Intisari-Online.com – Selain mata, manusia rupanya diberi "indera penglihatan kedua".
"Mata kedua" itu bisa berupa ujung hidung atau ujung telinga, sentuhan tangan, ujung jari, atau ujung siku.
Dengan latihan tertentu, seorang tunanetra bahkan mampu "melihat" seperti halnya orang biasa.
(Baca juga:Tak Hanya Gigi, Lidah Juga Perlu Dijaga Kesehatannya. Ini 8 Cara Mudahnya!)
Suatu hari di tahun 1945 seorang pria bernama Kuda Bux menunggangi sepeda, lalu mengayuhnya, menembus lalu lintas New York.
Ia menerobos Times Square yang ramai, dan akhirnya tiba di tempat tujuan, tanpa celaka sedikit pun.
Tampaknya, itu peristiwa biasa. Namun ternyata ia melakukannya dengan mata tertutup rapat. Bagaimana ia bisa “melihat" arah tujuannya?
Pertanyaan yang tetap belum ditemukan jawabannya itulah yang membuat Bux terkenal pada 1930 - 1940-an.
Jauh sebelum itu ilmuwan Irlandia Robert Boyle (1627 - 1691) menemukan kasus tentang seorang pria yang dapat mengenali warna lewat sentuhan tangannya.
Kemudian pada tahun 1893 beberapa dokter di Brooklyn, New York, menceritakan bagaimana Mollie Fancher yang tunanetra membaca buku cetak standar - bukan berhuruf braille - dengan ujung jarinya.
Pada saat bersamaan di Italia ahli saraf dr. Cesare Lombroso mengamati gadis tunatera berusia 14 tahun yang dapat "melihat" dengan daun telinga kiri dan ujung hidung.
Ketika Lombroso mencoba menusuk hidungnya dengan sebatang pinsil, gadis itu tersentak menyingkir dan menangis, "Kamu ingin membuatku buta, ya?"
Orang abnormal
Kasus-kasus ajaib itu menantang ilmuwan Prancis, Jules Romains. Setelah bertahun-tahun meneliti, pada 1920 Romains menerbitkan risalah panjang berjudul Eyeless Sight.
Ia mencatat, beberapa subyek "melihat" tanpa menjalin kontak dengan objek sasaran, tapi ada juga yang menggunakan alat berupa ujung jari, pipi, bahkan perut.
Meski karyanya itu sedikit sekali ditanggapi oleh kalangan kedokteran, kasus yang lalu ia sebut kemampuan pandang paroptik atau setingkat dengan mata itu beberapa kali menjadi berita utama.
(Baca juga:Angka Kriminalitas Terus Turun, Belanda 'Terpaksa' Sewakan Penjara ke Negara Tetangga)
Perhatian kalangan ilmiah terhadap fenomena itu baru muncul setelah tahun 1963, ketika peneliti kesehatan Rusia, melaporkan kasus Rosa Kuleshova.
Dalam beberapa penelitian yang diawasi ketat, Rosa yang benar-benar tidak dapat melihat dapat membaca koran dan, catatan lagu dengan ujung jari dan siku tangannya.
Penelitian terhadap Rosa membangkitkan minat dr. Richard P. Youtz, psikolog di Columbia University, New York City. Saking penasaran, ia melakukan sendiri beberapa tes.
Kesimpulannya, Rosa dan yang lainnya adalah orang yang sensitif abnormal terhadap jumlah panas yang diserap oleh warna yang berbeda.
Membaca tanpa mata bisa dilakukan karena cetakan hitam menyerap lebih banyak panas dan terasa lebih hangat dibandirigkan sekelilingnya yang putih, yang lebih efisien dalam memantulkan panas.
Pertimbangan itu masuk akal untuk orang yang dapat "melihat" dengan ujung jari atau siku. Tetapi bagaimana dengan fenomena Kudo Bux yang dapat melihat benda tanpa menyentuhnya?
Bagi Budi Santoso Hadi Poernomo, pewaris dan guru besar PPS Betako Merpati Putih, fenomena seperti itu mudah dijelaskan menggunakan "ilmu getaran".
Ilmu yang mulai dikembangkan sejak 1970-an - 1987 ini sebenarnya metode pembinaan latihan pernapasan.
Menurut generasi ke-11 dari Pangeran Prabu Amangkurat dari Kerajaan Mataram pada abad XVII-di Kartosuro, Jawa Tengah, yang menciptakan Betako Merpati Putih' ini, dengan ilmu getaran seseorang akan mampu menangkap berbagai macam getaran dari benda apa pun, bahkan yang tidak tertangkap oleh kelima indera fisik.
Misalnya, getaran otak atau makhluk halus.
(Baca juga:Di Meksiko, 'Trump' Bakalan Dijadikan Alat untuk Membasuh Habis BAB)
Manfaat ilmu itu ialah untuk mendapatkan tenaga yang lebih kuat, terutama saat melaksanakan tugas yang dianggap tidak mungkin dilakukan dalam keadaan biasa.
"Misalnya, dengan mata tertutup dan konsentrasi orang mampu menebak benda yang tersembunyi, atau menembak sasaran dengan tepat dari jarak jauh," ujar Budi yang bersama kakaknya, Poerwoto Hadi Poernomo, mendirikan PPS Betako Merpati Putih pada 2 April 1963 di Yogyakarta.
(Pernah ditulis oleh Shinta Teviningrum dan pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1999)