Advertorial

Diberi Label ‘Komunis’, Tahanan Politik G30S Justru Diperlakukan Layaknya Tahanan di Negeri Komunis

Ade Sulaeman

Editor

Lokasi kamp tahanan para tapol berada di lembah berawa-rawa dan lingkungan di sekitarnya berupa hutan lebat.
Lokasi kamp tahanan para tapol berada di lembah berawa-rawa dan lingkungan di sekitarnya berupa hutan lebat.

Intisari-Online.com - Setelah aksi G30S di Jakarta berhasil ditumpas oleh pasukan Kostrad di bawah pimpinan Mayjen Soeharto maka langkah selanjutnya adalah melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dianggap terlibat G30S di berbagai daerah.

Pasukan TNI AD khususnya dari RPKAD bersama arganisasi masyarakat anti PKI melakukan penangkan besar-besaran terhadap anggota PKI dan selanjutnya orang-orang yang ditangkap itu setelah diperiksa dijadikan tahanan politik (tapol).

Cara memenjarakan para tapol umumnya dimasukkan ke penjara lokal, misalnya kalau kejadiannya di Yogyakarta maka para tapol itu dimasukkan ke penjara Wirogunan, hingga beberapa tahun lamanya.

Sebagai tapol hidup di penjara sama sekali tidak enak karena selain penghuninya terlalu banyak juga tidak didukung oleh fasilitas yang memadai.

Setelah dipenjara di tahanan lokal para tapol yang umumnya sudah tidak sehat kerena sudah mengalami masa tahanan yang cukup lama, para tapol itu kemudian dikirim ke penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah dan bercampur dengan para tahanan kasus kriminal.

Para tapol di penjara Nusa Kambangan mengalami nasib yang lebih buruk karena selain hanya mendapatkan fasilitas yang sangat terbatas mereka juga sering menjadi korban kekerasan para tahanan kriminal.

Oleh karena itu kematian para tapol di penjara Nusa Kambangan merupakan “pemandangan yang biasa” setiap harinya.

Untungnya para tapol yang ditahan di penjara Nusa Kambangan tidak berlangsung lama karena setelah itu mereka kemudian dikirimkan ke lokasi tahanan yang sudah disiapkan, yakni di Pulau Buru, Maluku.

Untuk mengirim para tapol yang jumlahnya ribuan dari Nusa Kambangan ke Pulau Buru menggunakan kapal laut membutuhkan waktu lebih dari 20 hari.

Pada tahun 60-an Pulau Buru yang merupakan pulau terbesar di Maluku setelah Pulau Halmahera dan Pulau Seram, merupakan pulau bergunung-gunung dan berhutan lebat.

Lokasi kamp tahanan para tapol berada di lembah berawa-rawa dan lingkungan di sekitarnya berupa hutan lebat dan penduduk lokal yang menghuni cara berpakiannya masih menggunakan cawat dari kulit kayu.

Penduduk lokal itu juga baru mengenal cara bertani secara sederhana tapi mahir mengolah sagu yang diambil dari pohon-pohon di dalam hutan.

Para tapol yang dipenjara di Pulau Buru umumnya dari Pulau Jawa dan mahir bertani serta bercocok tanam.

Untuk mengawasi para tapol yang sudah kenyang perlakuan tidak manusiawi itu mereka dijaga oleh sejumlah batalyon pasukan yang anggotanya merupakan orang Maluku dan terkenal kejam.

Tapi perlakukan kejam itu kadang timbul karena masalah perbedaan budaya khususnya dalam cara bercocok tanam.

Suatu kali karena bahan makanan berupa beras habis, para tapol asal Jawa disuruh masuk hutan untuk mencari sagu.

Tapi karena para tapol asal Jawa tidak tahu cara mengolah sagu, sementara para pasukan penjaga juga tidak mau mengajari, akibatnya para tapol mengalami diare ketika harus mengkonsumsi sagu yang tidak benar cara mengolahnnya itu.

Ketika sedang mengolah lahan untuk dijadikan sawah para tapol juga merasa tidak kesulitan.

Tapi ketika mereka sedang membuat pematang sawah dengan menggunakan tangan dan kaki untuk menginjak pematang agar keras, para pasukan penjaga malah mengira para tapol sedang bermalas-malasan.

Gamparan tangan dan hantaman popor senapan pun mendarat di tubuh para tapol yang dianggap telah kerja secara bermalas-malasan.

Suatu kali para tapol juga membuat tape yang berasal dari singkong.

Namun karena para personel militer asal Maluku rupanya tidak mengenal tape singkong, mereka malah menganggap tape singkong yang dimakannya sebagai singkong busuk dan menuduh para tapol telah berusaha meracuninya.

Pukulan dan hantaman popor senapan pun kembali mendarat di tubuh para tapol yang telah bertahun-tahun bekerja di kamp kerja paksa, mirip kamp kerja paksa Gulag ala komunis Uni Soviet itu.

(Sumber: Buku Menyeberangi Sungai Air Mata Kisah Tragis Tapol’65 dan Upaya Rekonsiliasi)

Artikel Terkait