Advertorial

Benarkah Bunuh Diri Bisa Dicegah dengan Mengenali Tanda-tandanya? Nyatanya Tak Sesederhana Itu

Moh. Habib Asyhad
Intisari Online
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Selama bertahun-tahun, kampanye layanan publik yang menekankan bahwa bunuh diri bisa dicegah dengan menangkap tanda-tanda khusus.
Selama bertahun-tahun, kampanye layanan publik yang menekankan bahwa bunuh diri bisa dicegah dengan menangkap tanda-tanda khusus.

Intisari-Online.com -Wilkins Kearney meninggalkan sebuah catatan untuk istrinya di mejad dapur, bersandar pada foto pernikahan mereka.

Catatan itu dibuka dengan, “Kepala Lilla sayang,” dan diakhiri, “Aku sangat mencintaimu!”—Lalu Wilkins membuka laci dan mengeluarkan senjatanya.

Keluarganya tidak menangkap ada tanda-tanda spesifik sebelum Wilkins bunuh diri.

Mereka tidak melihat ada tanda-tanda depresi, juga tanda-tanda yang lain. Ia selalu bersemangat, teman yang menyenangkan, dan murah senyum.

“Orang yang aktif dalam keseharian,” ujar salah seorang teman dekatnya.

Baca Juga : 'Karang Bunuh Diri', Tempat Ribuan Tentara Jepang Bunuh Diri karena Malu Setelah Kalah Perang

Selama bertahun-tahun, kampanye layanan publik yang menekankan bahwa bunuh diri bisa dicegah--banyak orang-orang bisa menyelamatkan nyawa mereka--dengan menangkap tanda-tanda khusus.

Tapi, menurut penelitian RAND terbaru bahwa itu tidak sesederhana yang dibayangkan—bahkan jauh lebih rumit.

“Apa yang aku rindukan?” janda Wilkins, Lilla Wright Kearney, masih bertanya-tanya dalam dirinya.

“Aku tinggal bersamanya! Apa yang bisa aku ubah? Apa yang bisa aku lakukan? Aku akan melakukan apa pun untuk membawanya kembali, dan aku tida bisa, dan itu benar-benar telah menghancurkanku.”

ANGKA BUNUH DIRI YANG SEMAKIN MENINGKAT

Bunuh diri telah menjadi salah satu penyebab utama kematian di Amerika Serikat.

Dari tahun ke tahun selama lebih dari satu dekade ini, jumlah korbannya terus meningkat—terutama di kalangan perempuan muda dan paruh baya.

Saat malam Halloween 2016, rata-rata kasus meninggal bunuh diri di Amerika jumlahnya 121 orang—Wilkins Kearney salah satunya.

Baca Juga : Ingin Lawan Depresi? Begini Caranya! Mudah dan Tanpa Obat-obatan

Seperti disebut di awal, Wilkins adalah karakter yang ceria. Ia sering menelepon ke acara talkshow di radio olahraga, memperkenalkan diri sebagai Catfish dan Grand Isle, dan kemudian mengidolai tim sepakbola Amerika Saints.

Ia juga mencairkan suasana pernikahannya yang kaku ketika mengakhiri sumpahnya dengan kata “A-MEN!” yang panjang dan keras…

Dan kejadian itu baru 14 bulan sebelum hari mengenaskan itu!

“Aku mengulang ingatan berkali-kali,” ujar salah satu sahabatnya, Todd Thomposn.

“Tidak ada yang tahu. Inilah seorang yang aku kenal sejak kecil, yang sangat menderita, tapi tidak ada yang tahu.”

Gagasan tentang tanda-tanda yang mengarahkan seseorang akan bunuh diri telah dipublikasikan dengan masif dan telah diamini sebagai fakta.

Tapi menurut penelitian RAND itu, tidak sesederhana itu. Sebuah penelitian menemukan lusinan tanda peringatan yang berbeda, tapi hanya sebagian kecil yang dipublikasikan.

PENDEKATAN NOVEL: OTOPSI PSIKOLOGIS

Rajeev Ramchard mempelajari bunuh diri dalam kapasitasnya sebagai peneliti senior di RAND.

Karyanya dianggap telah membantu hotline bunuh diri menanggapi para penelepon yang sedang dalam kondisi kritis dengan lebih baik.

Penelitiannya juga telah membantu para pemimpin militer untuk lebih jeli menangani risiko bunuh diri di korps mereka.

Meski begitu, ia selalu terganggu dengan kurangnya bukti kuat mengenai tanda-tanda peringatan yang telah menjadi bagian sentral dari kampanye pencegahan bunuh diri itu.

Dimulai pada akhir tahun 2015. Ia dan tim kecilnya menyematkan diri dengan sebuah kantor koroner di New Orleans.

Baca Juga : Jet Tempur Rusia Generasi Terbaru akan Dibekali Teknologi 'Pembunuh' F-22 dan F-35

Rajeev dan timnya berada di sana untuk mempelajari bunuh diri dari jarak yang sangat dekat, tidak dalam bentuk berkas medis dan file-file penuh coretan.

Di sana, mereka langsung berhadapan dengan orang-orang yang kehilangan orang terkasih akibat bunuh diri, mendengarkan cerita mereka, dan lain sebagainya.

Rajeev dan timnya mewawancarai keluarga dari 17 orang yang meninggal karena bunuh diri, melakukan apa yang digambarkan Rajeev sebagai otopsi psikologis.

Mereka bertanya tentang rutinitas sehari-hari, hubungan, masalah kesehatan dan keuangan, punya senjata atau tidak, atau yang lainnya.

Dari satu, ada satu pola yang jelas: tidak ditemukan tanda spesifik yang berkaitan dengan tanda-tanda orang akan melakukan bunuh diri.

Bukan berarti tanda-tanda peringatan itu tidak ada. Faktanya, sebagian besar orang akan mengurung diri, jadi cemas dan disorientasi, bilang bahwa tidak punya asalan untuk bertahan hidup, bahkan terang-terangan ingin bunuh diri.

Masalahnya, itu bukan perilaku dan tanda-tanda baru.

Penelitian Rajeev juga menemukan, lebih dari 2/3 orang memeliki penyakit mental yang terdiagnosis; lebih setengahnya menggunakan obat-obatan terlarang.

Bagi keluarga mereka, tanda-tanda peringatan itu adalah fakta kehidupan sehari-hari, bukan hal yang benar-benar baru.

Hanya ada empat dari 17 kasus bunuh yang memunculkan tanda-tanda yang benar-benar baru. Tapi sulit untuk diteliti lebih lanjut karena tertutup oleh depresi.

Tiga dari empat orang itu bunuh diri saat sedang berada dalam penyelidikan kasus kriminal, sementara yang satu karena kehilangan pekerjaan.

Lepas dari itu semua, Rajeev masih percaya bahwa sebagian besar kasus bunuh diri masih bisa dicegah.

Baca Juga : Pensiun di 2019, Liliyana Natsir Ungkap Momen Terindah dan Paling Mengesalkan Sepanjang Kariernya

Tapi hal itu membutuhkan upaya lebih dari sekadar depresi, penyakit mental, dan faktor-faktor risiko lain yang banyak diketahui orang.

Yang dibutuhkan, tambah Rajeev, adalah program berkualitas tinggi untuk orang-orang dengan masalah kesehatan mental, juga layanan pendukung untuk keluarga yang berjuang dengan depresi.

Rajeev juga berpesan untuk jangan pernah menyalahkan keluarga ketika ada anggotanya yang bunuh diri.

“Mereka tidak bisa disalahkan,” tutup Rajeev.

Artikel Terkait