Advertorial
Intisari-Online.com – Adalah suatu laziman, bahwa orang mengenal nama dan baru kemudian mengenal serta melihat pribadinya.
Nama Tan Malaka misalnya, sudah saya dengar sejak saya masih di sekolah Guru zaman sebelum perang, karena disebut dalam koran serta majalah Indonesia pada masa itu.
Alimin, Muso dan Tan Malaka. Pemimpin-pemimpin komunis yang “licin bagaikan belut” yang berani memberontak terhadap Belanda tetapi kemudian melarikan diri keluar negeri.
Juga penulis kenamaan (pada waktu itu) Matu Mona (nama samaran dari Hasbullah Parinduri dan kini memimpin majalah “Selecta" di Jakarta) menuIis di Medan buku “Rol Pacar Merah Indonesia" yang merupakan best-seller pada sekitar tahun 40-an.
Juga dibibliotheek Taman Pustaka Muhammadiyah yang letaknya di Jalan Ngabean Yogya, buku tersebut tercatat sebagai buku yang paling laris.
Buku itu mengisahkan rol yang pernah dipegang oleh Ibrahim Gelar Sutan Malaka yang kemudian lebih dikenal dengan Tan Malaka.
Asyik sekali kita membacanya. Lebih-lebih disitu juga dikisahkan tentang pemimpin-pemimpin gerakan Indonesia lainnya, kendatipun dengan memakai nama singkatan.
Ilyas Jacoub misalnya disebut Ilyasac, seorang pemimpin Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) di Sumatera Barat yang diduga dibuang Belanda ke Digul.
(Kemudian saya tahu, bahwa setelah di Australia Iliasac dan beberapa tokoh lainnya yang semula dikenal “revolusioner" lalu menyeberang, bersedia bekerja sama dengan Belanda).
Tidak dinyana tidak disangka, bahwa pada suatu ketika di dalam hidup saya, ketiga orang yang namanya sering disebut-sebut sebagai pemimpin yang berani menentang penjajahan dan kemudian terpaksa dibuang keluar negeri itu saya pernah mengenalnya.
Kendatipun hanya sesaat hanya untuk “sekelebatan” saja. Tentang apa yang saya kenal diri Muso sudah pernah saya uraikan dalam Intisari yang terbit bulan Desember 1970.
Alimin
Tentang Alimin (lengkapnya Alimin Prawirodirjo) tidak banyak yang dapat saja ceritakan.
Kecuali bahwa sewaktu dia untuk kali pertama datang menghadap Kepala Negara, presiden Republik Indonesia di Gedung Agung.
Saya kebetulan sekali sebagai wartawan dibenarkan hadir dalam pertemuan itu.
Jika tidak salah ingat, kedatangan Alimin di Gedung Agung diantar oleh Sardjono (almarhum) seorang pimpinan PKI (yang pernah diangkut Belanda ke Australia juga).
Yang mendampingi Bung Karno seingat saya, dewasa itu ialah Bung Hatta dan Pak Dirman (Jenderal Soedirman).
Begitu Alimin masuk ruang (depan di sebelah kanan Gedung Agung), begitu Bung Karno lalu merangkul, sebagaimana lazimnya dua orang sahabat yang lama tidak ketemu.
Pada pertemuan itu Alimin antara lain mengatakan (dalam bahasa Inggris): United we stand, devided we fall.
Saya masih ingat benar, sebab justru kata-kata itulah yang saya siar dalam berita yang saja bikin, dan kemudian dijadikan kepala berita dengan huruf 24 font oleh surat kabar “Merdeka” edisi Solo. Dimuat dalam halaman pertama pisan.
Kedua kalinya saja melihat Alimin di rapat raksasa yang diadakan di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Pada waktu itu pertentangan antar parpol masih belum begitu menghebat.
Tetapi rapat umum atau rapat raksasa untuk menggelorakan semangat perjuangan sudah merupakan mode.
Hampir tiap parpol silih berganti mengadakan rapat umum di Alun-Alun Lor. Sedangkan partai gurem, yang tahu bahwa partainya tidak akan mendapat pengunjung yang banyak, cukup di Sobo Harsono, bekas gedung bioskop di Alun-Alun Lor juga.
Dalam rapat raksasa itulah Alimin mengisahkan pengalamannya. Mengutarakan petualangannya selama dia meninggalkan Tanah Air, dan kemudian menetap di Tiongkok.
