Intisari-Online.com – Seperti juga dewasa ini, tahun 1929 pasaran dunia dilanda depresi, akibatnya ekonomi Hindia Belanda juga terpukul hebat. Ekonomi negeri jajahan ini tidak pernah kokoh, karena terlalu menggantungkan diri pada barang-barang ekspor dan hasil pertanian/perkebunan.
Mari kita simak tulisan yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1983, 50 Tahun Pemberontakan di Kapal Zecen Provincien.
Hampir semua hasilnya yang terpenting, kecuali beras, diperuntukkan ekspor. Bensin yang dihasilkan oleh kilang-kilang minyaknya hanya sepuluh persen yang dikonsumsi di dalam negeri.
Karet hampir seluruhnya dijual ke luar negeri, teh yang dipasarkan di dalam negeri sebanyak sepuluh persen, gula dua puluh persen, kopra dan kopi tiga puluh persen, tembakau hanya empat persen. Tiba-tiba negara-negara asing 'menghentikan pembelian hasil itu.
Baca Juga : Dari Hindia Belanda Hingga Menjadi Indonesia, Ternyata Beginilah Asal-usul Nama Indonesia
Pemerintah Hindia Belanda yang biasa memperoleh laba sebesar 54 juta gulden dari bidang hasil perkebunan, dalam tahun 1932 menderita kerugian 9 juta gulden. Pemasukan pajak pendapatan merosot lima puluh persen dari taraf sebelumnya.
Pemerintah melakukan penghematan di segala bidang, kesemuanya diselaraskan kepada tuntutan untuk mempertahankan standar emas dan bukannya kepentingan orang banyak, termasuk juga kepentingan pertahanannya sendiri.
Akibat politik penghematan ini nantinya akan ternyata satu dasawarsa kemudian, ketika tanah jajahan itu tidak berdaya menghadapi agresor dari luar. Angkatan Lautnya terdiri dari dua buah penjelajah, masing-masing berukuran sekitar 7.000 ton, ditambah beberapa kapal yang lebih kecil.
Angkatan daratnya seluruhnya berjumlah 35.000 orang, yang tidak pernah dilatih untuk menghadapi musuh dari luar, sedang angkatan udaranya terdiri atas 120 buah pesawat yang ketinggalan zaman.
Gaji turun tujuh belas persen
Dalam rangka penghematan besar-besaran itu pemerintah Hindia Belanda menurunkan gaji pegawai pemerintah sebanyak sepuluh persen. Kemudian timbul desas-desus bahwa mulai tahun 1933 gaji pegawai, termasuk anggota angkatan bersenjata, akan dikurangi lagi dengan tujuh persen lagi, sehingga seluruh pengurangan berjumlah tujuh belas persen.
Di Surabaya, Serikat Sekerja Pegawai Bawahan Angkatan Laut mengadakan rapat-rapat dan pawai untuk memprotes penurunan gaji itu. Suasana panas di pangkalan angkatan laut itu menjadi agak reda dengan telegram dari Panglima AL, bahwa untuk sementara pengurangan tujuh persen itu ditangguhkan.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR