Begitulah kecenderungan manusia. Semakin kaya semakin banyak keinginan memiliki, menyimpan dalam bentuk noncash. Namun setiap aset memerlukan biaya yang tidak kecil.
Seseorang yang punya dua apartemen saja harus menyediakan cash untuk membayar service charge bulanan, PBB dan sebagainya. Bayangkan bagi mereka yang memiliki ribuan aset. Artinya akan semakin kaya, semakin berkurang likuiditasnya.
Dan ujiannya datang begitu krisis terjadi. Utang-utang membesar dan hanya 1 dari 10 orang kaya yang asetnya likuid. Mereka yang punya aset likuid-lah yang selamat.
Krisis moneter 1998 memberi pelajaran bahwa hanya satu bank milik konglomerat yang selamat dan tersisa sampai hari ini karena likuid dan fokus. Yang lain, mengalami kesulitan likuiditas karena kebanyakan aset.
Bank-bank mereka kini sudah berpindah tangan ke pemilik baru yang lebih memiliki aset likuid. Mereka merepotkan negara karena menyedot likuiditas yang dikenal sebagai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Baca Juga : Shezy Idris Dianggap Menantu Durhaka, Ternyata Menantu Juga Bisa Lakukan 5 Kesalahan Fatal Ini
Karena kekhawatiran itulah maka tak mengherankan bila setiap kali terjadi ancaman krisis, mereka pulalah yang paling lantang menyuarakan ketakutan. Itu mencerminkan situasi yang mereka hadapi: kekurangan likuiditas.
Pajak
Hal kedua yang selalu ditakuti orang kaya adalah pajak. Maka setiap kali upaya pemerintah memperbaiki sistem perpajakan, pemeriksaan yang lebih transparan atau upaya-upaya meningkatkan tax ratio, mereka-lah yang pertama bereaksi.
Fear factor terhadap pajak selalu diluapkan sebagai ancaman bersama yang mengancam kehidupan masyarakat. Mereka pula yang dalam dua tahun terakhir menyuarakan bahwa kelesuan ekonomi disebabkan oleh ancaman pembebanan pajak.
Di sisi lain, fasilitas tax holiday yang disediakan negara, ternyata tidak digunakan dengan baik.
Gula
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR