Intisari-Online.com – Hari Minggu sore di bulan Agustus itu, wajah Arief amat ceria. la lajukan sedan sambil bersiul riang.
Dalam pesta reuni SMA yang dihadirinya sejak pagi tadi, ia bertemu teman sebangkunya. Arief tersedot dalam rencana temannya itu, mendirikan usaha bersama di bidang agribisnis.
(Baca juga: Wahai Para (Calon) Pengusaha, Hindari Lima Kesalahan Ini Agar Bisnis Tetap Lancar)
Minggu depan mereka janji bertemu. Benak Arief pun berbuih oleh berpuluh harapan. Terbayang olehnya keuntungan yang bakal diraup kelak.
Sinergi kekuatan
Menurut Dr. Bambang Bhakti, MBA, usaha bersama itu sebenarnya ideal, karena tujuannya baik. Selain saling mengisi kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Bila dua kemampuan berbeda disinergikan, maka akan lahir creative output yang added value-nya lebih besar.
Presiden Direktur Team Master, sebuah lembaga pelatihan dan pengajaran, ini menyimpan pengalaman pribadi tentang usaha bersama.
(Baca juga: Sebelum Putuskan Resign dan Memulai Bisnis Baru, Alangkah Baiknya Kita Tahu 5 Hal Super Penting Ini)
Dikatakan, segala bentuk kerja sama biasanya diawali dengan niat baik, pemikiran yang sama, saling percaya, dan saling membutuhkan (interdependency).
Namun, saat bicara tentang investasi maupun bagi hasil dan lain-lainnya, karena merasa sudah saling kenal, segala hal digampangkan. "Awas, ini jebakan tak terlihat," pesan Bambang.
Saat usaha mulai berjalan, di awal keduanya saling memberi kontribusi. Kerja sama pun berlangsung mulus harmonis, sehingga usaha itu mulai menuai hasil. Pembagian keuntungan pun berjalan baik, sesuai rencana.
Namun, dalam perjalanannya kemudian, sering terjadi benturan nilai yang dianut masing-masing pihak.
Rupanya, harus diyakini, "Nilai itu seharusnya ada di depan, mendasari semuanya. Jadi, jangan sampai menggampangkan."
(Baca juga: Kesal Tak Dapat Tiket Pesawat Kelas Bisnis, Anggota Parlemen Ini Tampar Pramugara 25 Kali)
Dosen program pasca-sarjana Universitas Indonesia dan Institut Pertanian Bogor ini merujuk pengalamannya ketika memulai usaha outbond training.
la membawa background bisnis dan modal untuk beli alat-alat, juga kekuatan jaringan pelanggan.
Selanjutnya, ia pimpin relationship-nya. Di waktu proses pelatihan berlangsung, Bambang terjun langsung memberikan pemaknaan bisnis dari seluruh rangkaian pelatihan.
Tinggal dioperation-nya, yang memerlukan ketrampilan teknis, hal itu diisi mitranya yang memang mengerti dan punya kemampuan, serta memiliki tim teknis.
Lima nilai
Arief mungkin ada baiknya bercermin pada Bambang Bhakti, yang sejak awal perjaianan usaha bersama itu telah membeber kepada mitra usahanya lima nilai yang dianutnya.
Pertama, quality, apa pun yang kita lakukan harus berkualitas. Artinya, semua yang diberikan dalam outbond ada dasarnya, ada kerangkanya, dan bukan hal aneh-aneh.
Kedua, disiplin. Bukan hanya disiplin waktu, lebih penting dari itu disiplin dalam menjalankan standard operating procedure (SOP). Maksudnya, mereka harus disiplin dalam safetyprocedure yang benar, menyangkut tali-temali, keselamatan lingkungan, dan sebagainya. Sampai di sini ternyata keduanya cocok.
Ketiga, trust (percaya), masing-masing harus percaya pada kemampuan yang dimiliki mitranya. Ingat, trust itu adalah yang kita terima, sedangkan yang kita berikan adalah tanggung jawab.
Keempat, honest and sincere (jujur dan tulus), bukan hanya menyangkut masalah keuangan,tapi terhadap pelanggan pun harus begitu.
