Advertorial

Yuk Berkunjung Ke Pulau Keramat Di Yunani Tempat Lahirnya Dewa-Dewi

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Dianggap keramat atau tidaknya, tapi pulau di Yunani  ini memang sangat menarik, seperti pengalaman seorang yang berkunjung ke sana.
Dianggap keramat atau tidaknya, tapi pulau di Yunani ini memang sangat menarik, seperti pengalaman seorang yang berkunjung ke sana.

Intisari-Online.com – Apa yang dianggap keramat di Yunani memang tidak sama dengan apa yang kita anggap keramat. Keramat atau tidak, namun tempatnya memang menarik seperti yang diceritakan Bunga Dewita, yang menyempatkan diri ke pulau tersebut.

Berikut ini tulisannya, Berkunjung ke Pulau Keramat di Yunani, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1987.

“Kalau ke Yunani, jangan lupa pergi ke P. Mikonos," pesan orang-orang. Jadi pada hari Senin, tanggal 8 September 1986, bersama kedua orang tua saya, saya menaiki kapal Nayas II di Pelabuhan Piraeus, dekat Athena.

Pulau itu konon dijuluki Mutiara dari Kep. Cyclades. Setelah dua kali singgah di dua pulau, kami melihat di kejauhan sebuah pantai yang dipenuhi bangunan beratap putih mencolok, kincir angin dan juga kubah gereja berwarna biru, selain berpuluh-puluh kapal.

Baca Juga : Tentara Pecinta, Pasukan Elit Yunani yang Terdiri dari 150 Pasangan Homoseksual

Begitu tiba, kami buru-buru mencari tempat penjualan karcis kapal. Walaupun kami baru akan pulang ke Athena dua hari kemudian, tetapi kami dipesan teman agar membeli karcis lebih dulu supaya jangan kehabisan.

Setelah mendapat tiga karcis, kami berjalan menuju gerbang pelabuhan. Ternyata jalannya ada dua jalur. Satu untuk para penumpang, satu lagi untuk para pengantar dan penjemput. Keduanya dipisahkan oleh pagar.

Dengan heran saya lihat bahwa di jalur pengantar/penjemput banyak sekali orang berkerumun. Mereka itu ada yang membawa-bawa gambar rumah, hotel dan bahkan kamar tidur.

"Hotel, sir?" "Hotel, madame? Very nice rooms," kata mereka. Seorang wanita yang umurnya mendekati enam puluh tahunmendekati kami seraya menyodorkan foto beberapa kamar dari sebuah penginapan.

Baca Juga : Sebelum Tren Pensil Alis, Wanita Yunani Dulu Gunakan Kulit Kambing sebagai Alis Palsu!

Seorang laki-laki yang agak lebih tua ikut-ikutan berbicara, membantu wanita itu meyakinkan kami akan kebagusan rumah tumpangan itu. Kami sepakat untuk melihat dulu rumah itu.

Wanita dan pria yang ternyata suami-istri pemilik rumah tersebut segera membawa kami ke rumahnya dengan mobil mereka.

Di muka rumah pedesaan itu terpampang papan bertuliskan: "Starvos, rooms to let". Sebetulnya perlengkapan kamar sangat sederhana untuk standar penginapan turis asing, tetapi kami sudah terlalu lelah untuk mencari hotel atau pesanggrahan lain di tempat asing itu.

Petang harinya, ketika kami duduk-duduk di teras, kami bertemu sesama penginap. Mereka itu tiga gadis Jerman yang kelihatannya masih muda sekali. Di sebelah teras itu ada tempat tidur pemilik rumah yang dipakai pula sebagai ruang duduk dan dapur.

Baca Juga : Benarkah Rumah Naga di Yunani Ini Buktikan Adanya Naga di Zaman Dulu?

Kami bayangkan betapa kerasnya hidup suami-istri itu, yang mencari nafkah dengan pergi ke pelabuhan untuk merayu turis di bawah terik sinar matahari, supaya mau menginap di rumahnya yang sederhana di alam pedesaan.

Di depan penginapan kami ada dua perhentian bus. Satu untuk melayani bus yang menuju ke pusat kota dan satu lagi untuk bus dari pusat kota ke Platis Yialos, yaitu pantai tempat rekreasi. Karena di tempat itu ada hotel dan kumpulan restoran, kami pergi makan ke sana.

