Kabut Pembawa Maut Itu Bernama Senjata Kimia, Warga Suriah Dikabarkan Baru Saja Jadi Korbannya

Moh. Habib Asyhad
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

kabut pembawa maut itu bernama senjata kimia
kabut pembawa maut itu bernama senjata kimia

Intisari-Online.com - Senjata kimia, dalam sejarahnya, selalu menghadirkan musibah yang tak terperikan, terutama bagi kalangan masyarakat sipil yang tak berdaya. Kisah ini terjadi di ujung Perang Iran-Irak yang memakan banyak sekali korban itu.

Begitu pesawat Mirage milik tentara angkatan udara Irak melintas, Halabja, kota di perbatasan Iran-Irak itu, tak ubahnya arena jagal.

(Baca juga:Hanya Pemimpin yang Frustrasilah yang Menggunakan Senjata Kimia dalam Peperangan)

Mayat bergelimpangan di mana. Dari dapur, hingga di atas trotoar. Yang tewas, mulai dari bocah hingga nenek-kakek, laki-laki dan perempuan.

Setelah dilakukan penelitian, ada kesamaan luka di antara para korban itu: kulit mereka melepuh dan terbakar. Jika pun ada yang selamat dari cengkeraman maut, bekas luka itu tak bakal pupus sepanjang hidup.

Semua itu disebabkan oleh “Kabut pembawa maut” yang dimuntahkan senjata kimia. Tim penyelidik internasional yang diturunkan ke kota itu, menyimpulkan, pesawat-pesawat tempur Irak telah menebarkan gas Mustard, Sianida Hidrogen, dan Sarin.

Sangat mematikan

Dikutip dari Majalah Hai edisi 10-16 Mei 1988, Mustard, yang juga dikenal sebagai Yellow Rain alias hujan kuning, pernah digunakan sejak Perang Dunia I. Sementara Sianida Hidrogen pernah digunakan AS untuk menghabisi nyawa narapidana di penjara-penjaranya.

Sarin (GB) sejatinya satu dari tiga senjata kimia yang pernah dibuat oleh Jerman; dua lainnya Tabun (GA) dan Soman (GC). Meski demikian, ketiganya punya kemampuan membunuh yang berbeda. secara berturut-turut dari yang paling kejam: Soman, Sarin, lalu Tabun.

Semua negara yang terlibat dalam Perang Dunia I berlomba-lomba mengembangkan tiga senjata kimia itu. Uni Soviet memilih yang paling mematikan, Soman yang berbahan dasar alkohol, sementara Inggris memilih Sarin—ini disebabkan karena Inggris sulit menyediakan alkohol dalam jumlah besar.

Di awal-awal Inggris sejatinya kesulitan mengembangkan Sarin, sebab bahan utama Sarin sulit diproduksi oleh pabrik kimia sipil. Untuk mengakilnya, Inggris memutuskan untuk menghasilkan sendiri bahan itu, selain itu, cara ini juga bisa digunakan untuk menekan biaya.

Harap diperhatikan, satu tetes lebih dari cukup mengantar seseorang ke surga.

Selain mengembangkan senjata kimian, negara-negara itu juga memikirkan cara paling efektif untuk menyebarkan senjata kimia itu. GA, GB, dan GC bisa diluncurkan lewat mortir, peluru artileri, atau dijatuhkan lewat bom pesawat tempur.

Penyakit neraka

Jika kita mau mendalami lagi, senjata kimia sejatinya tak ditujukan kepada manusia saja. Beberapa di antaranya ditujukan untuk mematikan tanaman—yang paling populer adalah Agent Orange.

Pasukan AS menggunakannya untuk merontokkan hutan belukar yang menjadi tempat persembunyiann gerilyawan Vietcong. Setelah disemprot dengan Agent Orange, semak-semak seperti mengalami kemarau panjang. Terbakar dan mati.

(Baca juga:Waspadalah, dalam Kondisi Perang, Korut Bisa Menyerang Pakai Drone Bersenjata Kimia)

Meski tidak ditujukan langsung, manusia tak berarti bisa lolos dari pengaruh Agent Orange.

Agent Orange yang disemburkan pesawat Angkatan Udara AS di Vietnam

Beberapa tahun setelah Perang Vietnam usai, pemerintah AS digugat bekas pilot pesawat terbang yang mengusung gas beracun ini di Vietnam, sebab ia menderita pening yang berkepanjangan dan sering mengalami gangguan pada kedua matanya.

Senjata kimia memang mengerikan. Bayangkan, sudah tahunan perang Vietnam berakhir, toh masih ada yang membawa “penyakit” dari neraka itu. Kengerian seperti itu yang menyebabkan lahirnya Geneva Protocol, pada 17 Juni 1925.

Setelah melihat akibat yang ditimbulkan senjata kimia pada Perang Dunia I, pertemuan yang dihadiri utusan berbagai negara itu sepakat untuk tidak menggunakan senjata kimia dalam keadaan apa pun.

Sayang pernyataan Geneva kurang ampuh. Dengan berkilah tidak untuk menyerang, tapi sebagai pertahanan, sejumlah negara tetap mengembangkan dan memproduksi senjata kimia.

Malah tiga negara; Inggris, AS dan Kanada berikrar saling membantu dalam pengembangan senjata kimia ini.

Padahal PBB dalam konvensinya pada 1972 yang dihadiri anggotanya sepakat untuk tidak memproduksi dan menyimpan senjata kimia.

Tepat satu dasawarsa seteleh konvensi itu, AS malah mengumumkan niatnya kembali membuat senjata kimian. (Walau sebenarnya negara adikuasa ini memang tidak pernah berhenti mengembangkan senjata kimia).

Alasan AS, seperti biasa, karena Uni Soviet (sekarang Rusia) tak pernah berhentimengembangkan senjataini. Meski terus memproduksi, nyatanya AS, juga negara-negara lainnyamengutuk ulah pasukan Irak itu.

Tapi kutukan itu rasanya cemplang. Karena senjata kimia yang digunakan di Halabja, yah dari mana lagi, kalau tidak dari negara-negara yang ramai-ramai mengutuk tadi.

Artikel Terkait