Advertorial

Tak Hanya Kode ala Zumi Zola, Deretan Sandi Lucu Ini Juga Digunakan Oleh para Koruptor saat Beraksi

Intisari Online
,
Aulia Dian Permata

Tim Redaksi

Koruptor biasanya menggunakan kode unik saat sedang beraksi. Tujuannya jelas agar percakapan mereka tak diketahui banyak orang
Koruptor biasanya menggunakan kode unik saat sedang beraksi. Tujuannya jelas agar percakapan mereka tak diketahui banyak orang

Intisari-Online.com- Banyak sekali akal bulus para koruptor dalam menjalankan aksi kriminalnya ini.

Salah satunya adalah dengan berkomunikasi menggunakan kode atau sandi khusus untuk menyamarkan kata-kata korupsi itu sendiri.

Yang terbaru adalah sandi yang digunakan oleh Zumi Zola dalam menerima uang gratifikasinya. Sandi Zumi Zola tergolong rumit karena tiap partai saja punya kode berbeda.

Namun rupanya kode dan sandi ini tak hanya digunakan Zumi Zola, lo!

Baca Juga : Kisah Nyata Bocah 14 Tahun Ungkap Kasus Korupsi Terbesar Dalam Sejarah dengan Jadi Gembong Narkoba Termuda

Dilansir darikompas.com, inilah 7kode dan sandi yang digunakan koruptor saat bertransaksi agar kegiatan buruk mereka tak mudah diketahui.

1. Kode "Pengajian"

Kode "pengajian" digunakan pada kasus suap yang dilakukan Anggota Komisi XI DPR RI, Aditya Anugrah Moha terhadap Ketua Pengadilan Tinggi Manado, Sudiwardono.

Pengajian di sini bukanlah pengajian yang kegiatan agama itu, melainkan kode yang digunakan untuk kata asli bertemu dan bertransaksi uang suap.

Baca Juga : Menteri Keuangan Malaysia Dituduh Korupsi, Menteri Keuangan Indonesia Malah Banyak Prestasi

Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif mengungkapkan, tersangka sering berkirim pesan dengan modus "kapan pengajiannya?" atau "di mana lokasi pengajian malam ini?"

Pemberian suap ini dilakukan oleh Aditya untuk memengaruhi keputusan banding atas kasus korupsi Tunjangan Pendapatan Aparat Pemerintah Desa Kabupaten Bolaang Mongondow selama dua periode, tahun 2001-2006 dan 2006-2011.

Terdakwa dalam kasus itu adalah Bupati Boolang Mongondow, Marlina Moha Siahaan yang merupakan ibunda Aditya.

Kasus ini melibatkan uang senilai Rp1 miliar. Kini baik Aditya dan Sudiwardono ditetapkan sebagi tersangka dalam kasus ini dan bisa "pengajian" bersama di balik jeruji besi.

Baca Juga : Ngawur! Hanya Demi Beli Kucing Mahal, Direktur Keuangan Ini Korupsi Hingga Rp6,9 Miliar

2. Kode "Undangan"

Kode "undangan" muncul dalam kasus dugaan suap yang menjerat Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko, beserta Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Pemkot Batu, Edi Setyawan.

Suap diberikan oleh direktur PT. Dailbana Prima, Filipus Djap agar memenangkan tender pengadaan meubelair di Pemkot Batu tahun anggaran 2017 sebesar 5,26 miliar rupiah. Uang yang diterima oleh Eddy Rumpoko sebesar Rp500 juta, sejumlah Rp300 juta dia gunakan untuk melunasi mobil Aplhard miliknya, sementara anak buahnya, Edi Setiawan menerima Rp100 juta.

Juru bicara KPK mengatakan bahwa dalam transaksi suap ini digunakan kode "undangan", namun untuk praktiknya secara menyeluruh belum bisa publikasi karena masih dalam penyelidikan.

Baca Juga : Kisah di Balik Sumur Thor, Lubang yang 'Menguras' Air Lautan

3. Kode "Beli Buku"

Kode "beli buku" muncul dalam kasus suap oleh pejabat Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) pada auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Sandi ini terungkap berkat kesaksian Sekretaris Itjen Kementerian PDTT, Uled Nefo Indrahadi, saat menjadi saksi untuk terdakwa Irjen Kemendes, Sugito dan Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan Inspektoran Kemendes, Jarot Budi Prabowo. Dalam kesaksiannya pada 30 Agustus 2017 lalu, Nefo membenarkan bahwa istilah "beli buku" dalam percakapan Whatsapp antara dirinya dan Jarot merujuk pada arti uang.

Tidak hanya sandi "beli buku" saja yang digunakan dalam kasus ini, namun juga sandi "PERHATIAN". Sandi "PERHATIAN" (dalam huruf kapital semua) digunakan untuk jumlah uang yang telah disepakati dalam suap-menyuap ini.