Petani masih naik keledai

Ternyata di pantai itu banyak hotel mewah dan menengah. Dari rumah makan yang letaknya tinggi kami bisa menonton para turis yang berpakaian sangat minim di pantai. Ada yang naik kapal, berenang, berendam, ada juga yang cuma berjemur.

Baca Juga : Orang Yunani Kuno Sematkan Gelar Pahlawan pada Anak yang Mati Muda, Kok Bisa?

Dalam rumah makan, selain mendengar bahasa Inggris kami juga sering mendengar bahasa Jerman. Rupanya pulau-pulau di L. Aegea itu banyak disukai turis Jerman, Swis dan Austria.

Di tepi jalan ke arah perhentian bus kami menjumpai beberapa penjual buah yang menjual apel, jeruk dan anggur dengan harga murah. Kami terutama menyukai anggurnya yang tanpa biji.

Perjalanan dengan bus dari pantai ini melewati penginapan kami ke pusat kota sangat menakjubkan. Jalannya berliku-liku, naik-turun tebing batu.

Dari atas bukit kelihatan rumah-rumah penduduk beratap putih, kincir angin dan juga gereja di atas bukit yang berlapis-lapis. Rumah itu bukan cuma atapnya yang putih, tapi semuanya, kecuali pintu dan jendela. Atap gereja atau kincir angin biasanya berwama biru dan coklat.

Baca Juga : Kisah Mitologi: Achilles, Prajurit Setengah Dewa Yunani Tapi Punya Satu Kelemahan

Ketika kami tiba di penginapan, kami menyaksikan -pria dan wanita petani pulang menunggang keledai di senja hari itu, sementara salak anjing terdengar sekali-sekali dari tanah pertanian.

Para turis muda pergi ke pusat kota untuk mengunjungi diskotek dari tempat hiburan lain, tetapi kami tinggal di rumah. Jalan raya sepi dan gelap.

Keesokan hannya, pagi-pagi kami mendapat suguhan sarapan dari istri pemilik penginapan. Sarapan sederhana itu berupa roti, mentega, selai, kopi dan teh.

Setelah itu sambil menunggu bus pertama yang berangkat ke pusat kota pada pukul 08.00, kami melihat-lihat dulu daerah sekitar penginapan. Kami bertemu keledai, kuda, anjing, rumah-rumah petani dan beberapa gereja.

Baca Juga : Inilah Pertempuran Laut Salamis, Saat Persia 'Keok' di Hadapan Yunani

Ternyata ada rumah-rumah penginapan lain yang lebih besar dan lebih nyaman daripada yang kami inapi. Ada yang tempat makannya diteduhi rambatan tanaman anggur. Petani ada yang merangkap sebagai nelayan juga.

Kemudian bus kami datang. Setiba di pusat kota, melalui jalan-jalan sempit yang mirip lorong, kami berjalan ke pelabuhan. Rencananya kami ingin pergi ke P. Delos.

Kami antre membeli karcis kapal bermotor. Harga karcisnya 850 drahma seorang. Ternyata kapal itu dimuati dengan sarat. Penumpangnya bukan cuma turis asing, tetapi juga orang Yunani.

Tiga perempat jam kemudian kami tiba dan harus membayar karcis masuk ± Rp 2.500,00 seorang. Kami memutuskan untuk melihat-lihat pulau tanpa bantuan pemandu. Kalau ingin pemandu, bisa saja mendapatkannya di pintu gerbang. Ada yang fasih berbahasa Inggris, Jerman maupun Prancis.

Baca Juga : Tidak Biasa, Cara Baptis Bayi di Gereja Yunani Ortodok Ini Bikin Warganet Tercengang

Tempat kelahiran dewa

Pulau tidak berpenghuni itu ternyata dianggap keramat oleh orang Yunani, sebab konon di sinilah Dewa Apollo dan Dewi Artemis dilahirkan. Di sini banyak patung, ada yang masih utuh maupun yang sudah patah-patah.

Ada sederet patung singa dalam posisi berdiri, sehingga jalan di depannya disebut Jl. Singa. Seperti di Yunani daratan, di sini pun ada puing-puing bekas kuil.

Konon pada Abad Pertengahan Delos pernah menjadi kota perdagangan yang dihuni orang, selain menjadi tempat pemujaan dll. Beberapa ahli arkeologi Prancis kelihatan sedang melakukan penelitian.

