Intisari-Online.com - Saat ini militer AS yang dipimpin Presiden AS Donald Trump, sedikitnya masih menghadapi peperangan di front Suriah, Irak, Afghanistan, Somalia, dan bahkan sedang bersiap melawan Korut.
Dalam berbagai front pertempuran itu pasukan AS mendapat pukulan berat setelah sejumlah pasukan khusus dari satuan Ranger dan Navy Seal tewas di front Afghanistan dan Somalia.
(Baca juga: Diberi Nama Abu Ivanka Gara-gara si Ayah Mengagumi Donald Trump, Bayi Ini Populer di Media Sosial)
Jika sudah mengalami pukulan telak dalam peperagan itu biasanya militer AS menggunakan persenjataan yang sangat mematikan guna menghantam sasaran musuh, agar militer AS tetap mencerminkan pasukan dan negara yang kuat dan menjadi ancaman bagi siapapun yang berani melawan.
Gempuran rudal Tomahawk di Suriah dan serangan bom MOAB kepada kekuatan ISIS di Afghanistan adalah untuk menunjukkan bahwa militer AS masih sangat kuat dan bisa melakukan serangan jenis apapun yang dikehendaki.
Tapi baru-baru ini Trump telah melakukan tindakan fatal karena secara spihak telah memecat Direktur FBI, James B Comey dengan mendadak.
Memecat Direktur FBI yang dilakukan oleh Presiden sangat jarang terjadi di AS karena hal itu telah menunjukkan kerapuhan dalam negeri.
(Baca juga: Jika Presiden Donald Trump Ingin Bertemu Kim Jong Un, Ia Harus Siap Dipalak dan Menyediakan Uang Banyak)
Apalagi Trump belum lama menjabat sebagai Presiden dan baru saja melewati massa kerja 100 hari.
Selain CIA, FBI selama ini telah menjadi mata dan telinga bagi Presiden AS terkait keamanan dalam negeri.
Baik Direktur CIA dan FBI adalah orang-orang yang selalu rapat di ruang khusus atau ruang oval Presiden AS setiap harinya.
James B Comey oleh Trump dicurigai karena sedang menyelidiki apakah tim kampanye kepresidenan Trump telah berkolusi dengan Rusia untuk mempengaruhi pemilihan Presiden AS pada bulan November 2016.
Apapun alasannya tindakan Trump yang secara gegabah memecat Direktur FBI yang seharusnya menjadi mata dan telinga telah menunjukkan pemerintahan AS sedang rapuh.
Padahal saat ini Trump sesungguhnya sedang membutuhkan pemerintahan yang kuat dan solid mengingat banyaknya masalah luar negeri yang harus ditangani.
Para demonstran menggelar aksi demo di depan Gedung Putih, Amerika Serikat untuk memprotes Presiden Donald Trump.
Aksi ini dilakukan menyusul pemecatan mendadak Direktur FBI James B. Comey.
Aksi demo tersebut digelar pada Rabu (10/5) waktu setempat, sehari setelah Trump memecat Comey dan mengatakan bahwa ini waktunya untuk "awal baru" bagi FBI.
Comey dipecat di saat FBI tengah menyelidiki apakah tim kampanye kepresidenan Trump berkolusi dengan Rusia untuk mempengaruhi pemilihan presiden AS pada November 2016 lalu guna menguntungkan Partai Republik.
(Baca juga: Sangar, Seluruh Stiker Anti-Trump di New York Terdokumentasikan dalam Akun Instagram Ini)
Comey mengetahui pemecatan dirinya lewat pemberitaan di televisi dan sempat mengira bahwa itu hanya lelucon.
Dalam aksinya seperti dilansirNBCNews, Kamis (11/5/2017), para demonstran menyerukan pemerintah untuk menunjuk jaksa khusus guna menyelidiki dugaan kolusi Rusia dengan tim kampanye Trump.
Sejumlah demonstran bahkan menyerukan pemakzulan Trump.
Salah seorang demonstran, Martina Leinz, staf kampus Johns Hopkins University di Washington DC, mengatakan dirinya dan para koleganya ikut demo tersebut saat istirahat jam makan siang.
"Saya di sini karena belum pernah dalam sejarah di mana demokrasi kita sangat terancam seperti saat ini," ujar wanita berumur 55 tahun itu.
"Memalukan. Memalukan," teriak para demonstran lainnya yang juga meneriakkan Trump sebagai pemimpin fasis.
"Ho ho, Donald Trump harus pergi," demikian teriakan kompak para demonstran. Dikatakan Michael Breen, direktur organisasi nirlaba Truman National Security Project, demo tersebut digelar menyusul pemecatan Comey.
"Organisasi saya tidak banyak menggelar aksi protes. Saya bukan aktivis," tutur Breen. "Namun kami rasa ini momen luar biasa," ujarnya mengenai pemecatan Comey.
Sebelumnya, dalam laporannya pada Januari lalu, seperti dilansirReuters,FBI menyimpulkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan upaya khusus untuk 'mengganggu' pilpres AS tahun 2016 lalu.
Upaya khusus Rusia itu, disebut FBI, bertujuan untuk membantu Trump memenangkan pilpres.
Laporan terbaru dari CNN pada Selasa (9/5) malam menyebut, jaksa federal AS telah merilis 'grand jury subpoena' atau surat pemanggilan untuk mantan penasihat keamanan nasional Trump, Michael Flynn. Jaksa federal AS ingin memeriksa rekam jejak bisnis Flynn yang dicurigai terlibat dalam intervensi Rusia dalam pilpres.
Semasa kampanye, Flynn diketahui pernah berkomunikasi dengan Duta Besar Rusia untuk AS, Sergei Kislyak.
Sebelum akhirnya mengaku, Flynn sempat berbohong soal komunikasi dengan Kislyak itu kepada Wakil Presiden Mike Pence.
Flynn pun mengundurkan diri, namun kemudian terungkap bahwa sebenarnya Trump yang lebih dulu memecatnya.
Rusia berulang kali menyangkal telah mengintervensi pilpres AS. Pemerintahan Trump juga menyangkal adanya kolusi dengan Rusia.
Pemecatan Comey ini menjadi kontroversi karena dilakukan sehari setelah mantan pelaksana tugas Jaksa Agung AS Sally Yates menuturkan kepada Senat AS bahwa dirinya sudah memperingatkan Gedung Putih pada 26 Januari bahwa Flynn berisiko diperas oleh Rusia. Namun Gedung Putih mengabaikan peringatan itu.