Advertorial

Melintasi Lorong Waktu Menikmati Reruntuhan Kota Kuno di Ephesus

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Kejayaan Ephesus telah berakhir. Namun, sisa-sisa peradaban yang usianya lebih dari 3.000 tahun itu dapat membuat kita terpukau saat menengoknya.
Kejayaan Ephesus telah berakhir. Namun, sisa-sisa peradaban yang usianya lebih dari 3.000 tahun itu dapat membuat kita terpukau saat menengoknya.

Intisari-Online.com – Pada abad pertama Masehi, Ephesus (Efesus) yang sekarang wilayah Turki adalah kota terbesar kedua di dunia setelah Roma di Yunani.

Kejayaan Ephesus memang telah berakhir. Namun, sisa-sisa peradaban yang usianya lebih dari 3.000 tahun itu bukan sekadar onggokan puing. Reruntuhan kota kuno. Ephesus ibarat mesin waktu yang mengantar imajinasi kita ke kehidupan masa silam.

Mari kita simak tulisan dari Hairun Fahrudin, Melintasi Lorong Waktu di Ephesus, berikut ini seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 2011.

Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi ketika saya tiba di kota Selcuk, 3 km dari situs arkeologi Ephesus. Di sekitar situs arkeologi Ephe­sus, tidak ada hotel maupun penginapan.

Baca Juga : Yuk Berkunjung Ke Pulau Keramat Di Yunani Tempat Lahirnya Dewa-Dewi

Wisatawan biasanya tinggal di Izmir atau kota-kota resor di tepi Laut Mediterania se­perti Kusadasi dan Pamucak.

Bagi backpacker seperti saya, Selcuk adalah pilihan yang paling tepat untuk tempat menginap. Selain menyediakan banyak pilihan akomodasi murah, Selcuk mudah dijangkau dengan angkutan umum.

Selcuk memang identik dengan backpacker. Kota berpenduduk sekitar 36 ribu jiwa ini punya banyak hostel murah. Kawasan pusat kotanya yang disebut Centrum di­dominasi oleh jalur pejalan kaki dengan kedai-kedai teh dan restoran. Di sini kita bisa merasakan napas kehidupan masyarakat Turki.

Sebelum mengunjungi Ephesus, saya banyak membaca tentang kota kuno ini. Maklum, berwisata ke situs arkeologi sebenarnya tergolong kegiatan serius. Kita harus memahami latar belakang sejarahnya supaya tidak sekedar mengamati onggokan puing.

Baca Juga : Tentara Pecinta, Pasukan Elit Yunani yang Terdiri dari 150 Pasangan Homoseksual

Sebe­lum menjelajah taman arkeologi sesungguhnya, saya mengunjungi Museum Efes lebih dahulu. Museum yang berada sekitar 200 m dari terminal bus Selcuk ini menyimpan artefak-artefak yang ditemukan di reruntuhan Ephesus. Berwisata ke Ephesus tak lengkap tanpa mengunjungi Museum Efes.

Selain Museum Efes di Selcuk, ada lagi sebuah museum yang juga menyimpan artefak bersejarah Ephesus. Museum yang ber­nama Ephesos itu terletak di Wina, Austria. Ephesus di Turki kok museumnya di Austria?

Pada abad ke-19, banyak pakar arkeologi Austria bekerja di situs arkeologi Ephesus. Barang-barang ber­harga yang ditemukan mereka angkut ke Austria. Ironisnya, Sultan Turki Us­mani, Abdul Hamid II, justru menghadiahkan beberapa artefak bersejarah kepada Kaisar Franz Joseph I, kaisar Austria saat itu.

Saking banyaknya artefak yang dibawa ke Austria, pemerin­tah di sana bisa membuatnya menjadi museum. Untungnya, praktik ini tidak berlangsung lama. Sejak 1907, Kesultanan Turki Us-mani membuat peraturan tegas yang melarang pengiriman barang antik ke luar negeri.

Baca Juga : Benarkah Rumah Naga di Yunani Ini Buktikan Adanya Naga di Zaman Dulu?

