Advertorial
Intisari-Online.com – Yang bisa dijumpai memang bukan Pol Pot dalam pribadi, tetapi apa yang dilakukan regim Pol Pot selama ini. Pho Phorn merupakan salah seorang pelaku dan korban rezim yang bengis itu.
Mari kita simak tulisan Rolf Bokemeier, Mencari Pol Pot di Tuel Sleng, yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1986 berikut ini.
Pho Phorn yang baru saja "dididik" untuk anti Pol Pot sekali lagi dididik untuk "mencintai" Pol Pot. Pho Phorn rupanya tak ingin bergabung dengan Khmer Merah lagi. Ia akhirnya berhasil melarikan diri.
Ia kembali ke Kompong Speu setelah menggranat komandannya yang sedang tidur dan membawa lari senjata bersama beberapa orang kawannya. Senjata-senjata itu diberikan pada tentara Kamboja di Kompong Speu.
Baca Juga : Makan Tikus Hidup untuk Bertahan, Berikut Lima Kengerian Rezim Khmer Merah Kamboja
Pho Phorn kelihatan bangga dengan tindakannya. Pria yang masih muda dan seperti anak sekolah itu separuh hidupnya sudah dihabiskannya dalam perang saudara, tetapi derita rupanya belum berakhir.
Kamboja masih belum bisa mengatasi kehancurannya. Rokok dari Barat, tape-recorder dari Singapura, kain dari Bangkok, serta jam tangan dari Hong Kong yang merupakan barang selundupan memang ada di pasar-pasar kaki lima.
Namun, untuk menukar uang dolar Amerika kita harus pergi ke pasar gelap. Soalnya, di pasar gelap, kurs 1 dolar Amerika adalah 72 riel, walaupun resminya hanya 7 riel.
Selain itu di Provinsi Prey Veng misalnya, jalan kelas satunya penuh lubang bekas ranjau. Kerusakan akibat ranjau itu sampai sekarangtidakdibetulkan. Daerah yang tadinya merupakan tanah persawahan yang baik itu kini kalau hujan kebanjiran, sedangkan kalau musim panas kekeringan.
Baca Juga : Khmer Merah yang Ingin Dirikan Negara Komunis Radikal Justru Digulingkan Vietnam yang Pernah Membantunya
Akibatnya, tanah persawahan itu tak bisa dipakai lagi. Sistem pengairan yang dulu dibuat ternyata tidak cocok. Insinyur-insinyur pengairan mungkin menyadari kekeliruan di masa Pol Pot. Namun, intelektualitas mereka telah dibunuh.
Prey Veng juga menjadi lapangan pembantaian di zaman Pol Pot. Di situ, kaum pria dan wanita yang bekerja untuk pemerintahan Kamboja di bawah Lon Nol telah disingkirkan. Ahli-ahli banyak yang mati atau hilang.
Kuy Yem bercerita, "Setiap pagi dan malam terdengar musik yang keras dari lapangan pembantaian. Ternyata, saat itu terjadi pembunuhan. Dari tengkorak para korban yang sempat digali, hampir semua bagian belakangnya retak. Rupanya mereka menghantam para korban dengan gada atau besi dari belakang."
Kuy Yem berasal dari Kompong Leav. Walaupun usianya baru 58, tetapi ia seperti kakek-kakek. Semua itu mungkin akibat penderitaan yang panjang. Di pemakaman masal yang berjumlah 1.100 buah terkubur banyak korban.
Baca Juga : Tragisnya Kisah Pangeran Sihanouk yang Kelima Anaknya Dibantai Khmer Merah Pimpinan Pol Pot
Di Prey Veng saja tercatat 485.260 jiwa yang melayang. Itu adalah setengah dari jumlah penduduk yang jumlahnya 1 juta jiwa. Di antara para korban itu terdapat 12.420 pegawai pemerintah, tentara, cendekiawan, dan 2.572 pendeta Buddha. Sisanya adalah rakyat biasa. Namun, Prey Veng tampak menderita.
Penduduk memang jumlahnya naik, tetapi terlihat kelebihan yang menyolok antara jumlah wanita dengan prianya. Terdapat 130.000 wanita dan gadis-gadis. 29.700 adalah janda korban Pol Pot.
Buat mereka dan 10.000 anak yatim, pemerintah harus mengeluarkan biaya dari kas negara yang kosong.
Wanita Kamboja tak pernah pakai topi runcing
Di rumah sakit provinsi itu hanya ada dua orang dokter Kamboja dan dua orang dokter India yang harus merawat 150 pasien yang menderita diare, disentri, busung lapar, dan hampir semua penduduk kena malaria.
Baca Juga : Ketika Perang Vietnam, Benarkah Gerilyawan Viet Cong Takut Kegelapan?
"Pasien kami banyak yang berasal dari Battambang," kata dokter kepala yang berasal dari India, dokter Sunil Chatterjee. "Di sana merajalela penyakit malaria yang paling parah sejak zaman Pol Pot berakhir. Soalnya, dokter tidak ada," katanya lagi.
Perawatan dokter di Provinsi Prey Veng masih dianggap baik, karena di situ ada empat orang dokter buat tiga perempat juta jiwa penduduk. Di lima provinsi dari sembilan provinsi di Kamboja sekarang bahkan tak ada dokter. Di provinsi lain ada, tetapi cuma satu.
Penderitaan hebat yang melanda rakyat yang bertahun-tahun tidak dapat pergi ke dokter dapat disaksikan di Rumah Sakit "Tujuh Januari" di Phnom Penh. Seorang gadis yang dibedah perutnya menyimpan benjolah keras berwarna kelabu seberat 22 kg selama tiga tahun. Itu adalah kista rahim yang tidak diobati.