Baca Juga : Inilah Pandora, Wanita Cantik 'Penyebab' Keonaran dalam Mitologi Yunani yang Sebabkan Manusia Punah

Pukul 12.00, pada saat matahari sedang terik, kami dijemput perahu motor yang mengombang-ambingkan kami selama sejam dalam perjalanan kembali ke Mikonos.

Di Mikonos kami berjalan dulu di lorong-lorong pusat kota yang cuma muat sepeda motor dan kendaraan roda tiga.

Di lorong-lorong ini bukan cuma terdapat rumah penduduk, rumah makan, penjual sari buah, toko cendera mata dan toko pakaian, tetapi juga hotel, bar dan diskotek. Begitu miripnya lorong-lorong itu, sehingga kami pernah tersesat.

Uniknya rumah-rumah penduduk di lorong ini mempunyai tangga tinggi untuk menuju ke pintu masuk. Kelihatan banyak sekali penduduk berusia lanjut.

Baca Juga : Tak Banyak yang Tahu, Sejarah Maraton ternyata Berasal dari Pertempuran Yunani vs Persia

Wanita lanjut usia memakai pakaian hitam, berpenutup kepala dan duduk di tepi lorong sambil merenda. Ada juga yang cuma bengong menonton orang lewat.

Kalau lewat motor roda tiga yang memakai boncengan besar untuk mengangkut barang dagangan, para pejalan kaki terpaksa menepi ke pinggir rumah penduduk.

Dari rumah-rumah penduduk kami mendengar suara nyanyian dari radio, yang irama dan vokalnya mirip lagu Timur Tengah dicampur lagu negara-negara Balkan. Pukul 12.30 toko-toko tutup, sebab di sini masih ada kebiasaan tidur siang.

Starvos, pemilik penginapan, berjanji akan membawa kami berkeliling pulau dengan mobilnya. Sore itu, pukul 16.00, yaitu setelah suami-istri itu pulang dari pelabuhan membawa dua tamu baru, kami dibawa Starvos ke arah selatan dengan mobil tuanya.

Baca Juga : Kisah Api Abadi Olimpide Yunani yang Konon 'Dicuri Dari Dewa'

Kami berhenti di Pantai Kalafatis, yang mempunyai sebuah hotel besar yang dikelilingi tanaman zaitun. Setelah itu kami pergi ke Biara Ano Mera, yang suasananya hening, bersih dan rapi. Walaupun dihuni para biarawan, kami hampir tidak melihat mereka.

Setelah itu kami pergi ke Biara Moni Paleokastrou yang dihuni para biarawati. Bangunan tua itu memberi kesan tidak terawat. Pintu kayunya rapuh dan halaman dalamnya penuh alang-alang.

Tiba-tiba muncul seorang biarawati tua, gemuk dan bertongkat. la berpakaian dan berkerudung hitam. Dengan terhuyung-huyung ia mendekati kami. Kami dibawa ke sebuah kamar tempat empat bangku panjang dijajarkan.

Di atasnya ada telur dari lilin yang digambari dan diberi warna, lukisan pemandangan di atas kanvas, sulaman dan kertas hiasan. Kami membeli beberapa buah benda kerajinan itu.

Baca Juga : Kisah Pasukan Abadi Persia yang Konon Pernah Binasakan Pasukan Yunani

Kami dibawanya ke kapel. Biarawati Katolik Ortodoks itu membuka sebuah kitab suci di muka altar, lalu membacakan beberapa ayat dan berdoa dalam bahasa Yunani.

Kami menuntun biarawati itu kembali ke kamarnya di seberang kamar tempat kerajinan. Melihat keadaannya, ingin rasanya kami memberi uang kepadanya, namun biarawati kepala yang menjengukkan kepala dari ruang di tingkat atas tampaknya tidak menyetujui tindakan itu. Jadi kami urungkan niat kami.

Kemudian kami pulang. Ayah memberi 2.000 drahma atau sekitar Rp 25.000,00 kepada Starvos untuk jerih payahnya mengantar kami.

Keesokan harinya pagi-pagi kami berjalan ke pusat kota, karena ketinggalan bus pertama. Mula-mula jalan menurun, menyajikan pemandangan laut. Kami masih bersemangat. Namun, setelah tiga perempat jam berjalan kami lelah, padahal tak sebuah bus pun lewat.

