Intisari-Online.com – “Kalau tepuk tangan harus diberikan kepada Presiden Jokowi pada bulan Mei, itu adalah karena kebijakannya kepada dunia perbukuan. Jokowi menggratiskan ongkos kirim buku ke seluruh pelosok negeri setiap tanggal 17, dan ini akan berlaku untuk setiap bulan sepanjang tahun. Tentu saja kita berdoa semoga tak ada presiden pembenci buku terpilih di republik ini agar kebijakan itu bisa langgeng selamanya.”
Itulah sepenggal tulisan Nezar Patria, Digital Editor in Chief The Jakarta Post pada linimasa Facebooknya menanggapi janji Presiden Joko Widodo yang akan menggratiskan biaya pengiriman buku setiap bulan melalui PT Pos Indonesia.
(Baca juga: Tepat di Hari Buku Nasional, Masyarakat Literasi Yogyakarta Keluarkan Tujuh Maklumat Buku)
Pengiriman buku gratis ini, kata Jokowi, akan membuat buku-buku yang dikirim ke daerah menjadi lebih murah. "Karena kami tahu ongkos kirim dari kota ke desa, dari Jawa ke luar Jawa lebih mahal dari harga bukunya," kata Jokowi.
Khusus untuk bulan Mei ini, penggratisan dilakukan pada tanggal 20. Untuk bulan-bulan berikutnya, pengiriman buku gratis dilakukan setiap tanggal 17.
Jokowi berharap upaya ini akan memperkuat minat baca pada seluruh masyarakat, khususnya pada anak-anak. Menurut Patria, tingkat literasi bangsa kita masih memprihatinkan. Distribusi bacaan tidak merata. Buku-buku bagus hanya beredar di kota, sementara di pelosok buku adalah benda yang langka.
Patria lalu teringat artikel yang ditulis Ajip Rosidi sekitar tujuh tahun lalu di harian Pikiran Rakyat, 20 Maret 2010. Sastrawan yang hidup pada tiga zaman itu prihatin dengan rendahnya kegemaran membaca bangsa kita, dan betapa industri perbukuan nasional tak pernah bisa melayani penyebaran buku hingga ke pelosok negeri. Perpustakaan tidak mendapat prioritas untuk dimajukan.
(Baca juga: Melek atau Tidak, Ini Indikator untuk Mengukur Tingkat Literasi Keuangan Anda)
Ajip menulis, "Hanya sekitar 1950-1952 pemerintah menganggap perlu mendirikan perpustakaan rakyat di setiap kabupaten. Akan tetapi, karena kemudian negara terlanda berbagai kesulitan ekonomi, penyediaan buku perpustakaan rakyat itu dihentikan dan perpustakaannya pun menguap."
Bahkan setelah negara makmur (walaupun rakyatnya tetap melarat bahkan kian melarat), kata Ajip, pemerintah memang mulai menyediakan perpustakaan tetapi itu bukanlah prioritas.
10 kg sekali kirim
Dari laman PT Pos Indonesia, disebutkan bahwa pengiriman buku bebas biaya hanya bisa dilakukan di Kantorpos. Sedangkan Agenpos belum menyediakan layanan serupa.
Pengirim merupakan pegiat literasi dan donatur buku yang akan menyumbangkan buku kepada pengelola Taman Bacaan masyarakat di seluruh Indonesia. Berat kiriman hingga 10 kg untuk sekali pengiriman.
Program penggratisan kirim buku ini merupakan bentuk implementasi “BUMN Hadir untuk Negeri” yang sudah dicanangkan beberapa tahun lalu. Melalui “BUMN Hadir untuk Negeri” setiap perusahaan BUMN memberikan kontribusi nyata dalam membantu masyarakat. Peran Pos Indonesia melalui program kirim buku bebas biaya diharapkan bisa menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap buku.
Kita cukup prihatin dengan tingkat literasi Indonesia yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2012 menunjukkan, Indonesia menduduki peringkat 60 dengan skor 396 dari total 65 peserta negara untuk kategori membaca. Hasil ukur membaca ini mencakup memahami, menggunakan, dan merefleksikan dalam bentuk tulisan. Skor rata-rata internasional yang ditetapkan oleh PISA sendiri adalah sebesar 500.
Capaian itu tentu turun dibandingkan peringkat Indonesia pada 2009 di urutan 57 dengan skor 402 dari total 65 negara. Pada tahun tersebut, skornya memang naik tetapi peringkatnya turun. Sedangkan pada 2006, Indonesia menduduki peringkat membaca 48 dengan skor 393 dari 56 negara.
Di negara Asia Tenggara, kemampuan terbaik literasi membaca pada penelitian PISA tahun 2012 dipegang oleh Singapura yang menduduki peringkat ke 3 dengan perolehan skor 542. Adapun negara tetangga Malaysia ada di atas Indonesia dengan peringkat 59 dengan skor 398.
Bung Hatta pernah melontarkan kata-kata ampuh yang di kemudian hari menjadi salah satu kutipan unggulan dari penggambaran sosoknya. “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”
Tidak hanya Bung Hatta yang secara khusus menempatkan pembacaan teks sebagai alat pembebasan belenggu ahistoris dan kebodohan, tokoh besar pergerakan Indonesia seperti Tan Malaka dalam Madilog-nya juga pernah berujar soal ini. “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”
Ayo, manfaatkan kesempatan ini.