"Kasus macam itu ditemui tiga kali dalam seminggu," kata dokter kepala Sau Sok Khon.
Baca Juga : Orang-orang Sebuah Kampung di Vietnam Ini Tega Memotong Ekor Gajah, Hanya untuk Alasan 'Konyol'
Kamboja sekarang diduduki orang Vietnam. Bagaimana pendapat orang-orang Kamboja tentang hal tersebut? "Kami dilanda masalah yang tidak seberapa," jawab seseorang. Dalam perjalanan dari Provinsi Prey Veng ke Phnom Penh, cobalah Anda singgah di Neak Loeung.
Di situ terlihat dua lusin bus tua yang dipenuhi tentara Vietnam yang kelihatan hendak pulang ke tanah airnya. Para pengamat milker Barat berpendapat bahwa hal itu merupakan manouvre pura-pura.
Tentara-tentara Vietnam itu akan masuk kembali ke Kamboja dengan menyamar sebagai orang sipil.
Di Pasar Neak Loeung, di depan reruntuhan akibat pengeboman Amerika, duduk pedagang-pedagang wanita dengan topi khas Vietnam di samping pedagang-pedagang lain yang memakai topi khas Khmer.
Apakah wanita Kamboja sudah ketularan mode dari Vietnam ? Seorang supir ketika ditanya demikian kelihatan berang. "Wanita Kamboja tidak pernah memakai topi runcing gaya Vietnam!"
Tetap bisa ketawa
Rupanya, permusuhan kuno antara kebudayaan berbau India dari bangsa Khmer dengan orang Vietnam yang lebih mirip Cina cuma terbungkam sementara dalam keadaan darurat. Permusuhan itu sendiri tak pernah lenyap.
Soalnya, orang Kamboja tak pernah lupa bahwa bagian selatan dari Vietnam sekarang, yang dulunya termasuk Cochincina, di tepi delta Sungai Mekong dari eks Kota Saigon adalah salah satu provinsi milik Kamboja.
Sedangkan orang-orang Vietnam yang tinggal di situ merasa Kamboja juga sebagai tanah air mereka. Itulah sebabnya orang Vietnam turut membebaskan Kamboja dari tangan Pol Pot.
Baca Juga : Kalah dalam Perang Vietnam, AS Terpaksa Buang Puluhan Helikopter ke Laut, Kenapa?
Sebenarnya, yang dimaksud dengan negara Demokrasi Kamboja adalah rezim yang didirikan dari tahun 1975 - 1979.
Ketika orang-orang Vietnam mendesak Khmer Merah bersama pemimpin mereka, Pol Pot, pada tahun 1979 dan terus berperang selama enam tahun berikutnya, Pasukan Khmer Merah terdesak sampai ke perbatasan Muangthai.
Begitu Khmer Merah terdesak ke Muangthai terhimpunlah koalisi antara Vietnam dan Kamboja. 50.000 anggota Khmer Merah yang di perbatasan Muangthai pun bergabung dengan 15.000 pengikut Son San, perdana menteri Kamboja yang konservatif sebelum tahun 1970, dan 10.000 pengikut setia Pangeran Norodom Sihanouk.
Pangeran itulah yang diberi wewenang untuk memerintah negara Demokrasi Kamboja di pengasingan.
Baca Juga : 7 Fakta Menarik Kamboja, Negara dengan Raja yang Jago Menari Balet
Jadi, ada dua Kamboja. Kamboja yang diduduki orang Vietnam dan Kamboja yang berada di perbatasan Muangthai. Orang Kamboja yang berada di selusin kamp pelarian yang berada di Muangthai berjumlah 250.000 jiwa.
Perkampungan itu dibantu keuangannya oleh Amerika dan negara-negara ASEAN yang berorientasi Barat. Dalam hal perawatan kesehatan dibantu oleh organisasi internasional, sedangkan senjata dibantu oleh Cina Republik.
Perserikatan Bangsa-bangsa pun mengakui keabsahannya. Sedangkan Sihanouk terus menjalankan propaganda.
Kalau kita meninjau ke sana, kita akan melihat asrama massa. Di situ ada dua dokter dan 160 perawat Kamboja. Sedangkan tujuh orang dokter dari Palang Merah Internasional tinggal di luar kamp.
Baca Juga : Dari Bayi Buaya hingga Minuman Ular, Inilah Kuliner Ekstrem Kamboja, Berani Coba?
Kasus yang sering ditangani adalah amputasi kaki dan tangan yang rusak akibat terkena peluru, TBC, penyakit perut. Masalah utama yang dihadapi di kamp: air minum yang tercemar.
Kamp itu sendiri terdiri atas seribu kemah terpal. Ada kuil Buddha dengan 20 orang biksu yang terjamin makannya dibandingkan dengan para pengungsi lain.
Yang hebat, di situ ada juga bioskop video yang sering memutar film-film kung fu dalam bahasa Cina. Namun demikian, di situ pernah di putar film The Killing Fields. Bagaimanakah reaksi orang Kamboja melihat film itu?
Bukankah mereka adalah korban dan sekaligus pelakunya? Ternyata mereka justru tertawa. Tertawa terbahak-bahak seperti menonton cerita Charlie Chaplin.
Rupanya, dalam hidup yang susah ini, mereka masih bisa tertawa. Harapan belum pudar untuk bisa kembali ke Kamboja. "Kami ingin mengusir orang Vietnam dari negeri kami. Namun kini, kami membutuhkan uang dan senjata lebih banyak untuk memperkuat diri," kata seorang dokter kamp pengungsian.
Baca Juga : Dubes RI untuk Kamboja Ini Justru Tahu dari Dubes China jika pada 1 Oktober 1965 Terjadi Kup di Jakarta