Baca Juga : Cocok dengan Rasio Kecantikan Yunani Kuno, Inilah Wajah Paling Cantik di Dunia Menurut Penelitian Ilmiah

Jadi kami duduk di tepi jalan. Ketika melanjutkan kembali perjalanan, kami mengira pusat kota sudah dekat. Ternyata kami baru berhasil mencapainya setelah dua jam perjalanan.

Selain minum sari buah, kami juga pergi ke Gereja Paraportiani yang arsitekturnya indah. Letaknya di pantai. Kami mendekati kerumunan orang dekat sebuah perahu nelayan. Rupanya sedang terjadi jual-beli hasil laut.

Beberapa wanita Mikonos tampak membeli sayur-mayur dan keperluan dapur dari seorang pria tua yang menjajakan dagangannya dengan kereta roda tiga. Setelah berjalan-jalan dan masuk ke bank, kami pergi ke sebuah rumah makan kecil.

Kemarin kami makan di sini: ayam goreng, ravioli, cumi goreng dll. Karena rasanya cocok, kami kembali ke sini. Rumah makan itu masih tutup. Pemilik bersikeras tidak mau membukanya sebelum pukul 12.00, berarti 45 menit lagi.

Baca Juga : Inilah Alasan Kenapa Orang-orang Mati Mendadak di Dekat ‘Pintu Gerbang Neraka' Yunani Kuno Ini

Padahal makanan dan pelanggan sudah siap. Karena kami dikejar waktu untuk kembali ke daratan Yunani, kami tidak jadi makan.

Terhambat pemogokan

Kami pun pulang untuk membereskan barang-barang kami dan membayar penginapan. Starvos dan istrinya, Anna, akan mengantar kami ke pelabuhan sekalian mencari pelanggan baru.

Pukul 14.00, dengan perut hanya diganjal sandwich, kami mulai antre untuk naik ke kapal. Tahu-tahu beberapa orang yang sedang antre berbincang-bincang dengan serius. Kemudian beberapa orang berbalik meninggalkan antrean.

Baca Juga : Athena Vs Sparta, Perang Terlama dalam Sejarah yang Berakhir dengan Kehancuran untuk Kedua Negara

Starvos dan istrinya tiba-tiba muncul memberi tahu dengan bahasa Inggris terpatah-patah bahwa hari itu tidak ada kapal karena ada pemogokan. la menyarankan kami kembali ke penginapannya.

Kami lantas mencari keterangan pada sesama calon penumpang. Dengan jengkel terpaksa kami tidak jadi berangkat. Kami tidak tahu apakah besok akan ada kapal, apakah karcis kapal Nayas II kami besok masih berlaku ataukah harus dikembalikan dan diganti dengan uang hari itu.

Percuma saja kami minta bantuan sebuah biro perjalanan, karena ia tidak mengurus kapal laut maupun penerbangan ke Athena. Kami buru-buru menuju kantor Olympic Airways.

Orang yang antre sudah panjang. Sebelum tiba giliran kami, karcis ke Athena sudah habis. Bukan hanya untuk hari itu, tetapi juga untuk esok dan lusa.

Baca Juga : Demi Ikut Upacara 17 Agustus, WNI di Athena Rela Cuti Kerja

Kalau ingin tiket untuk dua hari lagi, kami harus mendaftar dulu. Akhirnya dengan lelah dan kecewa kami harus kembali lagi ke tempat suami-istri Starvos. Mereka masih berada dekat kami.

Ayah berangkat duluan dengan mereka. Ibu dan saya pergi ke restoran kecil yang tadi masih tutup, untuk membeli makanan yang kami bawa ke rumah Starvos.

Esok siangnya kami sudah siap di dermaga, yaitu setelah mendapat keterangan dari sebuah biro perjalanan bahwa Nayas II akan berangkat ke Piraeus pukul 14.00. Akhirnya kami bisa meninggalkan juga Mikonos, walaupun hari itu kapal berangkat sejam terlambat.

Untunglah pada pukul 18.00, dari kapal, saya boleh menelepon teman di Athena, untuk memberi tahu bahwa kami baru akan tiba pukul 21.00, bukan pukul 19.00 seperti yang kami kabarkan kemarin.

Ongkos menelepon itu 200 drahma (± Rp 2.500,00). Ah, andaikata tidak terjadi pemogokan, pengalaman berkunjung ke Mikonos itu pasti lebih mengesankan lagi!

Baca Juga : Wow, Penduduk Pulau di Yunani Ini akan Dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian

Artikel Terkait