osilasi atau getaran yang membentuk pola vorteks atau pusaran angin.

Turbin ini menggunakan magnet khusus yang ditempatkan di dasar tiang. Fungsinya, untuk menstabilkan tiang tersebut agar tetap bergerak dalam kecepatan angin berapa pun.

Baca Juga : Salah Kaprah AC Hemat Listrik: Watt Rendah Belum Tentu Hemat Listrik

Gerakan tiang tersebut akan memicu proses osilasi yang menyebabkan energi kinetik dari angin dikonversi menjadi listrik menggunakan sebuah alternator dengan meningkatkan frekuensi dari getaran yang dihasilkan.

Karena tanpa baling-baling, turbin modern ini tidak menggunakan gir, sekrup, maupun bagian-bagian yang bergerak secara mekanis.

Sehingga, biaya yang diperlukan untuk membuat teknologi ini lebih murah 53 persen dari biaya pembuatan turbin konvensional yang memiliki baling-baling. Yang paling penting, vorteks terbebas dari ganggungan kebisingan dan ancaman terhadap burung.

Dibandingkan dengan energi yang dihasilkan turbin konvensional, efektivitas turbin tanpa baling-baling tersebut memang lebih rendah 30 persen. Namun, kelebihan lainnya adalah alat vorteks lebih ringan 80 persen dibandingkan dengan turbin konvensional.

Baca Juga : Dulu Berat Satu Komputer 27 Ton dan Butuh Listrik Setara 65 Rumah, Eh Sekarang Begitu Tipis dan Pakai Baterai

Selain itu, biaya perawatannya pun lebih rendah 80 persen. Turbin tanpa baling-baling ini juga memungkinkan ditanam di area tertentu dalam jumlah yang lebih banyak. Jadi bukan tidak mungkin akan menjadi “kebun vorteks”.

David Suriol, David Yáñez, dan Raul Martín, penemu Vortex Bladeless percaya, vortisitas merupakan energi ramah lingkungan masa depan. Mereka memulai prototipe vorteks di Gotarrendura, Avila, Spanyol sejak 2014. Saat ini, mereka juga mempersiapkan proyek lainnya di India.

Musim berburu angin pun sepertinya dimulai dan Samas di Yogyakarta (bakal) menjadi pionir di Indonesia.

Baca Juga : Wajah Pria Ini Gosong karena Terkena Ledakan saat Mencuri Kabel, Akibatnya Listrik ke Aceh Mati Total!

Artikel Terkait