Sampai sekarang, pemerintah Turki masih terus bernegosiasi supaya artefak-artefak Ephesus bisa dikembalikan ke negara asalnya.

Bertemu Dewi Artemis

Salah satu bagian di Museum Efes khusus memajang perlengkapan rumah tangga yang ditemukan di vila-vila milik kaum bangsawan Ephe­sus. Dilihat dari barang-barang itu, kelihatannya para elite Epesus men­ganut gaya hidup mewah.

Peralatan makan mereka saja terbuat dari logam mulia. Be­lum lagi aneka perhiasan dan per­lengkapan rumah tangga lainnya yang semuanya didesain dengan seni tingkat tinggi.

Koleksi paling menarik adalah lukisan dinding bergambar Socrates dari abad ke-3 Masehi. Lukisan tersebut digambar pada permukaan tembok rumah. Supaya bisa ditampilkan di museum, tentu saja tembok itu juga harus ikut diang­kut ke museum. Pemilik rumah itu agaknya pengagum berat Socrates.

Baca Juga : Susahnya Jadi Pria Turki, Harus Terlihat Macho dan Tak Boleh Tunjukkan Kasih Sayang Hingga Tangisan

Bagian tengah museum berupa area terbuka yang diberi nama Garden Room. Bagian ini menampilkan koleksi sarkofagus (peti jenazah), batu nisan, prasasti, serta meja batu untuk menaruh persembahan.

Pada masa lalu, jenazah orang-orang terpandang di Ephesus memang tidak dikubur tapi disimpan di peti batu yang dihiasi ukiran halus.

Saat tiba di bagian akhir mu­seum, bulu kuduk saya langsung berdiri memandang patung Dewi Artemis. Patung ini pernah disem­bah banyak orang lebih dari dua milenium lalu. Bagi saya, daya magis patung itu masih terasa.

Meski berabad telah lewat, saya seperti merasakan energi pengharapan ribuan orang yang pernah berdoa di depannya.

Baca Juga : Orang Yunani Kuno Sematkan Gelar Pahlawan pada Anak yang Mati Muda, Kok Bisa?

Patung Dewi Artemis adalah bagian utama Temple of Artemis. Kuil kaum pagan dari zaman Ro­mawi itu termasuk Seven Wonders of Ancient World. Lokasi ini hanya berjarak sekitar 1 km dari pusat kota Selcuk.

Bangunan sesungguhnya sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanya seonggok pilar yang menandakan kuil raksasa dari batu marmer itu pernah berdiri di situ. Jadi, di sini wisatawan tak bisa melihat kuil utuh.

Teater Ephesus

Setelah berjalan sebentar melewati ger­bang bawah, wisatawan bisa langsung melihat Great Theater Ephesus. Ge­dung teater itu dibangun di tepi lereng gunung yang menghadap ke Laut Mediterania. Tinggi Great Theater mencapai 30 m, mampu menampung 25 ribu penonton.

Great Theater ini sampai sekarang masih digunakan untuk berbagai pementasan seni. Penyanyi terkenal Elton John juga pernah menggelar konser di sana.

Baca Juga : Kisah Mitologi: Achilles, Prajurit Setengah Dewa Yunani Tapi Punya Satu Kelemahan

Kemampuan teknis bangsa Ro­mawi yang mampu membangun gedung teater semegah itu sungguh mengagumkan. Duduk di salah satu sudut Great Theater membuat imajinasi saya terbang ke masa lalu.

Di sanalah para gladiator harus berkelahi sampai mati hanya untuk dijadikan tontonan warga Ephesus. Kuburan gladi­ator yang ditemukan di sekitar Ephe­sus memperkuat bukti bahwa Great Theater benar -benar pernah di­gunakan sebagai arena pertarungan sampai mati itu.

Begitulah, sejarah tiap peradaban selalu punya sisi gelapnya. Setelah duduk-duduk sejenak di Great Theater, saya melanjutkan perjalanan untuk melihat ikon terkenal lainnya.

Kalau Anda rajin mem­perhatikan brosur-brosur wisata Turki, pasti Anda pernah melihat gambar Library of Celcus. Ini adalah mauso­leum (monumen makam) sekaligus perpustakaan yang dibangun pada abad ke-2 Masehi.

