Advertorial

Ternyata Cara Kita Menggunakan Internet Mengancam Satwa Liar Lho, Ini Alasannya

Muflika Nur Fuaddah
Moh. Habib Asyhad
Muflika Nur Fuaddah
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com- Melihat kelucuan aksi satwa liar di internet telah menjadi salah satu hiburan tersendiri.

Itu adalah dorongan yang tidak asing bagi para pecinta hewan.

Tetapi pernahkah Anda berpikir bahwa penghargaan kita terhadap satwa liar yang menggemaskan itu justru mungkin membahayakan mereka?

Panda merah sangat populer di internet, nama panggilan mereka bahkan sama dengan browser internet - Firefox.

Baca Juga : Hewan dengan Berat Setengah Ton dan Telur Raksasa Ini Pernah Hidup Berdampingan dengan Manusia

Jika Anda mencari hewan di sana, Anda akan dengan cepat menghilang ke dalam lubang kelinci berisi gambar dan video makhluk berbulu itu berlompatan di salju, bereaksi berlebihan terhadap batu dan umumnya lucu (meskipun sebagian besar berada di penangkaran).

Lokasi yang tak disebut dalam video-video ini adalah hutan Nepal hingga hutan Cina, tempat hewan-hewan itu hidup di alam liar.

Setelah jumlah populasi mereka menurun 50 persen selama tiga generasi terakhir, mereka dianggap sebagai spesies yang terancam punah, menurut Persatuan International Union for the Conservation of Nature (IUCN).

Bahkan, kemungkinan hanya kurang dari 2.500 yang tersisa di alam liar.

Baca Juga : Laut Berubah Jadi Merah Darah Setelah Ratusan Lumba-lumba Disembelih di Pulau Faroe, Begini Respon Aktivis Hewan

Red Panda Network adalah organisasi amal yang didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran akan kondisi buruk panda merah dan mendanai program konservasi penting.

Sejak 2010, mereka menyelenggarakan Hari Panda Merah Internasional tahunan untuk menyampaikan pesan bahwa hewan ini lebih dari sekadar umpan manis YouTube.

Sayangnya, meski ada upaya untuk melindungi hewan-hewan itu, setengah lusin panda merah diselamatkan dari penyelundup di Laos pada Januari 2018.

Para penyelundup bermaksud menjual hewan-hewan itu sebagai hewan peliharaan di pasar gelap.

Baca Juga : Kesal Kudanya Dimakan Buaya, Nenek Ini Nekat Tangkap Buaya dan Ingin Memakan Dagingnya

Apakah pasokan ini merupakan hasil langsung dari permintaan yang didorong oleh popularitas di internet, itu sangat sulit untuk dibuktikan.

Namun ada bukti bahwa publikasi yang salah dari suatu spesies dapat mendorong sikap yang mengkhawatirkan.

Ambil contoh Sonya si kukang lamban.

Primata nokturnal asli Asia Tenggara ini mendulang klik dengan sebuah video viral yang menunjukkan Sonya mengangkat tangan di udara dengan sukacita.

Baca Juga : Sepenggal Kisah Lain Bos Bulog Budi Waseso, Pernah Jadi Tukang Ojek dan Sopir Taksi

Sedihnya, ahli perilaku hewan mengungkapkan bahwa apa yang kita pikir bahwa Sonya sedang menikmati sebuah gelitikan, ternyata adalah bukti seekor hewan yang menderita.

Itu adalah perilaku defensif dari Sonya.

Hal ini terjadi karena Sonya merupakan hewan peliharaan yang kelebihan berat badan dan disimpan di sebuah flat di Rusia.

Perilaku tersebut sebagai reaksi defensif terhadap sentuhan pemiliknya.

Baca Juga : Mengeluh Sakit, Wanita Ini Kejutkan Dokter Setelah Kura-kura Mati Ditemukan dalam Organ Intimnya

Pada 2013, Profesor Anna Nekaris dan rekan-rekannya menerbitkan sebuah penelitian yang mengamati bagaimana pengguna internet bereaksi terhadap video tersebut.

Pada bulan-bulan awal video itu muncul, mereka menemukan bahwa seperempat dari yang memberikan komentar menyatakan minat mereka untuk memelihara salah satu hewan ini sebagai hewan peliharaan.

Padahal, populasi liar kukang telah dinyatakan rentan oleh IUCN.

