Advertorial
Intisari-Online.com --Setelah Pangkostrad Soeharto mengumumkan bahwa aksi G30S didalangi orang-orang PKI maka satuan-satuan pasukan TNI AD di daerah segera melakukan tindakan dan operasi pembersihan.
Jawa Tengah menjadi target khusus lantaran menjadi basis kekuatan PKI waktu itu.
(Baca juga:Diberi Label ‘Komunis’, Tahanan Politik G30S Justru Diperlakukan Layaknya Tahanan di Negeri Komunis)
Pangdam Diponegoro Brigjen Suryo Sumpeno mendengar kabar terjadinya Gestapu ketika ia sedang minum kopi bersama istri di rumahnya di Semarang.
Merasa ada sesuatu yang salah, ia langsung mengumpulkan bawahan dan stafnya.
Brigjen Surya memerintahkan mereka tetap tenang hingga situasi menjadi jelas.
Seperti disebut dalam buku Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol '65 dan Upaya Rekonsiliasi, dalam pertemuan itu hadir juga Letnan Kolonel Usman yang membuat Brigjen Suryo sempat berpkir sejenak.
Pasalnya tidak seperti biasanya, Letkol Usman saat itu membawa pistol di pinggangnya.
Seusai pertemuan, Brigjen Suryo Sumpeno mengumumkan kepada masyarakat agar tetap tenang, tidak bertindak sendiri-sendiri, dan menunggu perintah selanjutnya.
Brigjen Suryo Kemudian bertolak ke Magelang mengendarai jipnya. Di Akademi Militer Magelang, ia menjelaskan situasi kepada para pembantunya.
Hadir juga dalam pertemuan itu komandan dari Yogyakarta Kolonel Katamso.
Setelah briefing di Magelang, Brigjen Suryo memutuskan untuk kembali ke Semarang lewat Salatiga.
Dalam perjalanan, ketika ia menyetel radio, ia dengar bahwa anak buahnya mendukung Gestapu (Gerakan September 30).
Mereka adalah Letnan Kolonel Usman yang ketika menghadap bersenjata pistol dan Kolonel Suhirman.
Bersama pasukannya, Suhirman berhasil merebut Skodam VII sebagai markas dan mengambil oper pimpinan untuk menyebarkan kegiatannya ke seluruh Korem dan Brigrif-brigrif Kodam Diponegoro.
Dukungan serupa diberikan oleh Wali Kota Solo, Utomo Ramelan, bupati Boyolali dan Karanganyar.
Ketika Pangdam Brigjen Suryo tiba di Salatiga dan masuk ke markas tentara, pasukan pendukung Gestapu segera mengepung.
Kepada Suryo, pemimpin pasukan itu berkata, “Jenderal, saya harus menangkap Anda.”
Setelah berdebat sejenak, Brigjen Suryo berhasil meyakinkan kepala pasukan yang sedang bingung itu dan memerintahkannya tetap di situ bersama tentaranya.
Kemudian Brigjen Suryo pun dibiarkannya pergi ke Semarang.
Nasib mujur Brigjen Suryo ternyata tidak dialami oleh Kolonel Katamso.
(Baca juga:Jika Upaya CIA Mendorong G30S Urung Terjadi, Militer Amerika Sudah Siap Menginvasi)
Ketika briefing di Magelang baru saja usai, anak buahnya yang membelot dan mendukung Gestapu berhasil menguasai Yogyakarta.
Pemimpinnya, Mayor Mulyono, memerintahkan untuk menangkap Katamso dan stafnya, Letkol Sugiyono. Keduanya kemudian dibunuh.
Setelah komandan dihabisi, pasukan pembelot membagi-bagikan senjata kepada sipil yang mendukung mereka.
PKI mengumpulkan 25 ribu anggotanya untuk berpawai mendukung Gestapu.
Meski sempat unjuk kekuatan pada saat-saat awal, keyakinan diri pasukan pendukung Gestapu segera merosot bersamaan dengan tersiarnya berita dari Jakarta bahwa Mayjen Soeharto telah menguasai keadaan.