Baca Juga : Inilah Pertempuran Laut Salamis, Saat Persia 'Keok' di Hadapan Yunani

Bangunan ini sudah tidak utuh lagi, bahkan pernah hampir rata dengan tanah. Namun, proyek rekonstruksi selama bertahun-ta­hun berhasil membangun kembali fasad atau bagian depan Library of Celcus. Hasilnya sangat mengagumkan.

Kini, Library of Celcus menjadi sisi paling fotogenik Ephesus dan menjadi lokasi favorit wisatawan untuk berfoto.

Tak jauh dari Library of Celcus, ada bekas bangunan Temple of Hadrian yang juga cukup menarik. Restorasi yang dilakukan pakar arkeologi berhasil merekonstruksi kembali pintu-pintu kuil yang berbentuk lengkungan.

Temple of Hadrian adalah salah satu bangunan paling penting di Ephesus. Kuil pagan ini dibangun pada abad ke-2 Masehi untuk menghor­mati Hadrian, kaisar Romawi pada abad pertama Masehi.

Baca Juga : Tidak Biasa, Cara Baptis Bayi di Gereja Yunani Ortodok Ini Bikin Warganet Tercengang

Pintu masuk utama Tempe of Hadrian dihiasi dengan paha­tan kepala Medusa yang dalam mitologi Yunani dipercaya sebagai pelindung dari roh jahat.

Bagian dalamnya dihiasi replika relief mitologi Yunani. Relief yang asli telah dipindahkan ke Museum Ephesos di Wina dan Museum Efes di Selcuk.

Saya kembali melanjutkan per­jalanan menyusuri Curetes Street yang dulunya merupakan jalan utama di Ephesus. Curetes Street seolah membelah kota Ephesus menjadi dua bagian. Pangkalnya berada di depan Library of Celcus dan ujungnya berada di Odeion, gedung teater yang ukurannya lebih kecil dari Great Theater.

Pada masa lalu, sisi Curetes Street dipadati toko-toko, galeri seni, penginapan, serta kantor perdagangan. Temuan arkeologis juga membuktikan bahwa di sini pernah ada rumah bordil.

Baca Juga : Inilah Pandora, Wanita Cantik 'Penyebab' Keonaran dalam Mitologi Yunani yang Sebabkan Manusia Punah

Prostitu­si agaknya eksis di semua perada­ban. Situs-situs penting lainnya di Ephesus kebanyakan terletak di sepanjang sisi Curetes Street.

Sambil menyusuri jalan kuno ini, wisatawan bisa menyaksikan be­kas pemandian dan toilet umum, reruntuhan kuil dan gimnasium (semacam pusat olahraga), serta kompleks vila mewah milik kaum elite Ephesus.

Meskipun sekarang keadaan­nya sudah jauh berbeda, Curetes Street ternyata masih dipadati banyak orang. Kalau dulu Curetes Street menjadi pusat aktivitas penduduk Ephesus, kini tempat itu dibanjiri wisatawan.

Sebuah trans­formasi fungsi yang patut ditiru. Hanya dengan cara itu kota-kota kuno yang tinggal puing-puing saja bisa dihidupkan kembali.

Baca Juga : Tak Banyak yang Tahu, Sejarah Maraton ternyata Berasal dari Pertempuran Yunani vs Persia

Tur keliling kota kuno itu berakhir di gerbang atas Ephesus. Saya memilih kembali ke Selcuk dengan berjalan kaki saja. Jarak 3 km yang saya tempuh sama sekali tidak melelahkan.

Ladang-ladang kapas, kebun zaitun, serta gembala yang sedang menggiring domba menjadi pemandangan yang mempesona.

Di sana, imajinasi tentang konvoi serdadu Romawi, adegan perang, serta pertarungan gladiator ala film-film kolosal seolah hadir begitu nyata.

Menginjakkan kaki di Ephesus membuat saya merasa menjadi bagian adegan-adegan film tersebut.

Baca Juga : Kisah Api Abadi Olimpide Yunani yang Konon 'Dicuri Dari Dewa'

Artikel Terkait