Prof Nekaris melanjutkan penelitiannya ke tren yang merisaukan ini dan mengatakan bahwa situasi belum membaik untuk spesies tersebut.

Baca Juga : Sudah Diberi Akses Jalan oleh Tetangganya, Mengapa Eko Tetap Merasa Belum Puas?

Meski perdagangan telah menurun di beberapa daerah, itu hanya karena hewan ini telah punah secara lokal.

"Kukang lamban menderita lebih dari sebelumnya karena perdagangan satwa liar ilegal," jelas Prof Nekaris.

Selain diburu untuk perdagangan hewan peliharaan, mereka juga diburu untuk apa yang disebut sebagai obat tradisional.

TRAFFIC (jaringan pemantauan perdagangan satwa liar) melaporkan bahwa iklan untuk satwa liar ilegal terus menurun di Cina - turun hingga 50 persen dari tahun 2012 hingga tahun 2016.

Baca Juga : Melihat Karakter Seseorang dari Caranya Memegang Ponsel, Akurat!

Statistik yang tampaknya positif ini datang dengan peringatan:

Perdagangan satwa liar ilegal telah berpindah dari situs e-commerce ke komunitas online privat dan jejaring sosial.

Perdagangan tersebut telah secara efektif didorong ke bawah tanah, ke platform yang sulit untuk dipolisikan oleh pihak berwenang.

Dorongan untuk mengetik "Saya ingin satu" di bawah video atau foto yang dibagikan saat ini hanya beberapa klik saja dari keterlibatan langsung dalam perdagangan satwa liar.

Baca Juga : Inilah Bukit Nirbaya, Lokasi Eksekusi Mati Narapidana di Nusakambangan yang Bikin Bulu Kuduk Berdiri

Tapi gelombang itu diharapkan mulai berubah.

Pada 2018, 20 perusahaan teknologi terbesar di dunia bergabung dengan organisasi konservasi WWF untuk menindak perdagangan ilegal satwa liar.

Koalisi Global untuk Mengakhiri Perdagangan Satwa Liar Online (The Global Coalition to End Wildlife Trafficking Online) menetapkan sasaran pengurangan 80 persen pada tahun 2020.

Dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran akan eksploitasi satwa liar, Instagram juga telah meluncurkan inisiatif dengan pengguna yang memposting atau mencari gambar dengan tagar terkait.

Baca Juga : Lina Mantan Istri Sule Terbukti Selingkuh, Ternyata Selingkuh Juga Bisa Bawa Efek Positif Lo!

Misalnya #tigerselfie (swafoto dengan harimau) atau #slowloris (kukang lamban) akan diberikan pesan pop-up yang menggarisbawahi perlunya melindungi margasatwa dan lingkungan.

Pada April 2018, BBC Earth bekerja dengan Instagram untuk menambahkan peringatan ke dua hashtag tambahan #orangutan dan #pangolin (trenggiling).

Jaringan berbagi gambar itu belum merilis data untuk menunjukkan apakah penggunaan hashtag ini telah menurun.

Prof Nekaris menyarankan bahwa kita harus waspada di media sosial.

Baca Juga : Setelah 66 Tahun, Pemilik Kuku Terpanjang di Dunia ini Akhirnya Memotong Kukunya

"Instagram juga telah meluncurkan prakarsa, di mana pengguna yang mengunggah atau mencari gambar dengan tagar terkait diberikan pesan pop-up yang menggarisbawahi perlunya melindungi satwa liar dan lingkungan," ungkapnya.

Seperti permainan bisikan yang mendunia, konteks gambar dan video dapat hilang saat dibagikan, jadi penting untuk memikirkan apa yang Anda lihat.

Jika itu dianggap membahayakan, laporkan gambar itu ke platform.

Anda juga dapat membuat dampak positif dengan membagikan dan mendiskusikan foto dan video dengan pesan konservasi yang kuat.

Baca Juga : Wanita Suku Himba, Perempuan Terindah di Afrika yang Tak pernah Mandi

Banyak badan amal yang berusaha meningkatkan prospek spesies yang terancam punah hanya dapat beroperasi berkat perhatian dan pendanaan khalayak dunia maya global.

Bersama-sama kita dapat mengubah "aww" menjadi kesadaran, dan memberi binatang kesukaan di layar kita kesempatan untuk berjuang bertahan hidup di lingkungan mereka yang sebenarnya.(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cara Kita Pakai Internet Mungkin Ancam Satwa Liar, Kok Bisa?")

Artikel Terkait