Advertorial
Intisari-Online.com -Orang Amerika cenderung mengingat krisis rudal Kuba sebagai momen paling berbahaya dalam masa Perang Dingin.
Meskipun krisis itu tergolong serius, nyatanya berhasil diredam baik oleh Washington maupun Moskow.
Tujuh tahun kemudian, persisnya pada Maret 1969, kontingen Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) RRC menyerang pos perbatasan Soviet di Pulau Zhenbao.
Penyerangan itu setidaknya menewaskan puluhan orang dan melukai banyak lagi yang lainnya.
Insiden itu, tak pelak menggiring China dan Rusia ke jurang peperangan—bahkan pengerahan senjata nuklir.
Baca Juga : Miliki 6 Paspor Palsu, Mantan Mata-mata Soviet Ini Ungkap Liciknya KGB
Tapi setelah dua minggu bentrokan, konflik itu bubar. Cerita mungkin akan berbeda jika konflik di perbatasan itu tidak kunjung mereka.
Insiden di Pulau Zhenbao menjadi titik nadir hubungan Soviet dan China.
Hanya 10 tahun sebelumnya, dua negara besar itu bersama-sama bergandengan tangan sebagai benteng kekuatan komunis di dunia.
Tapi seiring waktu, karena sama-sama ingin mendapat legitimasi sebagai negara komunis terkuat, kedua hubungan kedua negara pun tampak merenggang.
Perpecahan wilayah sejak zaman Tsar hingga batas negara yang sangat panjang sehingga memunculkan banyaknya zona abu-abu membuat hubungan keduanya semakin meruncing.
Dan insiden di Pulau Zhenbao adalah puncak dari persoalan-persoalan kecil itu.
Setelah serbuan PLA, Soviet pun membalasnya dengan serangan yang tak kalah brutal. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa China memang sengaja memancing keributan.
Pertanyaannya kemudian, kenapa China melakukan provokasi terhadap tetangganya yang jauh lebih kuat itu?
Segera setelah kejadian saling serang itu, baik China maupun Soviet telah bersiap untuk perang.
Tentara Merah langsung dikerahkan ke Timur Jauh sementara PLA juga sudah bersiaga penuh.
Secara teknologi, Soviet unggul jauh dari China. Tapi jangan salah, saat itu Beijing telah membangn tentara terbesar di dunia.
Di saat yang bersamaan, Tentara Merah juga memusatkan kekuatannya di Eropa Timur, bersiap-siap jika sewaktu-waktu konflik dengan NATO meletus.
Meski unggul dalam jumlah tentara, bukan berarti China bisa unggul dari tetangganya itu.
Saat itu, China tidak punya logistik dan kekuatan udara yang memadai untuk menguasai sejumlah wilayah Soviet. Terlebih lagi, perbatasan kedua negara itu sangat panjang, sehingga Soviet bisa dengan mudah menghajar China.
Dengan begitu, di atas kertas Soviet sepertinya akan mudah mengatasi China.
Tapi … China saat itu sudah punya nuklir!
China pertama kali menguji perangkat nuklirnya pada 1964—secara teoritis ini menguntungkan.
Tapi, sistem nuklir China masih punya kendala dalam sistem peluncurannya. Selain itu, rudal-rudal China juga tidak memiliki jangkauan untuk menyerang sasaran-sasaran vital Soviet di Rusia Eropa.
Baca Juga : Demi Incar Turki, China Gertak Amerika dan Pamerkan Pesawat Pembom Nuklir Terbarunya
Pesawat pembom China—yang terdiri atas Tu-4 (salinan Soviet untuk B-29 Amerika) dan H-6 (salinan Tu-16) sangat terbatas—akan bernasib sangat buruk jika sampai berhadap-hadapan dengan pesawat pembom Soviet.
Soviet, di sisi lain, sedang berada dalam fase yang hampir menyamai teknologi nuklir AS. Jadi bis dibilang, Soviet akan memenangkan peperangan.
Sementara itu, Amerika Serikat sangat berhati-hati menanggapi bentrokan dua negara komunis itu.
Satu dekade sebelumnya, mantan Presiden Amerika Dwight Eisenhower pernah mengurainkan hambatan terbesar Soviet jika menyerang China.
Ia bilang: Apa yang akan dilakukan setelah menang. Soviet tidak punya kapasitas, atau kepentingan, di negara super luas itu.
Yang ada, China justru semakin dekat dengan Amerika; dan itu akan menghadirkan masalah baru bagi Soviet.
Itulah yang mungkin membuat Soviet mengurungkan niatnya meneruskan konflik dengan China.