Advertorial
Intisari-Online.com – Peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah TNI-AD pada dini hari, 1 Oktober 1965, yang kemudian menjadi titik balik perubahan besar politik negeri ini, tak cukup mudah dipahami meski banyak buku, artikel, laporan, dan kesaksian telah dibuat.
Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang mengambil manfaat?
Ibarat sebentuk gambar yang terdiri atas banyak potongan kertas, belum terbentuk gambar yang utuh. Celakanya, banyak kertas palsu atau rekayasa.
Buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang - Catatan Julius Pour (2010) ini mencoba menyusun kembali gambar berdasarkan kesaksian para tokoh penting di seputar peristiwa itu.
Mayong Suryo Laksono mencukil buku tersebut dan dimuat di Majalah Intisari edisi November 2010, dengan judul asli Mencari Titik Terang dari Kelamnya Sejarah Indonesia.
Baca Juga : Kesaksian Nugroho Notosusanto, Penulis Film G30S/PKI tentang Baku Tembak di Rumah Ahmad Yani
--
Banyak kritik ditujukan kepada Mayjen Soeharto kenapa penumpasan cukup lama padahal kekuatan pasukan G30S sangat kecil.
Dalam dialog dengan Front Nasional pada 18 Oktober 1965 Soeharto menjelaskan tentang minimnya kekuatan Kostrad dan lemahnya koordinasi.
Meski secara kebiasaan, saat Menpangad pergi atau berhalangan Soeharto menggantikannya, pada saat itu suasana benar-benar gelap karena jejak Letjen Yani dan beberapa asisten serta deputi belum diketahui.
Penguasaan kembali RRI pada malam harinya oleh pasukan Kostrad membuktikan bahwa kekuatan G30S memang tak seberapa.
Baca Juga : Hari-hari Menjelang G30S PKI, Genjer-genjer Lagu yang Hits Ketika Itu
Presiden Sukarno yang langsung memerintahkan penghentian pertempuran ditanggapi dengan rasa frustrasi Brigjen Soepardjo. "Kita sudah kalah," katanya.
Di Istana Bogor, keesokan harinya, Presiden menunjuk Mayjen Pranoto sebagai pengganti sementara Letjen Yani. Sebelumnya ia sempat ragu karena Pranoto dianggap lemah.
Calon lain, Mayjen Moersjid, Asisten III Menpangad, juga ditolak karena dianggap terlalu keras.
Mayjen Basuki Rachmat dianggap sakit-sakitan. Sementara Soeharto tidak dikehendaki karena di mata Presiden, dia perwira keras kepala, koppig.
Mendengar itu Soeharto langsung meminta agar Presiden mengumumkannya secara resmi, agar rakyat tidak bingung.
Baca Juga : Menjelang G30S PKI, Pesta di Kedutaan Tanpa Membayangkan yang Terjadi Setelahnya
Tapi Presiden menolak permintaan itu dan tetap menugaskan Soeharto mengatasi masalah yang ada. Pranoto menjalankan tugas administratif sebagai Menpangad.
Setelah peristiwa G30S, situasi memburuk. Juga bagi Presiden Soekarno. Presiden sering menghabiskan waktu di Bogor bersama Hartini, istri keduanya.
Kalaupun di Jakarta, dia tidak tinggal di Istana, tetapi di kediaman istri ketiganya, Ratna Sari Dewi (perempuan Jepang yang nama aslinya Naoko Nemoto dan dinikahi Presiden Sukarno secara rahasia pada 11 Juni 1962), di Wisma Yasoo di Jakarta Selatan.
Puncak ketegangan terjadi pada Sidang Kabinet 11 Maret 1966.
Sidang yang tidak diikuti Menpangad Letjen Soeharto dan Menteri Frans Seda karena keduanya sakit itu bubar di tengah jalan dan Presiden Sukarno memutuskan pergi ke Bogor karena merasa diteror sekelompok tentara misterius dengan kendaraan lapis baja yang mengarahkan moncong senjatanya ke Istana.
Baca Juga : Seandainya Tokoh-tokoh PKI Lebih Cepat Bertindak, Entah Apa Jadinya Kota Yogyakarta
Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad, memang mengerahkan pasukan RPKAD tanpa atribut untuk menekan Presiden.
Empat jenderal AD membahas situasi. Menteri Urusan Veteran Mayjen Basuki Rachmat, Wakil Menko Hankam Mayjen Moersjid, Menteri Perdagangan Brigjen M. Jusuf, dan Pangdam V Djaja Brigjen Amirmachmud.
Kecuali Moersjid, tiga jenderal setuju ajakan M. Jusuf untuk secepatnya menyusul ke Bogor dan menjelaskan bahwa AD tidak ada niat meninggalkan Bung Karno.
Sebelum berangkat mereka menemui Letjen Soeharto yang sedang terbaring sakit di rumahnya, di Jln. H. Agus Salim Jakarta.
Baca Juga : Buku Ini Pernah Jadi ‘Medan Pertempuran’ Antara ‘PKI’ dan Pancasila
Menanggapi penjelasan situasi mutakhir dari Basuki Rachmat, Soeharto menitipkan salam kepada Presiden dan menjamin Angkatan Darat akan menjaga Pancasila, menjalankan UUD 1945, mengamankan Revolusi Indonesia asal diberi kepercayaan.
