Intisari-Online.com - Pemilihan umum langsung – baik eksekutif maupun legislatif – yang dimulai sejak 2004 telah memunculkan peluang bisnis yakni konsultan politik. Lantasan masih terhitung baru, batasan pekerjaannya pun belum begitu jelas.
--
Konon, saat Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab disapa Ibas mencalonkan diri sebagai anggota DPR pada 2009, dia menghabiskan tak kurang Rp10 miliar untuk membayar konsultan-konsultan politiknya. Kabarnya, Rp7 miliar untuk Fox Indonesia dan Rp3 miliar untuk Charta Politika (Mata Najwa/Metro TV). Entah, soal kebenaran kabar itu.
(Donat Tidak Cocok untuk Sarapan si Kecil, Begitu Juga dengan Tiga Menu Ini)
Lain lagi saat Soetrisno Bachir, mantan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional, mencalonkan diri sebagai presiden. Dia harus membayar Ipang Wahid, salah seorang konsultannya, Rp2 miliar untuk keperluan iklan.
Sementara untuk keperluan survei, dananya berkisar antara Rp80 juta hingga Rp600 juta, tergantung kondisi geografis dari wilayah yang akan disurvei (Mata Najwa/Metro TV).
Indonesia dengan 33 provinsi 497 kabupaten/kota, maka diperkirakan terdapat 500-an pemilu langsung dalam kurun waktu lima tahun. Atau 100-an pemilu langsung per tahunnya. Dari situ tentu bisa dibayangkan besarnya dana yang berputar di sektor ini.
(Pilkada di Mata Konsultan Politik: Citra No.1 Program Nanti Dulu)
Tak heran jika beberapa tahun belakangan muncul nama-nama di balik kesuksesan (dan kekalahan?) para kandidat calon pemimpin. Selain Lingkaran Survei Indonesia (berdiri pada 2005) dan Fox Indonesia (2008) yang sudah lebih dulu berkiprah, beberapa nama lain yang dapat disebut antara lain Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Polmark Indonesia, Charta Politika, Cyrus Network, dll.
Sukarela no, profesional yes
Pemunculan konsultan-konsultan politik memang tak lepas dari hukum pasar - ada penawaran dan permintaan. “Adanya kondisi supply yang masih lebih sedikit dibandingkan dengan demand,” aku Grace Natalie, Chief Executive Officer Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Dari sisi profit, bisnis konsultan politik juga cukup menggiurkan. Dengan tarif bervariasi sesuai proyeknya – kisaran ratusan juta rupiah – terdapat margin keuntungan sekitar 15-30% dari total anggaran. Jumlah itu bisa ditambah success fee dengan jumlah bervariasi jika kandidat yang diusung menang.
Di mata Ari Dwipayana, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, fenomena ini mirip seperti yang terjadi di Eropa pada dekade ’70-an. Situasi yang mendukungnya antara lain karena partai politik yang semata berorientasi untuk memenangi pemilihan ketimbang memelihara hubungan dengan pemilih. Model kampanye juga bergeser dari basis massa parpol kepada figur kandidat. Sementara dari sisi politik juga bergeser dari berbasis massa menjadi berbasis personal.
Sementara itu kondisinya, telah terjadi proses marketing. Kampanye yang semula hanya pada kalangan mereka saja, kini lebih meluas, gencar, dan bersifat massal. Kandidat juga berusaha meraih dukungan politik lewat media. Terakhir, terjadi pula profesionalisasi politik. “Artinya dalam politik tidak ada lagi yang sifatnya sukarela, tapi malah menjadi profesi,” tutur Ari.
Dari sisi kandidat, dia juga merasa butuh beberapa hal yang mendukungnya. Ada tim survei (polling) yang bertugas mengukur popularitas di masyarakat. Kemudian ada tim profesional yang menindaklanjuti hasil survei dan merancang strategi pencitraan di lapangan. Serta tim profesional yang menjalin kontak dengan media massa untuk mensosialisasikan visi, misi, dan program.
Aktivitas kampanye juga ikut- ikutan bergeser. Jika semula berpusat kepada partai politik, menurut Ari, menjadi berpusat kepada kandidat. Fenomena ini tampak makin nyata di Indonesia.
Di mata Yunarto Wijaya dari Charta Politika, situasi saat ini memang lebih memungkinkan konsultan politik untuk hidup jika dibandingkan dengan zaman Orde Baru yang telah mengatur perpolitikan sedemikian rupa. Dan peluang itu terbuka lebar karena sebelumnya kita tidak terbiasa dengan orang-orang yang memiliki kemampuan di bidang jasa politik.
Pekerjaannya 3M
Sejauh ini hubungan antara para konsultan politik dengan kliennya masih belum ada batasan yang jelas. “Tergantung permintaan dari kandidat yang datang,” terang Grace. Situasi itu, menurut Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Nasbi, semata karena memang belum ada standarisasi. Maklum, usia lembaga-lembaga ini masih seumur jagung.
Berbeda situasinya di Amerika Serikat, di mana terdapat American Association of Political Consultant yang “mengawasi” sekitar 50-an konsultan politik di negeri itu. Setiap konsultan juga sudah terspesialisasi. Selain pollster dan ahli hukum, ada juga ahli dalam direct mail, social organizer atau door to door campaign.
Jika ingin disederhanakan, menurut Yunarto, pekerjaan konsultan politik itu terdiri atas 3M, yaitu mapping (pemetaan), monitoring (pengawasan) dan mobilizing (menggerakkan). Riset dilakukan untuk melihat popularitas dan elektabilitas dari kandidat serta masalah yang sedang dirasakan warga. Setelah itu dilakukan monitoring dengan mengikuti sepak terjang kandidat dan memberikan strategi. Nah, di sinilah perlu dilakukan pendampingan untuk mengarahkan kandidat saat dia berpidato atau berinteraksi langsung dengan warga. Menjaga image kandidat lah.
Jika memang termasuk di dalam kontrak, konsultan pada akhirnya juga ikut menggerakkan massa. Mirip seperti event organizer, mereka juga membagikan atribut kampanye seperti baju, kaus, atau spanduk; kepada masyarakat calon pemilih. Kalau sudah begini memang repot. Tapi hasilnya juga lumayan.
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 2012 dengan judul "Ini Politik, Ini Juga Bisnis")