Kelima, fun, kita harus gembira, ceria saja. Canda ria boleh, tapi ketika kerja serius, harus sungguh-sungguh.
Dalam kurun waktu lima tahun, tiga kali Bambang berganti mitra usaha. "Anehnya, nilai quality dan discipline rata-rata bagus, tapi jeblok pada trust dan honest and sincere, walau bagus pada fun. Jadi, dari lima, dua jeblok."
Meski kelima nilai itu pada awalnya disepakati, nilai honest and sincere membikin trust rontok. Biasanya, dipicu oleh masalah keuangan. Yang jadi korban kemudian selalu anak buah.
"Padahal, orang kerja harus dibayar sebelum keringatnya kering," kata Bambang. Terlambatnya pembayaran honor ini mempengaruhi kualitas kerja, sehingga berdampak pada kepuasan klien.
Ulah mitranya itu membahayakan kelangsungan usaha. Maka, setelah tiga kali ditegur tak mempan, Bambang memutuskan kerja sama berakhir saja.
Harus rasional
Karena itu sebaiknya, Arief jangan terlalu cepat percaya, walau sang partner teman lama.
Untuk menjaga trust dan honest and sincere, Bambang menyitir nasihat para kiai bahwa mengenai seseorang bukan sekadar mengenai nama, keluarga, pekerjaan, atau keahliannya. Yang terpenting kita pernah jalan bersama.
"Dalam konteks ini saya menafsirkan, jalan bersama dalam hubungan soal keuangan, baru ketahuan watak aslinya," imbuh doktor dari Pasific Western University, Los Angeles, AS, ini.
Lalu, bagaimana cara menghindarinya?
Bambang jadi serius. "Suatu bentuk kerja sama bisnis harus seratus persen rasional di awalnya. Jangan ada unsur emosional, misalnya senang pada orangnya, pada cara bicaranya, dan sebagainya."
Segala sesuatu diatur secara hitam di atas putih di depan notaris. Misalnya, kalau ada arus kas, bagaimana mengelolanya. Uang bisnis harus kembali ke bisnis, jangan dipakai untuk yang lain, atau bisnis lain, apalagi untuk kepentingan pribadi.
Jangan karena ingin ganti mobil, maka dipakai uang bisnis. Juga harus disepakati sebelumnya mengenai pembagian keuntungan. Kewajiban dan hak-haknya apa. Itu semua harus ditulis.
Risiko kandasnya suatu usaha bersama adalah putusnya tali silaturahmi. Mereka yang berhasil biasanya memiliki nilai-nilai yang mereka sepakati bersama, dan dalam perjalanannya nilai-nilai itu terus terjaga sehingga tetap sama.
Di luar itu, aturan main harus tetap ada, dan harus ada yang menjaga aturan main. Sebab, yang paling mendasar adalah kaitannya dengan uang.
"Saat belum ada uang, semua omongan terasa manis karena penuh gelembung harapan. Tapi begitu sudah ada uang, dan jumlahnya mbludag, lupa semua," sindir ayah lima anak dan kakek lima cucu ini.
Adakah manisnya usaha bersama? Bambang tersenyum. Seperti dialami dirinya, masing-masing jadi bisa saling belajar. Juga, sama-sama menikmati kepuasan pelanggan. Betapa pelanggan datang berkali-kali, dan itu memberi kepuasan batin.
Harta, wanita, tahta
Selain masalah uang, yang menjadi penyebab kegagalan lain adalah wanita. Ini masalah karakter pribadi. Yang dipercaya dalam pendidikan pelatihan adalah apa yang disebut walk the talk. Artinya, kita sendiri menjalankan apa yang kita omongkan. Nilai itu yang dijaga oleh semua pihak, apalagi sebagai instruktur.
Nah, kalau ada murid yang terpesona oleh penampilan sang instruktur, laIu naksir, laIu baku kirim SMS, ketemuan, lalu pacaran, maka lunturlah nilai itu dari diri sang instruktur.
Otomatis, roda jalannya usaha bersama itu jadi terganggu, sebab respek orang akan berkurang, terutama para pelanggan.
