Pemutusan Hubungan Diplomatik Negara-negara Arab terhadap Qatar adalah Buntut Panjang dari Perang Teluk

Moh Habib Asyhad

Editor

Perang Teluk
Perang Teluk

Intisari-Online.com -Gejolak yang terjadi di wilayah Teluk Persia akhir-akhir ini, termasuk pemutusan hubungan diplomasi negara-negara Arab terhadap Qatar, sadar atau tidak, adalah buntut panjang dari Perang Teluk yang sukses memecah-mecah wilayah Timur Tengah.

(Baca juga:Negara-negara Arab Ramai-ramai Memutus Hubungan Diplomatik dengan Qatar: Bagaimana Nasib Piala Dunia 2022?)

Perang Teluk terjadi dua kali kali. Pertama ketika pasukan koalisi pimpinan AS menyerbu Irak untuk membebaskan Kuwait dari okupasi Irak (2/8/1990-28/2/ 1991).

Kedua serbuan pasukan AS dan koalisinya untuk menguasi Irak (2003) dan menangkap Presiden Saddam Hussein.

Perang Teluk I berlangsung sukses karena Kuwait segera dibebaskan pasukan AS dan sekutunya tapi pasukan Irak dibiarkan melarikan diri dari Kuwait menuju negaranya.

Tapi setelah Perang Teluk I, Arab Saudi yang khawatir akan mengalami seperti Kuwait, lalu mengijinkan militer AS berpangkalan di Arab Saudi dan berperan sebagi bodyguard.

Hadirnya militer AS di Arab Saudi ternyata membuat kelompok “garis keras” pimpinan Osama Bin Laden tidak suka dan mulai mengganggu kepentingan militer AS di Arab Saudi dengan serangkaian serangan teror.

Puncak serangan teror kelompok Osama yang dikenal sebagai pimpinan Al-Qaeda adalah pada 11/9/2001 di New York AS.

Militer AS kemudian tahu jika serangan itu didalangi oleh kelompok Al-Qaeda yang berbasis di Afghanistan.

Sekitar sebulan kemudian (7/10/2001) militer AS, Inggris, dan sekutu lainnya menggempur Afghanistan melalui kampanye perang (military campign) bertajuk Perang Melawan Terorisme.

(Baca juga:Bagaimanapun Juga, Produksi Jet Tempur Generasi Mutakhir Harus Berterima Kasih pada Pertempuran Udara dalam Perang Teluk 1991)

Dalam perkembangan berikutnya berdasar hasil penyelidikan intelijen CIA, Irak diyakini turut terlibat dalam serangan teror 11/9, dan militer AS serta sekutunya pun menyerbu Irak (2003).

Meskipun serbuan militer AS pada Perang Teluk II ini bertujuan mencari senjata pemusnah massal dan menangkap Saddam Hussein yang dituduh telah menggunakan senjata kimia, pada intinya, Irak berhasil dikuasai.

Saddam Hussein pun dihukum mati sementara AS telah menjadi “penjajah” bagi Irak.

Tapi konflik baik di Irak maupun Afghanistan terus berlanjut hingga saat ini karena militer AS selain bertujuan memerangi terorisme juga “memaksa” menerapkan sistem demokrasi di Timur Tengah.

Penerapan demokrasi gaya AS itu ternyata berpengaruh juga kepada negara-negara Timur Tengah lainnya seperti Libia, Suriah, Mesir, dan lainnya.

Suriah menjadi tantangan utama AS karena sulit ditaklukkan.

Apalagi kemudian muncul kelompok teroris baru, ISIS, yang mengambil keuntungan dari kekacauan di Timur Tengah yang sesungguhnya disebabkan oleh sepak terjang militer AS dan sekutunya.

Militer AS dan sekutunya sebenarnya kewalahan menghadapi konflik di Timur Tengah. Pasalnya teroris Al-Qaeda yang berafiliasi dengan Taliban serta ISIS tetap eksis.

(Baca juga:Dunia akan Jauh Lebih Damai saat Timur Tengah Damai)

Kadang dalam kepentingan tempurnya, militer AS malah “bekerja sama” dengan ISIS karena sama-sama bertempur untuk menggulingkan pemerintah Suriah.

Demi mendukung kepentingan tempurnya militer AS memiliki pangkalan yang besar di Qatar.

Rupanya Qatar yang notabene sekutu AS, secara tidak sengaja terseret oleh militer AS yang memiliki pola “membantu ISIS ketika sedang perlu”.

Negara-negara Arab lain yang kemudian bisa menemukan bukti bahwa Qatar ternyata mendukung aksi terorisme akhirnya marah dan memutuskan hubungan diplomatiknya.

Ketika AS menggempur Afghanistan dan kemudian Irak, dunia sudah menuduh, jika AS bertujuan menguasai minyak di Timur Tengah. Dan untuk menguasai minyak di Timur Tengah itu, negara-negara Arab harus dibuat tidak akur.

Artikel Terkait