Intisari-Online.com - Sempat menonton film “The Hunger Games”? Jika sempat, maka film yang memuat adegan persaingan mempertahankan diri dengan cara saling membunuh ini diangkat dari sebuah buku yang tentu saja memuat isi yang sama, bahkan lebih “kejam” lagi. Untuk itu, rasanya wajar apabila Office for Intellectual Freedom memasukan buku The Hunger Games ke dalam daftar "Top 10 Most Frequently Challenged Books of 2011" yang dirilisnya.
Terasa wajar pula apabila beberapa perpustakaan dan sekolah enggan untuk memuatnya. Begitu juga dengan beberapa orangtua. Mereka berusaha sebisa mungkin melarang anak mereka membaca buku-buku sejenis. Padahal, buku-buku tersebut justru, selain dapat memperkaya pikiran anak, dapat membangkitkan rasa empati pada diri anak.
“Anak memiliki emosi serta proses berpikir yang kompleks, juga jalan berpikir yang sangat perlu untuk dikembangkan,” ujar Karen Coats, seorang profesor dengan spesialisasi di bidang literatur anak dari Illinois State University, Amerika Serikat. Menurutnya, dengan membaca, anak diberi kesempatan untuk mengembangkan “otot empati” mereka.
Manfaat tersebut tentu saja tidak serta merta membuat orangtua mau membiarkan anaknya membaca buku-buku seperti The Hunger Games. Namun, melarang seorang anak untuk tidak membaca buku-buku tersebut justru dapat menjadi bumerang tersendiri. Bahkan Deborah Gilboa, seorang psikolog, menyatakan, “Memberi tahu anak bahwa dia tidak dapat membaca suatu buku sangat jarang membantu menyelesaikan masalah.” Kadang anak malah akan semakin tertarik dan membacanya secara sembunyi-sembunyi.
Nah, kondisi anak yang membaca sendiri dan sembunyi-sembunyi inilah yang justru menjadi bahaya. Menurut Gilboa, dibanding mengucapkan “jangan lihat itu,” “jangan baca itu,” atau “jangan menonton itu,” alangkah baiknya orangtua untuk berkata, “Menurutku buku ini terlalu menantang untukmu, mungkin kau bisa membacanya setelah beberapa bulan atau beberapa tahun lagi.”
Malah ada cara yang menurut Gilboa lebih baik, yaitu dengan cara membaca buku tersebut bersama-sama untuk selanjutnya mendiskusikannya. Jadi, dengan cara mendiskusikan perilaku kekerasan, bullying, ataupun perilaku seksual yang dimuat dalam suatu buku, maka orang tua dapat melihat bagaimana perkembangan emosional anak, rasa sensitifnya juga pengalaman hidupnya. Selain tentu saja memperkuat ikatan antara anak dan orang tua.
Anda mungkin tidak menyukai apa yang Anda dengar, tapi dengan tidak mendengarnya belum tentu membuatnya lebih baik. “Kuncinya adalah bukan menolak mereka, tapi dengan mendampinginya,” ujar Coats. (LiveScience)