Pukul lima sore teh dibawa ke beranda. Saat itu udara mulai agak sejuk. Angin sepoi-sepoi meniup daun-daun pohon beringin yang lebat di kebun dan mengayunkan akar-akar gantungnya ke sana ke mari. Bunga-bunga tanjung yang putih berguguran dari cabang-cabangnya sambil menyebarkan keharumannya ke mana-mana.
Warna tembok yang putih menyilaukan kini jadi agak merah jambu. Awan sirus yang lembut seperti bulu melayang tinggi di langit yang biru tua, tempat kalong-kalong mulai terbang berputar-putar. Pukul enam hari mulai gelap. Orang-orang yang duduk di beranda mulai meninggalkan teh mereka.
Baca Juga : Sewaktu Bang Ali Sadikin Mengatur Betawi (1): 'Biar Saya yang Pertanggungjawabkan di Akhirat'
Setengah jam kemudian, saya lihat kaum wanita keluar mengenakan rok buatan Paris sedangkan kaum pria mengenakan setelan jas malam. Beranda depan hotel, sebuah bangsal besar yang disangga tiang-tiang, sudah terang-benderang. Seorang gadis duduk menghadapi piano, memainkan lagu-lagu seperti yang digubah oleh Grieg dan Jensen.
Ketika pukul delapan menghadiri makan malam, saya dapati menunya sama seperti yang ditemukan di hotel-hotel Eropa. Sulit bagi saya membayangkan kembali ketercengangan saya menyaksikan adegan-adegan tadi siang yang mengguncangkan gagasan Eropa saya.
Rijstafel, sarung kebaya, pelayan-pelayan pria yang berpakaian setengah Efopa setengah Jawa, semua serasa cuma mimpi. Saya baru percaya bahwa hal itu sungguh-sungguh terjadi tatkala ada tangan langsing berwarna coklat mengangkat piring ikan saya untuk diganti dengan asparagus.
Baca Juga : Sewaktu Bang Ali Sadikin Mengatur Betawi (2):
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR