Meski Laksanakan Misi di Siang Hari, Pesawat Rusia Tak akan Bisa Kenai Sasaran. Tapi Itu Dulu!

Ade Sulaeman

Editor

Pangkalan militer Rusia di Kutub Utara.
Pangkalan militer Rusia di Kutub Utara.

Intisari-Online.com - Ketika pada tahun 1990-an Uni Soviet baik secara ekonomi maupun politik runtuh, militer Soviet khususnya Angkatan Udaranya, Voyenno-vozdushnye silly Rossi (VVS) atau Russian Air Force (RusAF) turut terpuruk.

Sebagai negara besar yang diibaratkan seperti Beruang Merah, kondisi Soviet saat itu benar-benar seperti beruang yang kehilangan cakarnya.

(Baca juga: (VIDEO) Antisipasi Serbuan Rusia, Militer Ukraina Garap Kendaraan Tempur Berteknologi Transformer)

Pada 5 Juni 2009, Kepala VVS, Jenderal Nikolai Makarov bahkan secara sarkastik melukiskan pesawat pengebom Rusia hanya bisa melaksanakan misi pada siang hari dan sasaran yang dibom pun belum tentu kena.

Padahal semasa jayanya saat Perang Dingin masih berkobar VVS merupakan kekuatan udara terbesar kedua di dunia setelah AS.

Kini setelah dua puluh tahun lebih berlalu VVS berusaha menunjukkan cakarnya lagi lewat transformasi organisasi secara besar-besaran dan menghadirkan pesawat-pesawat tempur paling mutakhir.

Perubahan besar-besaran yang dilaksanakan VVS otomatis membuat NATO harus terus siaga karena negeri Beruang Merah itu rupanya sudah bangun dari tidur panjangnya.

(Baca juga: Amerika Serikat Mesti Hati-hati, Rusia Sedang Operasikan Pesawat Pengintai Berteknologi Serba Digital)

NATO yang selama ini merasa nyaman karena Pakta Warsawa telah bubar memang tak bisa tenang-tenang apalagi VVS telah mengaktifkan lagi patroli armada pengebom jarak jauh Tu-160.

Tak hanya itu Rusia juga mampu membuat pesawat tempur canggih yang sanggup menyaingi F-22 Raptor, yakni T-50.

Berkat kekuatan tempur udara yang makin mantap itu, Rusia secara terang-terangan memang telah menguji kemampuan tempurnya di Suriah.

Motivasi Rusia mengirimkan kekuatan tempurnya ke Suriah bisa dipastikan memiliki dua alasan membantu sekutu lama dan menunjukkan kembali bahwa militer Rusia masih memiliki taring.

Rontoknya SU-24 akibat dihajar F-6 Turki dalam konflik di Suriah memang telah menurunkan pamor kekuatan tempur militer Rusia di Suriah.

Oleh karena itu menjadi hal yang wajar jika militer Rusia kemudian mengirimkan kekuatan tempur tambahan seperti kapal-kapal pernag canggih yang dipersenjatai rudal antipesawat dan kendaraan peluncur rudal canggih antipesawat S-400.

Kesempatan untuk kekuatan baik oleh militer Rusia dan para rivalnya pun makin terbuka mengingat kekuatan militer negara-negara Blok Barat dan Blok Timur era Perang Dingin telah berkumpul di Suriah.

Untuk menghindari konflik lebih jauh Presiden Perancis saat itu Francis Hollande dan Presiden AS saat itu, Barack Obama telah membujuk Presdien Turki agar menahan diri.

(Baca juga: Bersiap Hadapi Nato dan AS Dalam Perang Darat, Rusia Ciptakan Ribuan Tank Robot)

Sikap menahan diri Presiden Turki sangat penting karena Putin justru sedang dipengaruhi parlemen agar melakukan serangan balasan terhadap Turki.

Mujur Presiden Turki menuruti anjuran dua presiden rekannya itu kendati Rusia akhirnya menjatuhkan sangsi ekonomi terhadap Turki.

Pasalnya, jika kekuatan Blok Barat dan Blok Timur itu sampai bentrok, Perang Dunia III pun telah dimulai.

Namun saat ini Rusia juatru tampak jelas membela Suriah setelah AS dipimpin oleh Presiden Donald Trump.

Apalagi setelah AS melancarkan serangan rudal Tomahwak ke Suriah sehingga membuat Rusia marah. Rusia bahkan mengancam akan menghadang setiap serangan yang diluncurkan oleh AS ke Suriah

Artikel Terkait