Tradisi Hukuman Pancung Memang Mengerikan, Tapi Mengapa Masih Dipraktikkan di Sejumlah Negara?

Moh Habib Asyhad

Editor

Hukuman pancung, meski mengerikan nyatanya masih banyak dipraktikkan.
Hukuman pancung, meski mengerikan nyatanya masih banyak dipraktikkan.

Intisari-Online.com -Sesungguhnya aksi pemenggalan kepala yang ditujukan untuk menteror publik sudah tak asing dan kerap terjadi di sejumlah negara termasuk Indonesia.

Semasa pendudukan Jepang di Indonesia hukuman puancung yang dilakukan tentara Jepang menggunakan pedang samurai sudah merupakan berita biasa.

(Baca juga:Dari 10 Hanya 1 Penembak dalam Hukuman Mati yang Berpeluru Tajam: Inilah Serba Serbi Prosedur Hukuman Mati Di Indonesia)

Dalam tradisi Samurai di Jepang sendiri hukuman sepuku (bunuh diri) yang dilaksanakan dengan memenggal kepala musuhnya bahkan menjadi ritual yang disakralkan.

Sesuai keyakinan seorang Samurai, jika musuh sudah mengaku kalah, ia harus menerima rasa malu atas kekalahan itu dengan melakukan ritual bunuh diri,sepuku atau harakiri.

Selain sebagai ritual sepuku, tradisi memenggal kepala ternyata dipakai juga oleh pasukan Jepang untuk menebarkan teror.

Untuk menghemat peluru pasukan Jepang dalam PD II bahkan membaringkan semua tawanan lalu mengeksekusinya dengan tusukan bayonet.

Jika masih ada tawanan yang susah mati, komandan eksekutor akan langsung memenggal kepalanya.

Seorang pilot tempur Jepang setiap menjalankan misi tempur bahkan selalu membawa pedang Samurai.

Suatu kali dalam dogfight seorang pilot Jepang berhasil menembak satu pesawat sekutu yang kemudian terpaksa mendarat darurat di tanah lapang.

Pilot Jepang ternyata ikut menyusul mendarat darurat di tanah lapang itu.

Pilot itu keluar dari pesawat sambil menghunus pedang lalu memenggal kepala pilot Sekutu yang sudah tak berdaya dan menyerah.

Dalam misi tempur untuk menaikkan moral tempur pasukan AS dan sekaligus mengejutkan pemerintah Jepang pasca digempurnya Pearl Harbour, para penerbang AS juga pernah menyerang Jepang (Doollittle Raid/18-4-1942) dan berakibat pada aksi pemenggalan kepala.

Pilot-pilot AS yang pesawatnyajatuh di Jepang dan tertangkap kemudian dieksekusi dengan dipenggal kepalanya serta disaksikan oleh publik.

(Baca juga:Puasa kok Tambah Gemuk? Bisa Jadi Kebiasaan Makan Kita Salah!)

Di Indonesia sendiri pernah terjadi kerusuhan di daerah Kalimantan (Sampit) yang diwarnai oleh aksi pemenggalan kepala.

Apalagi suku bersangkutan yang bertarung dengan cara memenggal kepala itu juga punya tradisi (kuno) mengayau.

Yakni berburu kepala manusia untuk memperoleh status tertentu baik secara spiritual maupun karena faktor menonjolkan kejantanannya.

Dalam pertempuran sengit di Mogadishu tahun 1993 (Somalia/Black Hawk Dawn) pasukan AS yang tertawan atau tewas jasadnya juga dibakar, dimutilasi, kepalanya dipenggal dan kemudian diarak oleh warga yang kalap sebagai simbol kemenangan.

Bahasa "pasukan sedang mancing" dan pulang membawa kepala manusia juga menjadi bahasa yang biasa ketika pasukan TNI Polri bertempur di Timor-Timur.

Sniper Tatang Koswara di usia pensiunnya bahkan sering ditanya oleh para senior atau koleganya dengan kata-kata: "Berapa kepala yang sudah kamu jatuhkan, Tang?" Dan Tatang hanya bisa menjawab dengan tertawa.

Kepala memang simbol kehormatan bagi manusia. Maka aksi pemenggalan kepala demi tujuan aksi teror memang sangat mengguncangkan karena kemanusiaan terhadap seorang manusia telah dicampakkan.

(Baca juga:Resep Berbuka Puasa Hari Ini: Es Kelapa Muda Isi)

Aksi pemenggalan kepala dengan alasan apapun seharusnya tidak terjadi ladi di bumi NKRI berlandaskan Pancasila ini.

Pasalnya seperti aksi teroris, ISIS hingga sampai memenggal kepala warga sipil yang tak bersalah, hanyalah aksi meniru sebuah kebiadaban tanpas dasar.

Artikel Terkait