Hal yang mengancam kelanggengan usaha bersama adalah tiga "ta": harta, wanita, dan tahta. Dua "ta" yang pertama sudah terbukti. "Ta" terakhir adalah tahta, misalnya jika kedua pihak menjadi pimpinan, maka bisa terjadi bintang salah seorang lebih cemerlang dari yang lain.
Hal ini menciptakan dualisme kepemimpinan. "Dalam dimensi tahta, itu sudah perebutan kekuasaan," imbuh suami Endang Nurul Aini ini.
Begitu pun jika pelanggan ternyata lebih suka bicara pada yang seorang, maka yang lain merasa tak dianggap. Padahal sama-sama owner, pemilik. Jadi, ada semacam kecemburuan tahta di antara keduanya.
Seharusnya, kalau sudah berniat kerja sama, walau salah satu lebih menonjol atau lebih kompeten, yang satunya ikut senang karena bisa belajar lebih banyak.
Selain tahta, harta, wanita, hal lain yang dapat mengganggu keharmonisan usaha bersama ialah perjalanan waktu (time frame). Rutinitas melahirkan kebosanan, terutama jika kerja sama itu begitu-begitu saja, tak ada hal baru, tak ada inovasi.
Bisa jadi juga ada opportunity lain di luar usaha bersama itu, sehingga mitranya merasa ditinggalkan. Lo, pembagian keuntungan sama, tapi kok aku ditinggal kerja sendirian?
Berkelit dari penipuan
Mencermati agar tak tertipu, langkah pertama, jalinlah hubungan aliansi yang profesional, yakni menyepakati nilai dan visi yang sama. Selain menegakkan kelima nilai di atas, bisnis profesional harus dibangun oleh sebuah sistem. Untuk membangun sistem, mulailah dari yang kecil.
"Kegagalan saya dulu, pada awal berusaha tidak mau membangun sistem, karena terlanjur ada kepercayaan."
Pembangunan sistem dimulai dari pemahaman situasi kini, lalu sasaran ke depan apa yang mau dicapai, bagaimana mencapainya, apa strategi untuk mencapainya, program apa saja yang akan dijalankan, dan anggarannya bagaimana.
Langkah kedua, bangun organisasi, yakni siapa memimpin siapa, siapa memimpin apa, batas-batas kewenangannya apa, tetapkan hak dan kewajibannya.
Termasuk, mulai dari investasi hingga pembagian keuntungan. Langkah ketiga, harus ada law-enforcement, ada penegakan hukum atas pelaksanaan kesepakatan. Jika satu kesepakatan dilanggar lalu didiamkan, maka akan jadi jurisprudensi, menggampangkan.
Jadi, harus ada ketegasan dalam menjalankan sistem tadi.
Langkah keempat, secara berkala harus ada evaluasi, entah itu mingguan, bulanan atau dwibulanan, apa yang sudah bagus diteruskan, apa yang masih belum bagus diperbaiki, atau yang jelek dihentikan saja segera, jangan ditunda-tunda.
Kalau ada hal baru, bagaimana ke depannya. Misal, ada kesempatan baru dan butuh investasi baru, lalu pihak partner tak ada dana, nah bagaimana mengaturnya. Apakah rasio kepemilikan berubah atau bagaimana.
Jika partner melihat peluang baru, lalu menggunakan dana bujet untuk kegiatan rutin, bagaimana sikap kita? Langsung ditegur, disetop, atau menghapus beberapa program rutin yang berarti strategi dihilangkan, lalu diganti strategi baru.
Yang penting, ada kesepakatan bersama. Makanya, perlu rapat evaluasi.
Arief juga tak boleh gegabah. Banyak sisi baik dari usaha bersama, tapi pengelolaan buruk akan membawanya ke sisi sebaliknya. Apalagi rentang waktu perpisahan membuat teman lamanya itu seperti teman baru baginya.
Sisi baik dan buruk
Berikut tips untuk memulai usaha bersama, versi Bambang Bhakti:
(Ditulis oleh Dharnoto, dan pernah dimuat di Buku Family Financial Planning, 2005))