Baca Juga : Jika Ibu Kota Pindah ke Palangkaraya, Orang Jawa Juga Harus Ikhlas Pindah ke Sana

4. Kode "Undangan" di kasus suap DPRD Jambi

Lagi-lagi kode "undangan" digunakan dalam kasus suap pemerintahan. Kali ini dalam kasus suap yang dilakukan Pemprov Jambi terhadap anggota DPRD Jambi.

Uang suap ini diberikan agar anggota DPRD bersedia menghadiri pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) Provinsi Jambi tahun 2018.

Kode "undangan" ini dipakai untuk menunjukkan pertemuan dalam rangka menyerahkan uang suap tersebut. Dalam pertemuan itu, Supriono (Anggota DPRD Jambi) keluar dari sebuah restoran dan masuk ke dalam mobil Saipudin (Asisten Daerah III Provinsi Jambi).

Sesaat setelah Supriono memasuki mobil, dia keluar dari mobil membawa kantong plastik hitam. KPK yang sudah mengincar kejadian ini segera menangkap Supriono dan menemukan bukti uang senilai Rp400 jutadalam kantong plastik hitam itu.

5. Kode "Sapi" dan "Kambing"

Kode "sapi" dan "kambing" muncul dalam kasus suap yang melibatkan panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi dan pengacara PT. Aqua Marine Divindo Inspection, Akhmad Zaini.

Suap diduga untuk memenangkan PT Aqua Marine Divindo Inspection dalam gugatan perdata oleh Eastern Jason Fabrication Service Pte Ltd.

Tarmizi menggunakan istilah "sapi" dan "kambing" saat berkomunikasi dengan Akhmad. "Sapi" adalah sandi untuk merujuk nominal uang ratusan juta, dan "kambing" adalah sandi untuk merujuk nominal uang puluhan juta.

Tarmizi meminta 7 ekor sapi dan 5 ekor kambing pada Akhmad Zaini, yang berarti Rp750 juta.

Namun, terjadi tawar menawar sehingga kesepakatan akhirnya adalah 4 ekor sapi, yang berarti Rp400 juta. Menurut Ketua KPK, Agus Rahardjo, sandi ini muncul karena kasus ini terjadi mendekati Hari Raya Idul Adha, yaitu pada bulan Agustus 2017.

Baca Juga : Seleksi CPNS 2018: Kementerian ESDM Buka Lowongan Sebanyak 65 Posisi, Ini Formasi Lengkapnya!

6. Kode "Ahok"

Kode "Ahok" ini muncul dalam kasus suap terhadap mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman.

Suap tersebut diduga untuk memengaruhi putusan uji materi yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Kode "Ahok" digunakan Patrialis untuk menyebut nama Basuki Hariman.

Dalam rekaman percakapan telepon antara Patrialis dengan Kamaludin (orang terdekat Patrialis), Patrialis berkata "Sekalian antum mau, Ahok mau ngobrol nggak?"

Kamaludin menjawab "Ana arahkan si Ahok, iye" Kamaludin mengaku pada jaksa bahwa betul Ahok yang disebutkan dalam percakapan tersebut mengacu pada Basuki Hariman.

Patrialis juga menggunakan kode "kereta" untuk mengganti kata putusan uji materi. Patrialis menerima uang sebesar 70.000 $AS (setara dengan Rp950 juta), uang Rp4 juta, dan dijanjikan uang Rp2 miliar yang belum terlaksana, namun sudah keburu terbongkar kasusnya.

Semua uang ini diserahkan melalui Kamaludin yang merupakan staf perusahaan Basuki Hariman.

7. Kode "Kalender" , "Telur asin", dan "Sarung"

Kode ini muncul dalam kasus suap mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Antonius Tonny Budiono oleh Komisaris PT Adhiguna Keruktama, Adi Putra Kurniawan. Menurut jaksa dalam kasus ini, tiga kode itu digunakan dalam kondisi yang berbeda.

Pertama, kode "kalender" merujuk pada pesan BBM Adi pada Tonny yang berbunyi "kalender 2017 sudah saya kirim", karena saat itu masih dalam suasana mendekati tahun baru. Kedua, kode "telur asin" berbunyi "telur asinnya sudah saya kirim", merujuk pada pemberian uang saat terkait proyek di Semarang, Jawa Tengah.

Ketiga, kode "sarung" berbunyi "sarung sudah saya kirim", merujuk pada pemberian uang menjelang hari raya Idul Fitri. Total uang yang diterima oleh Tonny Budiono sebesar 2,3 miliar rupiah diberikan secara bertahap melalui transfer ke rekening Tonny.

Wah, ada-ada saja ulah para koruptor ini.

Baca Juga : Penjara Indonesia Penuh Narapidana, Penjara Belanda Malah Butuh Napi Karena Kosong Melompong

Artikel Terkait