Intisari-Online.com - Sejak kecil DN Aidit dikenal sebagai sosok yang sangat gemar menabung.
Dari tabungannya itu, suatu ketika seluruh keluarganya, terutama ayahnya, pernah dibuat kaget olehnya.
Waktu itu, Amat (panggilan kecil DN Aidit) masih kelas 7 HIS, SD-nya Belanda.
Paling tidak, begitu kisah Sobron Aidit, adik kandung DN Aidit, dalam memoarnya berjudul Penalti Tanpa Wasit.
Suatu kali, adik-kakan Achmad Aidit (nama lahir DN Aidit) dan Sobron Aidit melihat ayah mereka, Abdullah Aidit, pulang dalam raut muka yang kuyu dan suram.
Baca Juga : DN Aidit ketika Diwawancarai Intisari Maret 1964: Banyak Minum Air Putih, Rokok, dan Secangkir Kopi Pahit
Sejak sampai rumah ia tampak merengut, seperti membawa beban yang sangat berat.
“Tidak ada senyum—tidak ada rasa mau bergurau dengan kami anak-anaknya. Kami menanyakan pada emak, dan ketika wajah ayah tidak seseram kemarinnya, kami juga menanyakan kepada ayah,” tulis Sobron.
Untung Abdullah tidak marah, lebih-lebih setelah tahu bahwa anak-anaknya memang sangat perhatian kepadanya.
Setelah itu, kedua kakak-adik itu pun akhirnya tahu bahwa ayahnya mesti melunasi utangnya kepada sebuah toko tempat ia biasa mengambil barang-barang makanan.
Sekali itu, Abdullah terpaksa berutang karena ada keluarga yang juga berutang kepadanya.
Tapi ketika jatuh tempo, belum dapat dilunasi juga.
Utang-berutang itu pun berentet dan Abdullah yang menjadi fokus pokok harus segera membayarnya.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR