Intisari-Online.com – Saya meletakkan barang di dalam bagasi dan duduk di bangku sesuai tiket. Ini akan menjadi penerbangan panjang dari kota ini.
“Saya senang punya buku bagus untuk dibaca. Mungkin saya bisa tidur singkat,” pikirku.
Tepat sebelum lepas landas, sebaris tentara melewati lorong dan mengisi semua kursi kosong. Benar-benar mengelilingi saya. Saya memutuskan untuk memulai percakapan.
“Kalian akan ke mana?” saya bertanya pada pria muda yang duduk terdekat dengan saya.
“Kami akan pergi ke kota lain selama dua minggu untuk pelatihan khsusus, kemudian kami akan dikerahkan untuk sebuah operasi,” jawab pria muda itu.
Setelah terbang selama sekitar satu jam, diumumkan bahwa makan siang yang tersedia harus dibayar. Masih ada beberapa jam untuk sampai tujuan, dan saya cepat-cepat memutuskan untuk makan siang demi melewatkan waktu.
Ketika meraih dompet, saya mendengar seorang prajurit bertanya pada temannya apakah ia berencana untuk membeli makan siang. “Tidak, bisa mengeluarkan banyak uang, mungkin akan sia-sia. Saya akan menunggu sampai kita turun dan ….” Temannya setuju.
Saya melihat sekeliling tentara lainnya. Tidak ada yang membeli makan siang. Saya berjalan ke belakang pesawat dan menyerahkan pada pramugari sejumlah uang untuk membeli 10 porsi makan siang dan mengatakan kepada pramugari itu, “Berikan makan siang untuk semua tentara itu.”
Pramugari itu meraih lengan saya dan meremas erat. Matanya basah dengan air mata, ia berterima kasih pada saya. “Adik saya adalah seorang tentara. Yang Anda lakukan benar-benar untuk dia.”
Setelah mengambil 10 boks makanan, pramugari itu lorong di mana tentara itu duduk. Ia berhenti di kursi saya dan bertanya, “Mana yang Anda sukai? Sayuran atau ayam?”
“Ayam,” jawabku, sambil bertanya-tanya mengapa dia bertanya demikian.
Pramugari itu berbalik dan pergi ke bagian depan pesawat, kembali semenit kemudian dengan piring makan dari kelas utama. “Ini untuk Anda, terima kasih.”
Source | : | inspirasi hidup,melayani orang lain |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR