Intisari-Online.com - Adalah hal wajar kegiatan tawar menawar di masyarakat Jawa. Bahkan salah satu aktivitas yang disukai seorang teman saat berada di Yogyakarta adalah menawar, meski kemudian sering ia melebihkan dalam membayar. Ada kepuasan dalam transaksi tawar menawar itu.
Madeleine Quirk bisa jadi mempelajari kebiasaan orang di Kota Yogyakarta saat ia berwisata ke situ. Dengan modal bahasa Indonesia yang terbatas, ia mencoba menawar tukang becak lengkap dengan trik-triknya.
Inilah pengalamannya menawar, seperti yang ia tulis di suara.com.
Saya bule asal Australia dan ketika saya jalan-jalan ke Yogyakarta, tak lupa untuk menawar demi mendapatkan barang atau layanan yang saya inginkan. Saya bisa menawar karena saya bisa sedikit berbicara bahasa Indonesia.
Suatu hari, saya akan naik becak bersama teman-teman dari depan Taman Sari.
Saya menggunakan ungkapan seperti "astaga, terlalu mahal", "turunkan harga", dan "Ongkosnya bisa lebih rendah."
Ketika tukang becak mendekati saya dan menawarkan layanan, kami mengabaikannya. Maksud kami bukan untuk menyinggungnya, tapi untuk menarik perhatian.
Kami berjalan kaki sedikit jauh, tapi kembali lagi ke tukang becak itu.
Saya bertanya, “Berapa ongkosnya?”
Lalu, tukang becak bertanya, “Mau ke mana?”
“Dari sini ke Jalan Malioboro,” jawab saya.
Jalan Malioboro kira-kira empat kilometer dari Taman Sari dan tukang becak meminta tarif Rp100 ribu.
Jawabku, “Astaga, terlalu mahal.”
Lalu, kami pergi menjauh. Seperti dugaan saya, dia memanggil lagi.
“Tunggu,” katanya.
Saya berkata sambil jalan kaki, “Turunkan harganya.”
“Oke, oke bisa,” kata dia. “Rp70 ribu,” tambahnya.
Menurut saya harganya masih terlalu mahal. Saya coba lagi. “Bukan Rp70 ribu, Rp30 ribu saja.”
Saya pikir Rp30 terlalu murah, tapi masih ada harapan.
“Tak bisa, mbak. Jauh dari sini,” kata dia.
Akhirnya kami sepakat ongkosnya Rp50 ribu untuk satu becak.
Kami puas. Kami menikmati perjalanan naik becak. Bagi saya, ini pengalaman menarik bisa menawar ongkos naik becak. Ayo coba becak!