Pemimpin Gestapu di Yogyakarta memilih melarikan diri ke daerah Merbabu. Pasukannya tercerai-berai.
Sementara itu, di Semarang, Brigjen Suryo pun segera menguasai keadaan.
Sesuai pertemuan di Magelang dan membebaskan diri dari kepungan pasukan pendukung Gestapu di Salatiga pada 2 Oktober, ia telah merebut kembali kepemimpinan dan menguasai kota Semarang.
Kolonel Suhirman dan sebagian pasukannya melarikan diri ke luar kota.
Pada 5 Oktober, Semarang dan Yogyakarta sudah dikuasai oleh tentara yang loyal pada Soeharto.
Kepemimpinan tentara Yogyakarta dipegang oleh Kolonel Widodo yang datang ke kota ini dengan mengendarai tank.
Pada hari yang sama Walikota Solo ditahan dan semua fungsionaris PKI Solo ditangkap.
Meski tentara anti-komunis sudah kembali menguasai keadaan, Soeharto masih memandang perlu mengirim pasukan khusus ke Jawa Tengah sebab daerah inilah basis utama PKI dan tentara sempat “disusupi” oleh Gestapu.
Pada 17 Oktober, Kolonel Sarwo Edhi memimpin RPKAD ke Jawa Tengah untuk melakukan “pembersihan”.
Saat RPKAD tiba di Semarang pada hari berikutnya, kelompok anti-komunis membakar daerah-daerah PKI, seolah-olah untuk menyambut kedatangan para pahlawan.
Pada malam 18 Oktober RPKAD dan tentara lokal menahan dan menangkap 800 orang yang dicurigai tersangkut G30S.
Pada 21 Oktober, tiga kompi RPKAD bergerak menuju Magelang, keamanan kota Semarang diserahkan kepada sebagian pasukan yang ditinggalkan.
Seperti di Semarang, kedatangan pasukan RPKAD disambut gembira oleh kelompok anti-komunis dan dirayakan dengan perusakan gedung dan rumah anggota PKI dan Baperki.
Setelah melakukan pembersihan di Magelang, pada hari berikutnya pasukan elit ini melanjutkan operasi ke Boyolali karena diterima info bahwa Kodim (Komando Distrik Militer) Boyolali sedang dikepung oleh ribuan Pemuda Rakyat dan anggota PKI yang bersenjata golok dan bambu runcing.
Memang, pada 22 Oktober terjadi perlawanan PKI di Boyolali dan Klaten.
Di desa-desa di seluruh wilayah itu, pohon-pohon ditebang dan dilintangkan di tengah jalan. Jaringan telepon diputus.
Pemuda Rakyat menyerang kantor polisi dan markas tentara berharap memperoleh senjata, karena mereka hanya punya pisau dan bambu runcing.
Oang-orang anti-komunis diculik dan dibunuh. Rumah mereka dibakar.
Namun, perlawanan ini berlangsung sebentar saja. Banyak anggota komunis terluka dan RPKAD langsung memegang kendali.
Inilah perlawanan terorganisir PKI DI Jawa Tengah untuk terakhir kalinya.
Beberapa minggu setelahnya, memang masih terjadi pelawanan oleh Pemuda Rakyat, namun ini hanyalah insiden-insiden yang tak terkait satu sama lain.
Dengan demikian pada 23 Oktober Gestapu di Jawa Tengah telah habis.
Jalan lapang tersedia bagi RPKAD untuk memulai “pembersihan” komunis.
Karena Jawa Tengah terlalu luas dan padat bagi RPKAD, “Kami memutuskan,” kata Sarwo Edhie, “untuk mendukung warga sipil yang anti-komunis agar ikut membantu. Di Solo kami mengumpulkan para pemuda, dari kelompok nasionalis, organisasi religius (muslim). Kami memberi mereka pelatihan selama dua atau tiga hari, kemudian menugasi mereka untuk membunuh orang-orang komunis.”
Dan mulailah banjir darah pasca G30S.
Suatu tragedi kemanusian yang menjadi makin parah dan tidak terkendali sekaligus menjadi pelajaran sejarah karena melibatkan warga sipil dan ormas-ormas yang dipersenjatai.