Jusuf menyebutkan bahwa Soeharto menambahkan, "... bersedia memikul tanggung jawab apabila kewenangan diberikan kepada dirinya, agar dirinya mantap untuk melaksanakan stabilitas politik dan keamanan berdasar Tritura."
Di Istana Bogor suasana tegang. Presiden langsung memarahi Basuki Rachmat dan kedua rekannya ketika mereka tiba.
"Apa saja kerja kalian? Katanya mendukung saya, mengamalkan ajaran-ajaran saya ... mana buktinya?"
Menurut kesaksian Mangil, suasana panas berangsur-angsur turun dengan penjelasan M. Jusuf soal jaminan dan kesediaan Soeharto untuk mengatasi keadaan asal diberi penugasan secara jelas berikut dukungan kepercayaan.
Baca Juga : Pernah Bertempur Melawan Pasukan Khusus Inggris, Bikin Kostrad Mudah Taklukkan Kekuatan Pro PKI
Di luar dugaan, Bung Karno berubah sikap. Dia malah bersedia membentuk tim untuk menyusun konsep surat perintah. Basuki sebagai ketua, Jusuf anggota, dan Sabur sekretaris.
Rumusan naskah yang ditulis tangan itu kemudian diajukan kepada Presiden. Sejenak dibaca, kemudian dimintakan tanggapan kepada Soebandrio, Chaerul Saleh, dan Leimena.
Menurut Hartini, "Suasana hari itu sangat tegang. Raut muka Bapak suram dan bolak-balik membaca rancangan naskah dengan tangan gemetar."
Sewaktu dimintai tanggapan, Chaerul Saleh mengatakan, "Het is beter, dot U tot God gaat bidden en vrugt zijn antwoord (Lebih baik berdoalah dulu ... mohon petunjuk Tuhan)."
Baca Juga : Dokumen Rahasia Kedubes AS: Jaminan CIA, Kunci Keberanian TNI AD Tumpas PKI
Komentar Leimena lugas, "No comment. Ik laat het helemaal aan U over (Tak ada komentar. Semuanya terserah kepada pertimbanganmu.)"
Sementara Soebandrio mengingatkan, "Als u deze brief tekent dan valt U in de trap (Jika surat itu sudah ditandatangani, sama saja artinya kamu masuk perangkap)."
Beberapa kali dilakukan perbaikan, tapi agaknya Bung Karno tidak berhasil menemukan langkah lain kecuali memberikan persetujuan.
Surat dibawa Kolonel Udara Kardjono, ajudan Presiden, dan diberikan kepada Mayor (Inf) Ali Ebram, perwira Seksi I Tjakrabirawa, untuk diketik.
Komentarnya, "Saya merasa ngetiknya agak lama, karena tidak biasa ngetik dan isinya, ketika mulai saya baca, kok serem."
Baca Juga : Soal Film G30S/PKI Versi Kekinian, Begini Tanggapan Putri Mendiang AH Nasution
Setelah surat kembali kepada Bung Karno, Sabur memberi tambahan komentar, "secara administratif, surat ini memang punya kekeliruan karena kata pertama pada lembar kedua tidak tercantum pada baris terakhir halaman pertama, sebagaimana kebiasaan surat resmi."
Ali Ebram kaget. Dalam hati ia mengaku, "Wah, itu jelas kesalahan saya."
Amirmachmud langsung menukas, "Sudahlah, dalam revolusi tidak usah njelimet."
"Bagaimana Bandrio? Kamu setuju?" Tanya Bung Karno.
Baca Juga : Penumpasan Gerakan 30 September Menjadi Semakin Tak Terkontrol ketika Ormas Anti-PKI Ikut Terlibat
"Bagaimana lagi? Bisa berbuat apa saya? Bapak telah berunding tanpa kami diikutkan."
"Tetapi kamu setuju?" desak Bung Karno.
"... kalau bisa, sebenarnya perintah lisan saja."
Menurut Soebandrio, mendengar ucapan dia, ketiga jenderal di hadapannya langsung melotot.
Amirmachmud segera turun tangan, "Bapak Presiden, tandatangani saja. Bismillah saja, Pak."
Baca Juga : Sikap Peragu Bung Karno Jadi Salah Satu Penyebab Soeharto Berani Tumpas PKI Secara Membabi Buta
Pertemuan lama, diselingi Bung Karno istirahat, makan siang, hingga selepas magrib itu berakhir dengan tanda tangan Bung Karno.
Sebelas orang berada di ruang tengah Istana Bogor. Soebandrio, Leimena, Chaerul Saleh, Basuki Rachmat, M. Jusuf, Sabur, Amirmachmud, Mangil, Kardjono, Hartono, dan Ibrahim Adjie. Panglima Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie langsung ke Bogor begitu diberitahu ada tiga jenderal AD datang.
Pertemuan usai ketika jarum jam menunjuk angka 20.55. Ajakan Bung Karno kepada tiga jenderal tamunya untuk makan malam ditolak secara halus.
Mereka kembali ke Jakarta membawa mandat tertulis Presiden Sukarno kepada Menteri Pangad Letjen Soeharto.
Apakah terjadi penodongan?
"Mana mungkin? Tidak seorang pun boleh membawa senjata ketika menghadap Bapak," kata Mangil.
Baca Juga : Begini Pengakuan Tan Po Goan, Sosok Pengacara Anti-PKI yang Pernah Membela Aidit dan Lukman di Pengadilan