Intisari-Online.com – Pasien sering dirugikan karena persepsi yang salah, ketidaktahuan, mitos, dan misleading akan obat. Maka masyarakat perlu tahu tabiat obat, agar kerugian tersebut bisa dikurangi.
(Obat Batuk, Lengkap Tak Berarti Lebih Manjur)
Memang benar tidak semua obat langsung menyembuhkan. Mungkin saja keluhan dan gejalanya berkurang, tapi bukan berarti sembuh. Ada dokter yang tak suka memberi obat simtomatik, hingga pasien tetap mengeluh demam, nyeri kepala. Padahal ia langsung mengobati penyebabnya, bukan keluhan-gejalanya agar resep obat tak terlalu berjenis-jenis. Tanpa disadari dokter tersebut justru melindungi pasien dari akibat sampingan berbagai jenis obat.
Ada juga dokter yang ingin pasiennya bebas dari semua keluhan dan gejala penyakitnya begitu minum obat. Untuk itu resepnya jadi berderet panjang.
(Inilah Empat Fakta Seputar Obat yang Penting Kita Ketahui)
Patokan sembuh bukan hanya hilangnya keluhan dan gejala. Jika keluhan dan gejala masih muncul saat obat tak diminum, berarti penyakitnya masih ada, belum tumpas.
Kesembuhan juga tidak dipengaruhi oleh harga obat. Dalam mendiagnosis dan menulis resep, dokter menggunakan prinsip, selain sesedikit mungkin jenis dan dosisnya, juga serendah mungkin harganya. Bahan obat sama bisa berasal dari puluhan merek yang berbeda. Obat generik ibaratnya produk tanpa merek. Meski barangnya sama, obat bermerek bisa lebih mahal karena ongkos promosi.
Mujarab tidaknya obat ditentukan banyak hal. Seperti kepandaian dokter memilih obat, ketepatan apotek meracik resep, serta keyakinan pasien terhadap dokter dan kepatuhannya minum obat.
Begitu juga dengan suntikan yang dianggap lebih hebat daripada obat minum. Banyak pasien di daerah tak mau pulang jika belum disuntik. Padahal tidak semua penyakit perlu diberi suntikan. Obat suntikan baru diberikan dalam keadaan obat perlu langsung bekerja, misalnya dalam keadaan darurat dan gawat. Atau jika obat yang ada hanya dalam bentuk obat suntik.
Selain itu, dalam kondisi normal, obat minum sama potensinya dengan obat suntik. Bedanya cuma soal waktu kerja obat dan utuh tidaknya obat diserap tubuh. Pasien terserang alergi, kejang, asma berat dipertimbangkan disuntik. Obat suntik pun sesungguhnya mengandung risiko shock. Tak heran jika tidak semua dokter suka menyuntik.
(Obat Ajaib untuk Merasa Hidup Kembali dan Sehat)
Selain obat-obatan modern, pengobatan tradisional sering dimanfaatkan. Banyak temuan baru dari alam yang memang bisa digunakan untuk mengatasi penyakit yang secara medis belum terobati. Maka, dunia medis tidak tertutup bagi pengobatan tradisional, asalkan sudah diuji.
Meski lebih ramah dibandingkan dengan obat kimiawi dokter, bahan-bahan kasar obat tradisional yang rata-rata dari alam juga membawa bahan beracun masuk ke tubuh. Tapi perlu waktu untuk menguji efek sampingannya. Yang dirisaukan, bagaimana beban hati dalam menyaring bahan “beracun” dari alam itu. Untuk menerima suatu bahan menjadi obat, diperlukan proses yang panjang dan rumit, selain perlu waktu dan jawaban ilmiah.
Tidak jarang ada obat yang mengklaim mampu menyembuhkan 1001 macam penyakit. Semakin suatu obat mengaku bisa menyembuhkan banyak penyakit, harus semakin diragukan khasiatnya. Lazimnya, obat yang baik terfokus pada satu sasaran. Obat yang bisa menaikkan sekaligus mampu menurunkan tekanan darah perlu disangsikan keilmiahannya. Pengakuan kesembuhan seorang pasien sering dilegitimasi sebagai keunggulan ilmiah, tanpa menilai berapa banyak yang tidak disembuhkan. Obat yang benar harus mampu menyembuhkan seluruh pasien yang berpenyakit sama.
Vitamin memang bukan obat kuat, meski hampir semua resep dokter disudahi dengan vitamin. Ibaratnya vitamin adalah pelumas agar mesin tubuh lancar dan fungsinya normal. Vitamin bisa diperoleh dari alam. Jika kita pandai menyusun menu harian, tak ada vitamin yang luput. Sayangnya, menu harian kita didominasi makanan ampas (junk food), sehingga miskin vitamin dan mineral. Kondisi begini yang bertahun-tahun membuat kita kurang vitamin. Saat inilah vitamin dibutuhkan.
Sebenarnya, gangguan kesehatan lebih banyak disebabkan karena kita salah memperlakukan badan. Istirahat dan relaksasi akan mengurangi pemakaian obat yang tak perlu. (dr. Handrawan Nadesul)