Intisari-Online.com – Bukan bermaksud menakut-nakuti, tapi sekadar mengingatkan itulah yang akan dihadapi para pecinta kuliner terutama penggemar ikan asin.
Tanpa mengingkari kelezatannya sebagai lauk favorit saat bersantap, terlalu sering mengonsumsi ikan ini justru akan memicu timbulnya kanker nasofaring (pangkal tenggorokan). Yang jadi pertanyaan, apa dan bagaimana hubungan antara kanker nasofaring dengan ikan asin?
(Baca juga:Tips Mengolah Ikan Asin Agar Naik Kelas)
Sebuah fakta menarik bisa memberi latar belakang jawabannya. Meskipun kanker jenis ini dapat ditemukan di pelbagai negara di dunia, tapi yang terbanyak di daratan Tiongkok selatan, khususnya di Guangdong (Kwangtung).
Bahkan keturunan Tionghoa yang banyak tinggal di San Francisco, AS, sekarang pun tak sedikit yang terjangkit kanker ini dibandingkan dengan orang kulit putih, Negro, atau ras lain.
Meski demikian, jumlah orang Tionghoa yang terkena kanker tenggorokan lebih besar yang masih tinggal di daratan Tiongkok sendiri. Faktor penyebabnya diduga berkaitan dengan kebiasaan serta kerentanan ras tertentu akan jenis makanan yang dikonsumsi.
Sebagai contoh, banyak daerah di Tiongkok memiliki kebiasaan memberikan ikan asin kepada anak-anak mereka sejak bayi sebagai makanan tambahan.
Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa orang dengan kebiasaan makan ikan laut yang diawetkan seperti ikan asin atau ikan asap mempunyai kecenderungan lebih besar mendapat penyakit ini.
Substansi nitrosamin yang dijumpai pada ikan asin yang diawetkan, kalau diberikan terus-menerus pada tikus terbukti dapat mengakibatkan kelainan semacam kanker nasofaring.
Penelitian ini masih terus berjalan sambil melihat sebab-sebab lain seperti rokok, infeksi telinga, serta tenggorokan yang kronis, asap yang berasal dari altar pemujaan di dalam rumah atau asap kayu bakar yang selalu terhirup. Data lain menunjukkan, penyakit ini lebih banyak menyerang pria daripada wania, sekitar 2 : 1.
“Ikan asin itu mengandung nitrosamin yang merupakan pencetus aktifnya virus Epstein-Barr, penyebab utama kanker nasofaring (kanker tenggorokan atau THT),” jelas dr. Budianto Komari, Sp.THT dari KSMF THT RS Kanker Dharmais, dalam acara penyuluhan Diagnosa & Penatalaksana Karsinoma Nasofaring di Jakarta.
Nitrosamin merupakan salah satu karsinogen (zat pemicu kanker). Dalam proses pengasinan dan penjemurannya, sinar matahari bereaksi dengan nitrit (hasil perombakan protein) pada daging ikan, sehingga membentuk senyawa yang disebut nitrosamin.
Menurut penjelasan dr. Budi, setelah diteliti oleh para pakar di Tiongkok pencetus utama kasus kanker nasofaring di kawasan itu adalah ikan asin. Masih menurut dr Budi, virus Epstein-Barr sebenarnya banyak terdapat dimana-mana, bahkan di udara bebas.
Hanya saja tidak semua akan menjadi kanker, virus ini akan tetap “tidur” di nasofaring jika tidak dipicu faktor-faktor tertentu.
Variasi jenis makanan
Lalu apakah kita tidak boleh mengonsumsi ikan asin? “Sebenarnya kalau sekali-kali makan ikan asin ya enggak apa-apa. Ikan asin enak kok. Tapi ya jangan sering-sering. Jangan tiap hari juga.
Yang terpenting makan harus bervariasi dan makanan segar, jangan terlalu sering makan makanan awetan atau kalengan,” tutur dr Budi.
Saat ini sedang dikembangkan pemeriksaan imunologik dengan meneliti kadar antibodi dalam serum seseorang. Apabila terjadi peninggian kadar antibodi, itu merupakan indikasi untuk melakukan pemeriksaan pada daerah nasofaring secara teliti.
Siapa tahu ada kaitannya dengan gejala dini: kanker nasofaring. Seseorang yang mengeluh timbulnya pembesaran kelenjar pada leher, pendarahan pada hidung, penglihatan ganda sering disertai sakit kepala yang kronis, sebaiknya waspada.
(Baca juga:Awas, Sering Makan Ikan Asin Dapat Memicu Kanker!)
Karena struktur anatomis, nasofaring begitu sempit dan melekat erat dengan tulang di sekitarnya, tindakan sulit dilakukan. Pengobatan yang dilakukan pada daerah lig-sofaring serta kelenjar getah bening leher biasanya hanya dengan radioterapi, yang diharapkan dapat membasmi penyakit ganas ini.
Kombinasi pengobatan radio aktif dengan obat antikanker (kemoterapi) baru dilaksanakan apabila terbukti ada sel-sel kanker yang telah berada di luar daerah yang memperoleh radiasi.