Berkata ia antara lain, bahwa sebenarnya revolusi di Indonesia yang kita lakukan sekarang ini bukan apa-apa, jika dibanding dengan revolusi di Tiongkok.
Di Indonesia ini masih sorga.
Sebab, di Tiongkok sana, kata Alimin, dia terpaksa minum air kencingnya sendiri, karena sudah lama sekali dalam perjalanan (march) tidak menemukan air setetes juapun.
Ketiga kalinya saya melihat Alimin, sewaktu dia berpidato dalam suatu pertemuan yang diselenggarakan untuk kaum minoritas.
Tempat pertemuan itu di bangsal Kepatihan Danurejan. Di situ Alimin selain menguraikan perlawatan serta pengalamannya di Tiongkok, juga menganjurkan agar warganegara keturunan Cina menganggap Indonesia sebagai Tanah Air mereka.
Pidatonya itu diselang seling bahasa Indonesia dan Cina, sehingga para pendengar dari kalangan keturunan Cina kadang-kadang terdengar ketawanya.
Karena CC PKI tempatnya di Solo, maka Alimin-pun kemudian menetap di Solo. Selama di Solo inilah dia berdiam dibelakang Loji Gandrung.
Wartawan “Antara" yang bernama Soeroto diketahui hampir tiap hari datang ketempat Alimin, dan mendapatkan kursus-kursus darinya.
Sehingga ada seorang rekan (wartawan) yang mengatakan kepada saya, bahwa Soeroto memang muridnya Alimin.
Pada waktu pemberontakan PKI di Madiun, nama Alimin disebut-sebut lagi sebagai orang tawanan.
Dan di sebuah surat kabar yang terbit di Solo pernah saya membaca tulisan yang menyebutkan, bahwa selama di dalam tahanan itu Alimin sering minta candu.
Rupa-rupanya dia seorang peminum opium. Pemadat.
Yang keempat kali dan yang penghabisan kalinya saya melihat dan mendengarkan Alimin berpidato ialah di Surabaya.
Setelah tahun limapuluhan. Dewasa itu PKI/SOBSI dan lain-lainnya sedang getol-getolnya menghantam Pemerintah dengan KMB-nya.
Juga dalam rapat umum yang diselenggarakan oleh golongan kiri di sebuah tanah lapang di Jalan Indrapura ini tidak ketinggalan Alimin mengucapkan pidatonya.
Dia beragitasi dan menjelek-djelekkan pemerintahan RI, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, terutama Bung Hatta.
Tetapi, sewaktu dia hendak menyudahi pidatonya dia berteriak, “Hidup Kawan Stalin! Hidup PKI! Hidup Bung Karno!" dan mendapat sambutan yang hangat dari publik.
Dia meneriakkan “Hidup Bung Karno" itu agaknya ketrucut, sebab pada waktu itu seperti yang sudah ditulis di atas, PKI sedang getol “mengganyang” negara dan pemerintah RI. Ini, ada pemimpin PKI kok menyerukan: Hidup Bung Karno.
Hal yang demikian itu tentu saja tidak luput dari perhatian wartawan.
Sewaktu Alimin tiba kembali di Jakarta oleh sang wartawan memang lalu ditanyakan langsung kepadanja.
“Untuk apa dan mengapa Alimin menyerukan Hidup Bung Karno? Padahal PKI menjalankan politik tidak mendukung Pemerintah KMB ini?"
Alimin memang orang lecet, pandai menjawab dan ad-rem. Ujarnya: “Saya serukan: ‘Hidup Bung Karno’, apabila dia memang betul-betul suka berjuang untuk kepentingan rakyat.”
Padahal, seperti yang sudah saya tulis diatas, Alimin mengutarakan: Hidup Ini, Hidup Itu dan Hidup Bung Karno tadi, ialah karena ketrucut, Slip of the Tongue, belaka.
Setahu saja Alimin meninggal dunia di Jakarta, beberapa waktu sebelum kaum komunis yang tergabung dalam PKI berontak dalam bentuk G-30-S tahun 1965 yang lalu.
Itulah pengalaman saya dengan Alimin yang saya hayati sendiri.
Simak artikel tentang Tan Malaka pada tautan berikut ini.
(Haji Subagyo I.N. dalam artikel berjudul "Ketemu Alimin dan Tan Malaka" yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1971)