Meski gagasan pembuatan RSA sudah ada di benak Lie sejak 2008, namun realisasinya baru pada 2013. Maklum, sempat ada pro-kontra terhadap rencana ini. Apalagi kala itu belum ada referensi tentang rumah sakit apung yang dikelola swasta.
Baca Juga : Dokter Temukan Paku Ukuran 4,8 cm di Kepala Pria yang Berulang Kali Mengeluh Sakit Kepala Ini, Mengerikan!
Rumah sakit terapung yang ada adalah milik TNI Angkatan Laut. Itu pun hanya digunakan pada saat perang.
Awalnya tim doctorSHARE sulit menemukan kapal yang sesuai. Berbagai jenis kapal dikaji, namun dirasa kurang cocok jika harus menghadapi berbagai kondisi medan di pelosok Indonesia.
Akhirnya diputuskan untuk memakai perahu nelayan yang sederhana dan berbahan kayu, karena dianggap lebih memadai.
Kapal ini memang kecil. Bahkan mungkin, kata Lie, rumah sakit apung terkecil di dunia. “Tapi semangat kebaikannya begitu menggebu dan tidak pernah putus asa,” tutur dokter yang memiliki empat spesialisasi bedah yaitu bedah umum, bedah jantung, bedah toraks, dan bedah pembuluh darah ini.
Baca Juga : Kisah Dokter 106 Tahun: Pernah Lakukan Eksperimen Obat pada Diri Sendiri dan Masih Aktif hingga Kini
Layak disebut terkecil di dunia, karena RSA ini hanya berukuran panjang 23,5 m, lebar 6,55 m dan bobot mati 114 ton. Kapal terbagi atas tiga dek.
Dek atas untuk nakhoda dan tempat para relawan, dek tengah berisi ruangan steril dan ruang operasi, sedangkan dek bawah adalah laboratorium.
Meski sudah hampir tiga tahun berlayar, Lie masih menyebut aksi sosialnya ini sebuah “kegilaan”. Sebab, ternyata kapal ini hingga kini belum memiliki izin sebagai rumah sakit. Sudah ada upaya mengurusnya, tapi ternyata undang-undangnya malah belum ada.
Contoh, kalau ditanya di mana alamat rumah sakitnya? Jawabannya, di seluruh laut di Indonesia. Lie tidak bisa menunggu peraturan, karena orang sakit tidak bisa menunggu.
Baca Juga : Setelah Operasi Plastik Bengkak: Dokter Beberkan Penyebab dan Lamanya Masa Pemulihan Pacaoperasi
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR